Kamis 02 Dec 2021 14:02 WIB

China Luncurkan Program Wajib Bahasa Mandarin

China meluncurkan kampanye agresif untuk mempromosikan bahasa Mandarin

Rep: Dwina Agustin/ Red: Christiyaningsih
Bendera China berkibar pada sebuah masjid di kota tua di Kashgar, Daerah Otonomi Uighur Xinjiang, China, Selasa (4/5). China meluncurkan kampanye agresif untuk mempromosikan bahasa Mandarin.
Foto: REUTERS/Thomas Peter
Bendera China berkibar pada sebuah masjid di kota tua di Kashgar, Daerah Otonomi Uighur Xinjiang, China, Selasa (4/5). China meluncurkan kampanye agresif untuk mempromosikan bahasa Mandarin.

REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING -- China meluncurkan kampanye agresif untuk mempromosikan bahasa Mandarin. Pemerintah mengatakan 85 persen warganya akan menggunakan bahasa nasional pada 2025.

Langkah itu tampaknya akan menempatkan dialek regional China yang terancam seperti Kanton dan Hokkien di bawah tekanan yang lebih besar. Kondisi ini akan memperparah tekanan kepada bahasa minoritas seperti Tibet, Mongolia, dan Uighur.

Baca Juga

Perintah yang dikeluarkan oleh Dewan Negara dan Kabinet China pada Selasa (30/11) mengatakan penggunaan bahasa Mandarin atau yang dikenal dalam bahasa China sebagai "putonghua" ini tidak seimbang dan tidak memadai. Kondisi ini membuat pemerintah memutuskan perlu ditingkatkan untuk memenuhi tuntutan ekonomi modern.

Seiring dengan tujuan 2025, kebijakan tersebut bertujuan untuk menjadikan bahasa Mandarin hampir universal pada 2035. Tujuan ini termasuk penerapan di daerah perdesaan dan di antara etnis minoritas.

Para kritikus secara sporadis memprotes perubahan pada sistem pendidikan dan persyaratan pekerjaan yang terus mengikis peran bahasa minoritas. Upaya ini dilakukan sebagai kampanye untuk memberantas budaya yang tidak sesuai dengan kelompok etnis Han yang dominan.

Promosi bahasa Mandarin di atas bahasa lain pun telah memicu protes sesekali, termasuk tahun lalu di wilayah Mongolia Dalam. Ketika itu bahasa Mongolia digantikan oleh bahasa Mandarin standar sebagai bahasa pengantar.

Partai Komunis China yang berkuasa telah mengecam semua gerakan seperti itu sebagai bentuk separatisme dan menindasnya dengan kejam. Dikatakan kesesuaian bahasa diperlukan demi ekonomi dan persatuan nasional.

Kebijakan baru pemerintah didukung oleh persyaratan hukum dan dokumen yang dikeluarkan menuntut pengawasan yang lebih kuat. "Memastikan bahwa bahasa lisan dan tulisan nasional digunakan sebagai bahasa resmi lembaga pemerintah dan digunakan sebagai bahasa dasar sekolah, berita dan publikasi, radio, film dan televisi, layanan publik, dan bidang lainnya," katanya.

Aturan itu juga menyerukan kepada para pejabat untuk dengan penuh semangat meningkatkan status internasional dan pengaruh orang China di sektor akademik, organisasi internasional, dan pada pertemuan global. Upaya pemerintah untuk mempromosikan bahasa Mandarin melalui jaringan Institut Konfusius di seluruh dunia telah menjadi kontroversi.

Kritik mengecam lembaga itu sebagai upaya untuk mempromosikan agenda partai. Dugaan ini terlihat dengan keputusan membatalkan diskusi tentang topik-topik seperti catatan hak asasi manusia milik China.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement