Rabu 17 Nov 2021 05:20 WIB

Kaum Milenial, Asuransi Kesehatan, dan Transformasi IFG Life

Selama pandemi Covid-19, premi asuransi kesehatan justru naik 17 persen.

Rep: Erik PP/ Red: Erik Purnama Putra
Indonesia Financial Group (IFG) Life menjadi holding BUMN asuransi.
Foto: Dok IFG Life
Indonesia Financial Group (IFG) Life menjadi holding BUMN asuransi.

REPUBLIKA.CO.ID, Pandemi Covid-19 semakin membuat industri asuransi di Indonesia tertekan. Ketua Umum Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI), Budi Tampubolon menuturkan, pada 2020, menjadi tahun yang tidak mudah bagi lini bisnis industri asuransi.

"Asuransi jiwa juga mengalami suffer yang luar biasa. Pendapatan premi turun 6-7 persen, tapi pendapatan premi itu dibedakan premi jualan baru dan renewal. Jualan baru turun 8 persen, renewal turun 2 persen, semuanya 6-7 persen," kata Budi dalam webinar bertajuk 'Menuntaskan Restrukturisasi Polis Jiwasraya' di Jakarta, beberapa waktu lalu.

Baca Juga

Meski mengaku kecewa melihat angka-angka itu, Budi tetap bersyukur industri asuransi masih bisa bertahan. Dia tetap optimistis industri asuransi bakal terus berkembang di Indonesia melihat pasar yang ada. Budi pun menyinggung hasil survei AC Nielsen pada akhir 2019 dengan responden 1.000 anak muda dari 14 kota besar dan kecil. Hasil survei di kalangan milenial itu cukup mencengangkan.

Budi menyebut, tingkat kesadaran anak muda terhadap produk bank mencapai 83 persen dan produk asuransi 72 persen. Dia menganggap angka itu bisa dimengerti lantaran hampir semua orang pasti kenal produk perbankan. Adapun dari 83 persen respon, sambung dia, yang memiliki atau memanfaatkan produk perbankan di kisaran 67 persen.

Yang mengagetkan bagi Budi adalah survei tentang asuransi di mata generasi milenial. "Dari 72 persen yang aware produk asuransi, hanya 7 persen yang punya produk asuransi. Awareness ada tinggal effort para pihak industri asuransi jiwa untuk mewujudkan potensi milenial yang sudah sadar itu," kata Budi.

Masih jomplangnya tingkat kesadaran dan kepemilikan produk asuransi, sambung dia, menjadi peluang besar bagi para industri untuk mewujudkan potensi itu. Budi memperkirakan, 5-10 tahun ke depan, kaum milenial itu bisa semakin sadar dan memutuskan untuk membeli produk asuransi.

Apalagi jika mereka merasa membutuhkan produk yang ditawarkan. Sehingga peran tenaga pemasar kepada nasabah nanti bisa lebih mudah jika tingkat kesadaran masyarakat terhadap industri asuransi semakin tinggi.

"Orang yang sadar dan memutuskan beli, tak perlu didatangi, akan semakin banyak. Industri asuransi harus menemukan channel supaya menjangkau masyarakat Indonesia semakin luas lagi," kata Budi menegaskan.

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada 2020 merilis, tingkat penetrasi industri asuransi di Indonesia masih di bawah 4 persen dibandingkan produk domestik bruto (PDB). Bahkan, secara produk, tingkat penetrasi asuransi jiwa di kisaran 1,1 persen per Juli 2020, menurun akibat hantaman pandemi.

Tingkat penetrasi asuransi Indonesia masih kalah dibandingkan dengan beberapa negara ASEAN, seperti Singapura (6 persen), Malaysia, Thailand, dan Filipina yang masing-masing hampir menyentuh 5 persen. Sehingga peluang bagi industri asuransi untuk terus berkembang masih terbuka lebar.

Komisaris Utama Indonesia Financial Group (IFG) Life Patro Pander Silitonga menjelaskan, pandemi Covid-19 memang cukup memukul para pelaku industri asuransi sepanjang 2020. Dia pun menyitir data pendapatan premi asuransi umum menurun sekitar 4 persen dari Rp 80,12 triliun menjadi Rp 76,86 triliun. Sedangkan pendapatan pemri asuransi jiwa juga ikut menyusut 7,2 persen dari Rp 185 triliun pada menjadi Rp 171 triliun pada 2020.

Uniknya, sambung dia, pada saat bersamaan premi asuransi kesehatan justru naik 17 persen dari Rp 11,66 triliun menjadi Rp 13,66 triliun. Patro menyebut, kondisi itu memang tidak bisa dilepaskan dari kesadaran masyarakat yang ingin membutuhkan proteksi di bidang kesehatan. Sehingga hal itu menjadi peluang besar bagi industri asuransi untuk menggarap sektor kesehatan.

"Justru kenaikan kesehatan ini memungkinkan kebutuhan asuransi tumbuh organic demand, masyarakat mencari bukan karena di-push penjual, tapi mereka sendiri mendaftar. Akhirnya masyarakat melihat ada kebutuhan asuransi, ini tak terlepas dari pandemi dan kesadaran menjaga kesehatan," kata Patro.

Melihat fenomena itu, kata dia, perusahaan asuransi tentu harus membuat sebuah inovasi agar produk kesehatan semakin laku dan menjangkau masyarakat luas. Patro pun menawarkan model customer centric bagi perusahaan asuransi. Pasalnya, pandemi membuat sebagian masyarakat menyadari betapa pentingnya memiliki asuransi.

Jika selama ini, produk asuransi ditawarkan oleh tenaga penjual maka sekarang individu yang malah tertarik untuk memakai jasa asuransi kesehatan. "Ini ada ruang. Kita tawarkan proteksi base on permintaan konsumen, dengan begitu kita harapkan punya kita punya hubungan jangka panjang dengan pemegang polis," ujar Patro.

Sambut peluang

IFG Life sebagai holding BUMN asuransi pun siap bergerak mengambil peluang asuransi kesehatan. Dengan berstatus sebagai perusahaan baru, kata Patro, IFG Life tentu ingin agar perusahaan terus berkembang dan bisa memulai bisnis yang sehat. Apalagi, IFG Life juga mendapat warisan untuk menangani strukturisasi pemegang polis Jiwasraya.

Dalam posisi sekarang, IFG Life tentu ingin mengambil setiap peluang yang ada. Dengan mendapat penambahan modal senilai Rp 26,7 triliun dari limpahan pemegang polis Jiwasraya, menurut Patro, IFG Life menjadi perusahaan asuransi jiwa terbesar di Indonesia dan memiliki risk based capital (RBC) yang luar biasa kuatnya.

Keputusan restrukturisasi merupakan pilihan terbaik bagi pemegang polis dan perusahaan. Dia meyakini, IFG Life akan menjadi perusahaan asuransi terbesar dan terbaik di Indonesia, dengan terus berinovasi selama pandemi. "Portofolio yang direstrukturisasi itu menjadi portofolio yang sehat, dan pemegang polis mendapat keamanan dan kenyamanan, dan mendapat benefit di rumah baru," ucap Patro.

Kepala Eksekutif Pengawas Industri Keuangan Non-Bank OJK, Riswanandi mengingatkan, urgensi tata kelola perusahaan asuransi yang baik harus dituangkan dalam insurance principle. Dia menekankan, betapa pentingnya tata kelola yang baik agar penyelenggaraan perusahaan memperhatikan kehati-hatian untuk melindungi kepentingan pemegang polis.

Dia menyinggung kehadiran IFG Life agar bisa menjaga kepercayaan masyarakat, karena harus meneruskan masalah yang dulu muncul di Jiwasraya. "Peran industri asuransi mengedepankan aspek kehati-hatian dalam investasi, terutama aset di pasar modal. Industri penghimpunan dana melalui premi memiliki kewajiban menjaga kualitas dalam menjaga pengembangan dana," kata Riswanandi.

Dia menjelaskan, berbeda dengan industri perbankan, maka perusahaan asuransi atau nonbank memiliki mekanisme berbeda. Menurut Riswanandi, perbankan dalam menyalurkan kredit begitu ketat, bahkan disertai jaminan. Adapun industri nonbank begitu memilih berinvestasi di pasar modal maka modalnya diserahkan begitu saja ke market, yang itu berisiko bagi perusahaan dan pemegang polis.

Oleh sebab itu, OJK mengatur pengawasan dan penertiban agar investasi yang ditanam tidak sampai dimanipulasi di pasar modal. Dia mengingatkan, kewajiban direksi perusahaan dan rencana penanggulangan risiko investasi harus benar-benar melalui kajian memadai. Selama ini, kata Riswanandi, perusahaan asuransi ketika menaruh dananya terkonstentrasi cukup tinggi di pasar modal.

"OJK terus meningkatkan pengawasan dan monitoring, terintegrasi bersama pengawas pasar modal. Kita juga mengembangkan aplikasi membantu pengawas monitoring portofolio perusahaan asuransi, pengawas bisa setiap asat monitor portofolio perusahaan ausransi, tak perlu menunggu laporan bulanan, tapi periode berjalan bisa memanggil perusahaan asuransi,' kata Ruswanandi.

Transformasi IFG Life

Wakil Menteri Badan Usaha Milik Negara (Wamen BUMN), Kartika Wirjoatmodjo menuturkan, transformasi IFG Life merupakan bagian dari penyelamatan polis Jiwasraya. Setelah bertahun-tahun bermasalah, akhirnya penanganan klaim polis Jiwasraya bisa menemukan titik terang dengan hadirnya IFG Life.

Dia membeberkan tiga akar permasalahan Jiwasraya selama belasan tahun, sebelum puncaknya terjadi pada 2020. Pertama, permasalahan fundamental berupa solvabilitas dan likuiditas yang sudah terjadi sejak lama dan tidak diselamatkan dengan solusi fundamental. "Untuk menyelesaikan masalah Jiwasraya secara sementara, dilakukan window dressing laporan keuangan dengan kebjakan reasuransi dan revaluasi aset sejak 2008-2017," kata Kartika.

Kartika melanjutkan, untuk menyelesaikan masalah likuiditas, manajemen melakukan penerbitan produk asuransi yang bersifat investasi dan bergaransi bunga tinggi. Hal itu jelas akan membawa dampak buruk bagi perusahaan akan datang.

Kedua, reckless investment activities (GCG lemah) tidak adanya portofolio guideline yang mengatur investasi maksimum pada high risk asset. Sehingga dengan kondisi pasar belum pulih seperti saat ini, mayoritas aset investasi tidak dapat diperjualbelikan.

Ketiga, tekanan likuiditas dari produk saving plan, penurunan kepercayaan nasabah terhadap produk tersebut menyebabkan naiknya pencairan dan penurunan penjualan. Selain itu, tidak ada backup asset yang cukup untuk memenuhi kewajiban dengan rasio kecukupkan investasi hanya 28 persen pada 2017 menyebabkan gagal bayar atas pemegang polis.

"Melemahnya solvabilitas, nilai aset persahaan tidak sesuai dengan nilai pasar negatif ekuitas sebesar Rp 38,6 triliun. Kondisi keuangan setelah diaudit 2020, liabilitas polis naik Rp 54,4 triliun, nilai aset hanya Rp 15,7 triliun, dan mayoritas aset tak likuid dan berkualitas buruk. Hal itu membuat Jiwasraja memiliki defisit ekuitas sekitar Rp 38,6 triliun, angka yang sangat fantastis," ucap Kartika.

Pihaknya pun menawarkan tiga opsi untuk menyelamatkan pemegang polis Jiwasraya. Solusinya yang diajukan, membuat opsi bailout (belum bisa dilakukan), restrukturisasi transfer dan bail in (melalui IFG Life), serta melikuidasi atau pembubaran. Setelah meminta persetujuan pemegang saham, menurut Kartika, akhirnya dipilih opsi kedua, berupa restrukturisasi.

Keputusan itu juga merupakan yang terbaik, karena tidak ada pihak yang dirugikan. "Jumlah polis korporasi 2.143 dan 82,8 persen setuju restrukturisasi 1.774, ada 179.235 polis ritel dan 134,972 atau 75,3 persen setuju direstrukturisasi, dan 17.459 jumlah polis bancassurance sebanyak 16.223 atau 92,9 persen setuju direstrukturisasi," kata Kartika.

Dia pun optimistis IFG Life memiliki masa depan cerah. Keputusan restrukturisasi membuat holding BUMN asuransi tersebut bisa membuat pemegang polis mendapatkan hak-haknya sesuai kesepakatan bersama.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement