Jumat 19 Nov 2021 21:55 WIB

Ancaman Resistensi Antimikroba: 700 Ribu Orang Meninggal

Resistensi antimikroba adalah ancaman serius global.

Rep: Dian Fath Risalah/ Red: Mas Alamil Huda
Anggota Jagareksa Antibiotik menggelar aksi saat Pekan Kesadaran Antimikroba Se-Dunia 2020 di Titik Nol Yogyakarta, Rabu (18/11). Pada aksi ini mereka mengajak warga Yogyakarta untuk peduli dan meningkatkan kesadaran terhadap resistensi antimikroba. Antimikroba adalah obat antibiotik, antijamur, antivirus, antiprotozoa yang merupakan agen untuk mengatasi penyakit infeksi.
Foto: Wihdan Hidayat / Republika
Anggota Jagareksa Antibiotik menggelar aksi saat Pekan Kesadaran Antimikroba Se-Dunia 2020 di Titik Nol Yogyakarta, Rabu (18/11). Pada aksi ini mereka mengajak warga Yogyakarta untuk peduli dan meningkatkan kesadaran terhadap resistensi antimikroba. Antimikroba adalah obat antibiotik, antijamur, antivirus, antiprotozoa yang merupakan agen untuk mengatasi penyakit infeksi.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Resistensi antimikroba (AMR) jadi ancaman kesehatan masyarakat yang mendesak. Respons berbasis One Health yang berkelanjutan mencakup manusia, hewan, tanaman, dan lingkungan, sangat penting untuk mengatasi ancaman ini.

Resistensi antimikroba adalah ancaman serius global. WHO, FAO (Food and Agriculture Organization), OIE (World Organization for Animal Health) bersama dengan negara-negara lain sudah menyusun rencana aksi global tahun 2015 yang lalu dengan pendekatan multi sektor atau pendekatan One Health.

Baca Juga

Direktur Mutu dan Akreditasi Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan Kalsum Komaryani mengatakan, saat ini kematian akibat resistensi antimikroba mencapai 700 ribu orang per tahun dan diprediksi di tahun 2050 bisa mencapai 10 juta orang per tahun di seluruh dunia.

“Dan ternyata distribusinya diprediksi terbanyak di Asia dan Afrika sekitar 4,7 juta dan Afrika 4,1 juta, sisanya di Australia, Eropa, Amerika,” katanya dalam keterangan,Jumat (19/11).

Penyebab resistensi antimikroba ditinjau dari segi kesehatan mulai dari tidak adanya indikasi dalam penggunaan antimikroba, indikasi tidak tepat, pemilihan antimikroba tidak tepat, dan dosis tidak tepat.

AMR menimbulkan ancaman kesehatan global yang signifikan bagi populasi di seluruh dunia. Dengan pertumbuhan perdagangan dan perjalanan global, mikroorganisme yang resisten dapat menyebar dengan sangat cepat sehingga tidak ada negara yang aman.

Bahaya resistensi antimikroba berkaitan erat dengan perilaku pencegahan dan pengobatan, sistem keamanan produksi pangan dan lingkungan. Oleh karena itu pendekatan "One Health" diperlukan untuk mengatasi kompleksitas pengendalian kejadian resistensi antimikroba.

Dalam perkembangan kesehatan global saat ini, kejadian resistensi antimikroba tidak lagi hanya dilihat sebagai masalah yang berdiri sendiri tetapi juga terkait dengan berbagai sektor seperti kesehatan masyarakat dan kesehatan hewan (termasuk perikanan dan akuakultur), rantai makanan, pertanian, dan sektor lingkungan.

Kalsum menjelaskan, strategi pengendalian resistensi antimikroba yang sudah dilakukan di Indonesia adalah dengan meningkatkan kesadaran dan pemahaman resistensi antimikroba, melakukan peningkatan pengetahuan, dan bukti ilmiah melalui surveilans. Saat ini, ada 20 rumah sakit yang terpilih untuk melakukan surveilans antimikroba yang terdiri dari rumah sakit umum pemerintah pusat dan RSUD.

Upaya selanjutnya pengurangan infeksi melalui sanitasi hygiene, optimalisasi pengawasan dan penerapan sanksi jika peredaran dan penggunaan antimikroba tidak sesuai standar, serta peningkatan investasi melalui penemuan obat, metode diagnostic, dan vaksin baru.

Dalam rencana aksi global tahun 2015, disusun dengan pendekatan multi sektor atau pendekatan One Health. Di dalamnya ada lima strategi utama bagaimana negara-negara dapat melakukan pengendalian AMR dan memitigasi dampaknya, yakni Peningkatan Kesadaran terhadap AMR, Surveilans, Pencegahan Infeksi, Penatagunaan Antimikroba, serta Riset dan Pengembangan.

Salah satu sektor yang rentan berisiko terjadi resistensi antimikroba adalah perikanan dan budidaya. Dirjen Perikanan Budidaya, Kementerian Kelautan dan Perikanan TB Haeru Rahayu mengatakan, untuk bisa memelihara ikan, memelihara udang, memelihara komoditas lainnya dibutuhkan upaya untuk menjaga kesehatannya.

Sementara untuk menjaga kesehatannya belum bisa lepas dari penggunaan obat, baik itu yang sifatnya herbal maupun yang sifatnya kimiawi. Salah satunya kita masih menggunakan antimikrobial seperti jenis-jenis antibiotik.

"Ini yang sedang kita coba kendalikan untuk penggunaannya supaya lebih bijak, supaya tidak menimbulkan persoalan di kemudian hari,” katanya.

Ia melanjutkan, dampak penggunaan antimikroba yang tidak terkendali kemudian dilepas ke alam atau ke lingkungan maka ini bisa berpengaruh secara tidak langsung. “Saya beserta jajaran terus memotivasi teman-teman, memotivasi pembudidaya untuk tetap bijak menggunakan antibiotik,” ucap Haeru.

Pengendalian AMR di bidang hewan juga perlu diperhatikan. Direktur Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian Nuryani Zainuddin mengatakan, Kementan sudah mengeluarkan berbagai regulasi pengendalian di sektor kesehatan hewan.

Secara tegas pada UU 18/2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan pasal 51 ayat 3 menyebutkan setiap orang dilarang menggunakan obat hewan tertentu pada ternak yang produknya untuk konsumsi manusia. Selain itu, dalam Permentan 14/2017 tentang Klasifikasi Obat Hewan pada pasal 4 disebutkan obat hewan yang berpotensi membahayakan kesehatan manusia dilarang digunakan pada ternak yang produknya untuk konsumsi manusia.

Pihaknya juga telah melakukan surveilans pada populasi umum unggas broiler, survei di provinsi sumber produksi unggas broiler, dan pengembangan sistem surveilans AMR pada bakteri patogen unggas petelur. “Perlu diperkuat pengawasan bersama. Pada rantai distribusi antimikroba dari produsen sampai dengan konsumen harus diperkuat untuk mencegah penyalahgunaan antimikroba,” kata Nuryani.

Sayangnya, penemuan obat untuk untuk resistensi antimikroba ini jarang ditemukan. Perwakilan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Indonesia Benyamin Sihombing mengatakan, dalam report tahun 2020, WHO mengidentifikasi dari 26 kandidat antibiotik yang sedang dalam pengembangan klinis untuk menghadapi 8 patogen prioritas dunia, yang ampuh untuk multidrug-resistant hanya dua.

“Padahal kita mau menargetkan 8 patogen tapi hanya 2 yang berhasil. Ini mengartikan bahwa kecepatan munculnya resistensi antimikroba itu jauh melebihi penemuan antibiotik baru yang ampuh,” ucap Benyamin.

Paranietharan yang juga perwakilan WHO untuk Indonesia menuturkan, resistansi antimikroba adalah salah satu ancaman kesehatan masyarakat yang paling mendesak dan membutuhkan aksi yang dilaksanakan dengan segera. Respons berbasis One Health yang berkelanjutan dan mendorong keterlibatan semua sektor, yakni manusia, hewan, tanaman, dan lingkungan, sangatlah penting untuk mengatasi ancaman ini.

Berbeda dengan pandemi Covid-19, AMR bukanlah krisis yang tidak terduga dan kita sudah tahu bagaimana cara mencegahnya. Kita harus meningkatkan pencegahan dan pengendalian infeksi dan WASH (air, sanitasi, dan hygiene).

“Kita harus mempromosikan penggunaan antimikroba yang bertanggung jawab. Kita harus meningkatkan kapasitas laboratorium untuk surveilans. Dan kita harus memperkuat koordinasi lintas sektor maupun kerangka regulasi,” ujar Perwakilan WHO untuk Indonesia.

Sementara itu, Badan Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) atau FAO senantiasa mendukung pemerintah dan masyarakat Indonesia untuk mencapai tujuannya dalam mengendalikan AMR, sebagaimana tertuang dalam rencana aksi nasional.

“Kami berharap dapat bekerja sama dengan Anda semua untuk mempromosikan penggunaan antimikroba yang bijak dan bertanggung jawab dalam sistem pertanian pangan, melalui kebijakan dan edukasi publik yang efektif,” kata Rajendra Aryal, Perwakilan FAO untuk Indonesia dan Timor Leste.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement