Senin 22 Nov 2021 23:50 WIB

Mengkaji Sirah Nabawiyah dalam Kehidupan Sosial Keagamaan

Sirah Nabawiyah merupakan rangkaian kisah perjalanan Rasulullah SAW.

Rep: Dea Alvi Soraya/ Red: Muhammad Hafil
Mengkaji Sirah Nabawiyah dalam Kehidupan Sosial Keagamaan. Foto: Nabi Muhammad (ilustrasi)
Foto: Republika
Mengkaji Sirah Nabawiyah dalam Kehidupan Sosial Keagamaan. Foto: Nabi Muhammad (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA—Sirah Nabawiyah merupakan rangkaian kisah perjalanan Rasulullah SAW semasa hidup, sejak sebelum dan selama masa kenabian. Jika dihitung secara kasar, terdapat jutaan Sirah Nabawiyah yang tersebar di seluruh dunia, dengan berbagai sumber, baik dari kalangan sahabat, tabi’in, hingga ulama.  

Meski banyak sirah nabawiyah yang berasal dari sumber dan sanad yang shahih, namun ada pula sirah yang ’gelap’ sumber dan keasliannya. Maka dari itu, diperlukan pengkajian dan penafsiran yang ketat demi menghindari kesalahpahaman dan pertentangan.

Baca Juga

Ahli Tasawuf dan Filsafat Islam Prof Abdul Kadir Riyadi mengatakan sangat penting untuk mengkaji dan menjadikan sirah nabawiyah sebagai rujukan dalam menghadapi tantangan yang tengah dihadapi Muslim dalam konteks sosial dan keagamaan yang semakin kompleks. Meski begitu, perlu dilakukan filterisasi dan konteksualisasi agar fakta-fakta yang terkandung dalam sirah tersebut benar-benar terjamin keaslian dan sesuai dengan perkembangan kondisi, waktu dan zaman.

Menurut lulusan doktoral Universitas Cape Town, Afrika Selatan ini, risalah yang dibawa Rasulullah SAW memiliki keistimewaan dibanding risalah nabi-nabi sebelumnya, karena lebih bersifat universal dan mencangkup berbagai dimensi kehidupan. Jika merujuk pada risalah Nabi Adam AS hingga Nabi Saleh AS, kebanyakan kandungan sirahnya sangat terbatas, hanya mencangkup keesaan Allah SWT, karena memang pada zaman tersebut hal yang sangat dibutuhkan adalah arahan dan petunjuk untuk meyakini keagungan Allah SWT, kata Prof Kadir.

Seiring berkembangnya zaman, mulai dari masa kenabian Nabi Ibrahim AS hingga Nabi Isa AS, persoalan yang terkandung dalam sirah mengalami perluasan konteks, mulai dari isu politik hingga sosial. Namun, cangkupan objek sirah masih sangat terbatas, karena berfokus pada persoalan yang dialami umat para nabi tersebut, bukan secara universal. Maka dari itu, kehadiran Nabi Muhammad sebagai nabi sekaligus rasul terakhir, menyempurnakan sirah-sirah nabi dan rasul sebelumnya.

“Sebagai rasul terakhir, secara komparatif Nabi Muhammad lebih unggul dari nabi-nabi yang lain, begitu juga risalahnya yang dapat dikatakan lebih sempurna, karena bersifat universal dan mencangkup kompleksitas persoalan yang terjadi dalam kehidupan,” ujar Prof Kadir dalam Seminar Nasional berjudul Keteladanan Sirah Nabawiyah dalam Konteks Kehidupan Sosial dan Keagamaan yang digelar Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, Senin (22/11).  

“Kesempurnaan risalah Nabi Muhammad berarti,

kenabian Muhammad memiliki tawaran, walau bukan solusi, atas semua persoalan hidup. saya menggunakan kata ‘tawaran’ karena pada dasarnya persoalan kehidupan terus berkembang dan semakin kompleks, maka tidak cukup jika hanya bersumber pada Alquran dan hadits sebagai solusi,” sambungnya.

Menurutnya, untuk menentukan suatu solusi atas persoalan yang terjadi, diperlukan keterlibatan ulama sebagai sambung-tangan dari sirah nabawiyah. Sirah Nabawiyah sejatinya dapat diterapkan di berbagai zaman dan seluruh kondisi, namun diperlukan penafsiran dan pemikiran para ulama serta cendikiawan agar sirah tersebut dapat terus diperbaharui dan disesuaikan dengan perkembangan zaman, sambungnya.

“Ulama, yang menurut Rasulullah SAW sendiri merupakan penerus kenabian, bertugas untuk menafsirkan sirah nabawiyah dalam berbagai konteks yang sesuai dengan realitas sosial masyarakat,” tegasnya.

Prof Kadir merepresentasikan alur penerapan sirah nabawiyah sebagai sebuah piramida. Posisi puncak ditempati oleh Al-quran dan sunnah yang bersifat absolut dan mutlak. Posisi kedua, berada di tengah-tengah, ditempati oleh ulama dan cendikiawan yang bertugas menafsirkan wahyu Ilahi dalam Al-quran juga pesan-pesan kenabian dalam situasi dan konteks tertentu.

“Setiap ulama memiliki dua peran, yaitu memahami pesan kenabian dari sumber utama. Kedua, menerjemahkan hasil pemahamannya dari sumbernya dan menerjemahkannya ke dalam konteks sosial yang ada di bawahnya,” jelasnya.

“Maka dapat dikatakan pula bahwa setiap ulama adalah produk bentukan suatu situasi sosial tertentu. Maksudnya setiap ulama memiliki keterbatsan penafsiran dalam mendalami suatu persoalan atau konteks, baik terbatas pada negara atau wilayah, tema ilmu, dan sumber tertentu. Misalnya ulama tafsir, ulama fiqih, ulama indonesia, ulama mesir, dan lainnya,” sambungnya menambahkan bahwa tidak aneh jika penafsiran risalah kenabian dapat berbeda-beda, tergantung pada pemahaman dan penafsiran yang diberikan setiap ulama.

Pada posisi terakhir, diisi oleh realitas sosial manusia yang beragam dan kompeks. Kompleksitas persoalan ini membuat proses pengkajian dan penerjemahan pesan kenabian menjadi sangat rumit dan diperlukan kehati-hatian demi menghindari terjadinya multitafsir atau pergolakan di masyarakat.

“Maka sangat rentan bagi masyarkaat untuk menerjemahkan suatu pesan nabawiyah (risalah) secara langsung, karena selain menyingkirkan peran ulama sebagai penerus para nabi, juga menampikkan realitas sosial yang multikultural,” tegasnya.  

“Ini tentu sangat keliru karena bertentangan dengan fakta sosial yang ada. Hal yang paling rentan adalah bahwa pesan kenabian bersifat umum, abstak dan butuh ilmu yang mendalam untuk dapat menafsirkannya, maka sangat ideal jika tugas penafsiran ini diserahkan kepada para ulama dan cendikiawan,” sambungnya.

Adapun penganut skema penafsiran garis lurus, tidak menyertakan peran ulama, biasanya merupakan kelompok-kelompok Islam garis keras yang kebanyakan menganut paham radikal dan eksklusivitas. “Pemahaman ini jelas bertentangan dengan sifat Islam sebagai agama yang Rahmatan Lil Alamin,” sambungnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement