Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Reza Syam Pratama

Ke Mana Arah Digitalisasi Perbankan Syariah Indonesia?

Lomba | Sunday, 28 Nov 2021, 12:41 WIB

Industri perbankan di Indonesia telah cukup lama menghadapi kendala terkait inklusi keuangan. Otoritas Jasa Keuangan mencatat tingkat inklusi keuangan Indonesia mencapai 76%, dengan tingkat inklusi keuangan masyarakat perkotaan mencapai 84% dan masyarakat perdesaan mencapai 65%. Artinya, terdapat cukup banyak masyarakat Indonesia yang belum bisa memanfaatkan produk atau layanan keuangan yang secara umum disebabkan dua hal. Pertama, keterbatasan akses pada layanan umum perbankan. Kedua, keterbatasan akses pada pembiayaan dan permodalan khususnya untuk keperluan produktif.

Hal pertama diakibatkan oleh keterbatasan infrastruktur fisik. Ada segmen masyarakat yang kesulitan mengakses layanan perbankan karena lokasi kantor bank tersebut terlalu jauh dari tempat tinggalnya. Hal kedua lebih terkait manajemen risiko perbankan. Cukup banyak segmen masyarakat yang tidak memenuhi kriteria untuk menerima pembiayaan dan permodalan dari lembaga keuangan. Segmen masyarakat inilah yang akhirnya digarap oleh industri financial technology (fintek), khususnya di sektor peer-to-peer lending.

Dua kendala di atas terlihat mulai dapat diantisipasi melalui digitalisasi selama beberapa tahun terakhir. Digital banking ringkasnya adalah penggunaan teknologi digital di sektor perbankan untuk menyediakan layanan bagi para nasabah. Digitalisasi tentu tidak hanya memindah layanan dari kertas ke komputer saja. Digital banking mencakup perubahan proses bisnis yang pada akhirnya dapat meningkatkan kualitas dan efisiensi layanan pada nasabah. Industri perbankan saat ini terlihat gesit memperbaiki kualitas fitur-fitur internet & mobile banking-nya. Bahkan beberapa bank yang sepenuhnya digital saat ini telah beroperasi di Indonesia.

Dampak digitalisasi layanan pada industri perbankan sudah terlihat seperti yang dicatat Statistik Perbankan Indonesia. Selama periode 2016 sampai 2020, jumlah kantor bank turun dari 32.730 menjadi 30.733 kantor saja, yang juga diikuti dengan penurunan jumlah pegawai industri perbankan. Akibat efisiensi ini, total keuntungan industri juga naik dari Rp106 triliun menjadi Rp156 triliun pada 2019. Upaya efisiensi ini masih bisa berlanjut mengingat proses bisnis sebagian besar bank di Indonesia saat ini masih sangat bergantung pada layanan tatap muka seperti pembukaan rekening maupun pengajuan pembiayaan.

Arus digitalisasi ini relevan dengan profil perbankan syariah Indonesia. Jumlah kantor bank syariah (di luar unit usaha syariah dan office channeling) hanya mencapai 1.856 kantor, atau hanya 6% dari total kantor bank di Indonesia. Inilah sebabnya Anda kemungkinan besar hanya menjumpai kantor cabang bank syariah di kota-kota besar saja. Namun, lanskap ini tidak perlu membuat industri perbankan syariah berkecil hati. 44% masyarakat Indonesia saat ini tinggal di perdesaan dan kemungkinan besar belum menerima layanan perbankan yang optimal. Akuisisi dan retensi nasabah, penyaluran kredit, dan penyediaan layanan perbankan dapat dilakukan tanpa melalui kantor cabang apabila bank tersebut telah mengoptimalkan layanan digital banking-nya.

Selain itu, digitalisasi juga berpotensi mendorong akses pembiayaan dan permodalan pada segmen nasabah yang selama ini tidak memenuhi kriteria pembiayaan lembaga keuangan. Industri perbankan memang harus mulai berpikir out of the box. Bagaimana jika, misalnya, credit scoring tidak hanya dibangun berdasarkan data keuangan historis calon nasabah, tetapi berdasarkan profiling karakter nasabah melalui jejak digitalnya? Bagaimana cara mendeteksi lebih dini kecurangan yang berpotensi merugikan bank? Apabila pertanyaan ini berhasil dijawab dengan metodologi yang robust, masyarakat yang selama ini kesulitan memperoleh pembiayaan karena tidak memiliki aset untuk dijaminkan atau catatan kredit yang terpercaya tetap bisa mengakses pembiayaan dengan margin yang terjangkau.

Tentu saja terdapat beberapa tantangan terkait implementasi teknik ini, dari masalah etis, metodologi, sampai ketersediaan infrastruktur digital. Namun, melihat terus tumbuhnya penetrasi internet di masyarakat dan berkembangnya institusi pendidikan terkait data science, rasanya kita akan menjumpai hal ini tak lama lagi. Industri perbankan mulai perlu mempersiapkan diri pada kemungkinan implementasi teknik-teknik progresif seperti ini. Lebih berisiko, betul; tapi worth trying.

Implementasi digital banking yang mampu menjawab dua tantangan perbankan yang saya sebutkan di awal tulisan ini saya kira cukup signifikan. Perbankan syariah dapat menjangkau 24% masyarakat Indonesia, atau 64 juta orang, yang selama ini belum tersentuh layanan perbankan. Dari sisi industri, ini berarti lebih banyak dana yang dihimpun dan disalurkan kembali. Implementasi digital banking, ringkasnya, bisa mengoptimalkan fungsi perbankan sebagai financial intermediary.

Riset Change in Banking Report 2019 melaporkan alasan utama nasabah memilih bank digital didominasi oleh efisiensi proses bisnis (44%), efisiensi biaya (18%), dan kemudahan akses lewat perangkat mobile (22%). Faktor lain meliputi kendali penuh atas uang (24%) dan lebih personalized (14%). Studi ini memberikan insight bahwa keberhasilan digital banking tidak hanya terletak pada perubahan layanan berbasis kertas dan kontak fisik menjadi terkomputerisasi. Layanan itu juga harus lebih mudah digunakan, lebih murah, lebih aman, dan sesuai dengan kebutuhan pribadi nasabah. Riset internal beberapa lembaga keuangan di Indonesia yang pernah saya baca menunjukkan konsumen sangat mengapresiasi kemudahan mengakses layanan perbankan ini, misalnya kemudahan mengatur keuangan mereka di satu tempat saja tanpa harus mengantre lagi di bank.

Terakhir, digitalisasi layanan ini juga perlu dikolaborasikan dengan upaya marketing dan brand building yang serius dari industri perbankan syariah. Industri perbankan secara umum sangat serius meningkatkan kualitas layanan digitalnya, sehingga perbankan syariah tetap perlu memiliki competitive advantage yang perlu dikomunikasikan secara intens pada masyarakat. Hal ini terutama mengingat tingkat literasi keuangan syariah Indonesia yang masih berada di level 8,93%. Literasi yang meningkat diharapkan dapat meningkatkan permintaan akan produk keuangan yang disediakan perbankan syariah, sehingga juga dapat meningkatkan kontribusi keuangan syariah terhadap ekonomi Indonesia.

#ASR2021

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image