Rabu 24 Nov 2021 11:18 WIB

AS Latihan Serangan Nuklir, Rusia dan China Merapat

Pesawat pengebom AS terbang dalam jarak 20 kilometer dari perbatasan Rusia.

Rep: Rizky Jaramaya/ Red: Teguh Firmansyah
Pesawat pengebom atau bomber AS supersonic B-1B Lancer.
Foto: Reuters
Pesawat pengebom atau bomber AS supersonic B-1B Lancer.

REPUBLIKA.CO.ID, MOSKOW -- Rusia mengambil langkah waspada setelah AS menggelar latihan serangan nuklir. Moskow menggandeng China untuk mengantisipasi ancaman dari AS tersebut.

Menteri Pertahanan Rusia Sergei Shoigu pada Selasa (23/11) menuduh Amerika Serikat (AS) melakukan latihan serangan nuklir di dekat perbatasan Rusia dari dua arah yang berbeda pada awal bulan ini. Shoigu mengatakan, pesawat pengebom AS terbang dalam jarak 20 kilometer dari perbatasan Rusia.

 

Shoigu mengatakan, Moskow telah mencatat peningkatan signifikan aktivitas pengebom strategis AS, yang telah melakukan 30 penerbangan di dekat Rusia bulan ini. Menurut Shoigu, aktivitas tersebut mengalami peningkatan 2,5 kali lipat dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Shoigu menyebut bahwa aktivitas ini sebagai simulasi serangan nuklir AS terhadap Rusia.

 

“Menteri pertahanan menggarisbawahi bahwa selama latihan militer AS ‘Global Thunder’, 10 pengebom strategis Amerika berlatih meluncurkan senjata nuklir melawan Rusia dari arah barat dan timur. Kedekatan minimum dengan perbatasan negara bagian kami adalah 20 kilometer," kata Shoigu seperti dikutip dalam pernyataan Kementerian Pertahanan.

 

Shoigu mengatakan, unit pertahanan udara Rusia telah melihat dan melacak pengebom strategis AS. Mereka mengambil tindakan yang tidak ditentukan untuk menghindari insiden.

 

Shoigu melontarkan pernyataan tersebut dalam konferensi melalui video dengan Menteri Pertahanan China Wei Fenghe. Dia mengatakan bahwa pesawat pengebom AS yang terbang di dekat perbatasan timur Rusia dapat menjadi ancaman bagi China. Rusia dan China sepakat untuk meningkatkan kerja sama  angkatan bersenjata dalam latihan militer strategis dan patroli bersama. 

 

"Dengan latar belakang ini, koordinasi Rusia-Cina menjadi faktor penstabil,” kata Shoigu.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement