Sabtu 16 Apr 2022 21:42 WIB

Bersentuhan dengan Lawan Jenis Ketika Mencium Hajar Aswad

Bersentuhan dengan Lawan Jenis Ketika Mencium Hajar Aswad

Rep: suaramuhammadiyah.id (suara muhammadiyah)/ Red: suaramuhammadiyah.id (suara muhammadiyah)
Bersentuhan dengan Lawan Jenis Ketika Mencium Hajar Aswad - Suara Muhammadiyah
Bersentuhan dengan Lawan Jenis Ketika Mencium Hajar Aswad - Suara Muhammadiyah

Bersentuhan dengan Lawan Jenis Ketika Mencium Hajar Aswad

Pertanyaan: 

Assalamu ‘alaikum wr.wb.

Saya Hidayah dari Tangerang mau bertanya,

Batalkah wudu saya, saat itu saya sedang tawaf tujuh putaran, lalu setelah tawaf saya mencium hajar aswad dan berdesak-desakan sehingga bersentuhan kulit, dilanjutkan shalat subuh, apakah shalat subuh saya batal karena saya bersentuhan kulit di luar tawaf?

Terima kasih, mohon penjelasannya.

Nur Hidayah (Disidangkan pada Jum‘at, 3 Zulhijah 1441 H / 24 Juli 2020 M)

Jawaban:

Wa ‘ailaikumus-salam wr.wb.

Terima kasih atas pertanyaan saudara, berikut ini kami sampaikan jawabannya.

Pertanyaan saudara sejatinya sudah ada jawabannya dalam buku Himpunan Putusan Tarjih (HPT) Jilid 1 halaman 47, buku Tanya Jawab Agama (TJA) Jilid I cetakan VII halaman 41 dan website fatwatarjih.or.id dengan link https://fatwatarjih.or.id/batal-wudhu-bersentuhan-kulit-laki-laki-dan-perempuan/. Namun begitu, agar lebih jelas duduk persoalannya, akan kami jelaskan kembali permasalahan tersebut.

Pembahasan tentang bersentuhan dengan lawan jenis tercantum dalam Q.S. al-Maidah (5) ayat 6 dengan lafal sebagai berikut,

يَٰأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى ٱلصَّلَوٰةِ فَٱغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى ٱلْمَرَافِقِ وَٱمْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى ٱلْكَعْبَيْنِ وَإِن كُنتُمْ جُنُبًا فَٱطَّهَّرُوا وَإِن كُنتُم مَّرْضَىٰ أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِّنكُم مِّنَ ٱلْغَائِطِ أَوْ لَٰمَسْتُمُ ٱلنِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَٱمْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُم مِّنْهُ  مَا يُرِيدُ ٱللهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُم مِّنْ حَرَجٍ وَلَٰكِن يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُۥ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ.

Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.

Kata لَٰمَسْتُمُ ٱلنِّسَاءَ (laamastum an-nisa) pada ayat tersebut menuai perbedaan pendapat di kalangan sahabat. Sebagian memaknainya secara hakiki, yakni persentuhan kulit laki-laki dan perempuan dan sisanya memaknai secara majazi yakni setubuh (hubungan seksual suami istri). Pendapat pertama, antara lain pendapat ‘Umar ibn al-Khaththab dan Ibn Mas’ud, yang mengartikan dengan persentuhan kulit laki-laki dan perempuan. Pendapat kedua, antara lain pendapat ‘Ali ibnu Abi Thalib dan Ibn ‘Abbas yang mengartikan potongan ayat di atas dengan setubuh.

Perbedaan pemahaman ini mengakibatkan perbedaan pendapat tentang batal atau tidaknya wudu karena sebab persentuhan kulit antara laki-laki dan perempuan. Menurut pendapat yang pertama, persentuhan antara kulit laki-laki dan kulit perempuan membatalkan wudu. Pendapat ini dipegangi oleh ulama Syafi’iyah dan ulama Hanbaliyah. Adapun menurut pendapat yang kedua, persentuhan kulit antara laki-laki dan perempuan tidak membatalkan wudu. Pendapat ini dipegangi oleh ulama Hanafiyah. Sedangkan menurut ulama Malikiyah, persentuhan kulit antara laki-laki dan perempuan membatalkan wudu apabila menimbulkan syahwat.

Muhammadiyah dalam Putusan Tarjihnya, menetapkan bahwa kata laamastum annisa dalam ayat tersebut bermakna majazi, yakni bersetubuh, sehingga persentuhan kulit antara lawan jenis tidaklah membatalkan wudu. Hal ini didukung oleh beberapa hadis, antara lain seperti yang diriwayatkan ‘Aisyah istri Rasulullah berikut ini,

فَقَدْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْلَةً مِنَ الْفِرَاشِ فَالْتَمَسْتُهُ فَوَقَعَتْ يَدِي عَلَى بَطْنِ قَدَمَيْهِ وَهُوَ فِي الْمَسْجِدِ وَهُمَا مَنْصُوبَتَانِ [رواه المسلم والترمذى وصححه].

Pada suatu malam saya kehilangan Rasulullah saw dari tempat tidur, kemudian saya merabanya dan tanganku memegang kedua telapak kaki Rasulullah yang sedang tegak karena beliau sedang sujud [H.R. Muslim dan Tirmidzi serta mensahihkannya].

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ إِنْ كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيُصَلِّى وَإِنِّى لَمُعْتَرِضَةٌ بَيْنَ يَدَيْهِ اعْتِرَاضَ الْجَنَازَةِ حَتَّى إِذَا أَرَادَ أَنْ يُوتِرَ مَسَّنِى بِرِجْلِهِ [رواه النسائى].

Dari ‘Aisyah (diriwayatkan) ia berkata: Pernah Rasulullah saw shalat dan aku berbaring di depannya melintang seperti mayat, sehingga ketika beliau hendak shalat witir, beliau menyentuhku dengan kakinya [H.R. an-Nasai].

Bahkan pada kesempatan lain, ‘Aisyah tidak hanya memegang kedua telapak kaki Nabi saw, namun hingga menyentuh rambut Nabi saw untuk meyakinkan dirinya bahwa Nabi saw tidak meninggalkannya untuk bertemu istri-istri beliau yang lain. Hal ini sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Imam asy-Syaukani dalam kitab Nail al-Authar dan ditakhrij salah satunya dalam al-Mu’jam al-Awsath sebagai berikut,

عَنْ عَائِشَةَ فَقَدْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ لَيْلَةٍ، فَقُلْتُ: إِنَّهُ قَامَ إِلَى جَارِيَتِهِ مَارِيَةَ، فَقُمْتُ أَلْتَمِسُ الْجِدَارَ، فَوَجَدْتُهُ قَائِمًا يُصَلِّي، فَأَدْخَلْتُ يَدَيَّ فِي شَعْرِهِ لأَنْظُرَ اغْتَسَلَ أَمْ لَا، فَلَمَّا انْصَرَفَ, قَالَ: أَخَذَكِ شَيْطَانُكِ يَا عَائِشَةُ.

Dari Aisyah (diriwayatkan), Aku tidak mendapati Rasulullah saw suatu malam, kemudian aku berkata, sesungguhnya Rasulullah pergi ke istrinya Mariyah lalu aku berdiri dan meraba-raba dinding, maka tiba-tiba aku mendapati Rasulullah sedang mendirikan shalat. Segera aku masukkan tanganku ke rambutnya untuk melihat apakah dia baru saja mandi junub atau tidak. Setelah Rasulullah selesai beliau berkata: Setan telah menggiringmu ya Aisyah.

Istidlal di atas meskipun berkenaan dengan persentuhan lawan jenis antara suami istri, akan tetapi dapat dipahami secara umum, yakni persentuhan kulit antara laki-laki dan perempuan secara umum selama itu tidak bersenggama, maka tidaklah membatalkan wudu. Bahkan pada suatu kesempatan Nabi Muhammad saw tidak hanya bersentuhan kulit dengan lawan jenis, melainkan menciumnya, seperti diterangkan pada hadis berikut,

عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَبِلَ بَعْضَ نِسَائِهِ ثُمَّ خَرَجَ إِلَى الصَّلَاةِ وَلَمْ يَتَوَضَّأَ … [رواه أحمد].

Dari ‘Aisyah (diriwayatkan), bahwasannya Rasulullah mencium sebagian istrinya lalu beliau keluar untuk shalat dan tidak mengulang wudunya [H.R. Ahmad].

Aktivitas mencium yang lebih intim saja tidak membatalkan wudu menurut keterangan dalam hadis tersebut, apalagi jika hanya sekedar persentuhan kulit. Dengan demikian, shalat subuh yang saudara tunaikan, baik dilakukan setelah berdesak-desakan sewaktu tawaf atau setelah tawaf tetaplah sah selama tidak melakukan hal-hal yang membatalkan wudu sesuai tuntunan syariat.

Wallahu alam bish-shawab

Rubrik Tanya Jawab Agama Diasuh Divisi Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid

Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Sumber: Majalah SM No 7 Tahun 2021

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement