Ahad 21 Nov 2021 01:55 WIB

LaNyalla: Presidential Threshold Penuh dengan Mudarat

Sejatinya negeri ini tidak kekurangan calon pemimpin.

Rep: Febrianto Adi Saputro/ Red: Muhammad Fakhruddin
LaNyalla: Presidential Threshold Penuh dengan Mudarat (ilustrasi).
LaNyalla: Presidential Threshold Penuh dengan Mudarat (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti menilai ambang batas pencalonan presiden (Presidential Threshold) penuh dengan mudarat. Merujuk dua pilpres terakhir yang hanya mengikutkan dua kandidat calon presiden, LaNyalla memandang ambang batas pencalonan presiden justru  menyumbang polarisasi tajam di masyarakat, akibat minimnya jumlah calon.

"Bagaimana kita melihat pembelahan yang terjadi di masyarakat. Antar kelompok berseteru dan selalu melakukan Anti-Thesa atas output pesan yang dihasilkan baik dalam bentuk kalimat verbal, maupun simbol dan aksi. Puncaknya, anak bangsa ini secara tidak sadar membenturkan Vis-a-vis Pancasila dengan Islam. Hanya karena semangat melakukan apapun yang bersifat Anti-Thesa, untuk menjelaskan identitas dan posisi. Padahal tidak satupun tesis yang bisa menjelaskan pertentangan antara Pancasila dengan Islam," kata LaNyalla dalam keterangan tertulisnya, Sabtu (20/11).

LaNyalla juga mengkritisi berbagai kegaduhan nasional, aksi saling melakukan persekusi, dan saling melaporkan ke ranah hukum yang kerap muncul tiap kali pemilu. Belum lagi aksi sweeping bendera, sweeping forum diskusi dan lain-lain, yang sama sekali tidak mencerminkan kehidupan di negara demokrasi. 

"Inilah dampak buruk penerapan ambang batas pencalonan presiden, atau dalam kasus tertentu juga terjadi di ajang pemilihan kepala daerah. Di mana rakyat dihadapkan hanya kepada dua pilihan," ujarnya.

Dirinya juga menyoroti kelemahan lain  presidential threshold. Menurutnya sistem yang dimaksudkan untuk memperkuat sistem presidensial dan demokrasi tersebut justru memperlemah.

"Kalau didalilkan untuk memperkuat sistem presidensial, agar presiden terpilih punya dukungan kuat di parlemen, justru secara teori dan praktik, malah membuat mekanisme check and balances menjadi lemah," katanya.

LaNyalla mengatakan partai politik besar dan gabungan partai politik menjadi pendukung presiden terpilih. Sehingga yang terjadi adalah bagi-bagi kekuasaan dan partai politik melalui fraksi di DPR menjadi legitimator kebijakan pemerintah. 

"Termasuk secepat kilat menyetujui apapun kebijakan pemerintah. Juga pengesahan perppu atau calon-calon pejabat negara yang dikehendaki pemerintah," ujarnya. 

Selain itu, dirinya menegaskan Ambang Batas Pencalonan tidak sesuai keinganan masyarakat. Karena Presidential Threshold mengerdilkan potensi bangsa dimana sejatinya negeri ini tidak kekurangan calon pemimpin. Tetapi, kemunculannya digembosi aturan main tersebut. 

"Rakyat menjadi berkurang pilihannya karena semakin sedikit kandidat yang bertarung. Tentu saja hal itu semakin mengecilkan peluang munculnya pemimpin terbaik, padahal entitas civil society yang ikut melahirkan bangsa dan negara ini seharusnya juga diakomodasi," ucapnya. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement