Kamis 04 Nov 2021 11:13 WIB

Epilepsi dan Jejak Obat Saraf di Kecelakaan TransJakarta

Sopir berinisal J di kasus kecelakaan TransJakarta disebut polisi mengidap epilepsi.

Red: Andri Saubani
Sejumlah pekerja menunggu bus Transjakarta di kawasan Sudirman, Jakarta, Rabu (3/11). TransJakarta belakangan tengah disorot menyusul kasus kecelakaan pada Senin (25/10) yang mengakibatkan dua korban meninggal dan puluhan lain luka-luka. (ilustrasi)
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Sejumlah pekerja menunggu bus Transjakarta di kawasan Sudirman, Jakarta, Rabu (3/11). TransJakarta belakangan tengah disorot menyusul kasus kecelakaan pada Senin (25/10) yang mengakibatkan dua korban meninggal dan puluhan lain luka-luka. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Ali Mansur, Zainur Mashir Ramadhan

Kecelakaan bus TransJakarta terjadi di Jalan MT Haryono, Jakarta Timur, pada Senin (25/10) pekan lalu. Sebuah bus TransJakarta yang sedang menurunkan dan menaikkan penumpang di depan Indomobil Nissan Datsun MT Haryono ditabrak oleh bus TransJakarta lainnya dari arah belakang.

Baca Juga

Lantaran kerasnya tubrukan itu, bagian depan bus yang menabrak terlihat ringsek, sopir berinisial J tergencet dan akhirnya meninggal dunia. Bahkan, bus yang tengah berhenti di halte itu terdorong cukup jauh dari lokasi kejadian.

Selain sopir bus TransJakarta, satu penumpang yang duduk di bagian depan juga menjadi korban meninggal dunia. Kemudian, lima orang menderita luka berat dan sisanya 26 orang mengalami luka ringan.

Polda Metro Jaya segera menggelar visum terhadap sopir dan hasilnya tidak ditemukan zat adiktif atau psikotropika dalam tubuh sang sopir. Untuk mengetahui penyebab mengapa sopir bus yang menabrak bus lainnya melaju kencang tak terkendali polisi kemudian melakukan pemeriksaan termasuk oleh tim Forensik Polri.

Sepekan setelah kejadian, Polda Metro Jaya mengungkap fakta baru terkait kecelakaan. Kecelakaan disebut terjadi karena sopir berinisial J tidak melakukan pengereman, karena yang bersangkutan diduga kehilangan kesadaran akibat serangan penyakit epilepsi.

"Kehilangan kesadaran diduga serangan epilepsi tiba-tiba. Di mana serangan dimungkinkan yang bersangkutan enggak minum obat saraf, karena ditunjukan dari urin dan darah pengemudi hasil pemeriksaan labfor," ujar Direktur Lalu Lintas Polda Metro Jaya Kombes Pol Sambodo Purnomo Yogo, di Kantor Subdit Gakkum Ditlantas Polda Metro Jaya, Jakarta Selatan, Rabu (3/11).

Fakta sopir J tidak melakukan pengereman itu berdasar hasil Traffic Accident Analysis atau TAA. Justru J malah meningkatkan kecepatan sehingga menubruk bus TransJakarta di depannya yang tengah menurunkan dan menaikkan penumpang di Halte Cawang, Ciliwung, Jakarta Timur, Senin (25/10).

"Penambahan kecepatan jelang halte dampak dari serangan epilepsi pengemudi bus terjadi kejang di luar kesadaran. Jadi bukan tekan rem, malah tekan gas," ungkap Sambodo.

Ihwal dugaan bahwa sopir terkena serangan epilepsi dikuatkan dengan bukti obat-obatan saraf yang ditemukan di asrama tempat tinggal J. Kemudian juga merujuk pada keterangan teman J yang telah tinggal bersama selama hampir delapan bulan. Almarhum J pernah menceritan perihal penyakit yang dideritanya itu kepada rekannya tersebut.

"Almarhum pernah cerita punya riwayat sakit saraf, sering pusing dan konsumsi obat hampir setiap hari yakni obat pusing dan saraf," jelas Sambodo.

Baca juga : Polisi Peminta Sekarung Bawang Ditahan

Sopir J pun telah ditetapkan sebagai tersangka dengan jeratan Pasal 310 Ayat 4 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Namun, karena yang bersangkutan meninggal dunia, maka kasus kecelakaan ini dihentikan dengan mekanisme SP3 sesuai Pasal 77 KUHAP.

"Namun demikian karena yang bersangkutan meninggal maka kemudian terhadap kasus ini kami hentikan dengan mekanisme SP3 sesuai Pasal 77 KUHAP," terang Sambodo.

Sambodo pun menyoroti soal perekrutan sopir bus TransJakarta yang dinilai tidak teliti terkait riwayat penyakit calon sopir. Apalagi perekrutan tersebut hanya dengan menunjukkan surat sehat dari Puskesmas sudah bisa masuk menjadi sopir.

“Jadi seharusnya diteliti benar," ujar Sambodo.

Karena itu, kata Sambodo, pihak manajemen Transjakarta juga harus melakukan perbaikan terkait pengecekan kesehatan sopir bus. Semestinya, pengecekan kesehatan pengemudi harus dilakukan secara intens dan berkelanjutan.

“Sesaat sebelum bertugas dan pengecekan harus dilakukan oleh petugas medis bukan sekedar supir mengisi lembar pernyataan kesehatan jadi yang terjadi selama ini pengemudi sebelum mengemudi dia mengisi ceklis," kata Sambodo.

Selain pemeriksaan secara rutin, menurut Sambodo, pemeriksaan kesehatan juga dilakukan secara berkala atau setiap enam bulan sekali. Hal itu dilakukan untuk memastikan kondisi seluruh sopir bus tetap dalam kondisi yang baik. Sebab, lanjutnya, mungkin saja saat mendaftar dalam keadaan sehat tapi seiring berjalannya waktu kondisi kesehatan berubah atau menurun.

"Karena bisa saja dia mendaftar dalam keadaan sehat tapi dalam perjalanan dengan faktor umur, panas dan sebagainya terjadi gangguan kesehatan yang menyebabkan gangguan konsentrasi dalam mengemudi," ungkap Sambodo.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement