Jumat 17 Dec 2021 15:42 WIB

Masyarakat Pangandaran Terus Diedukasi Mitigasi Tsunami

Tagana juga telah membentuk relawan di tingkat desa, terutama yang berada di pesisir

Rep: bayu adji p/ Red: Hiru Muhammad
Tagana Kabupaten Pangandaran melakukan penanaman mangrove di daerah muara sungai sebagai bentuk mitigasi terhadap ancaman bencana tsunami, Rabu (15/12).
Foto: dok. Tagana Kabupaten Pangandaran.
Tagana Kabupaten Pangandaran melakukan penanaman mangrove di daerah muara sungai sebagai bentuk mitigasi terhadap ancaman bencana tsunami, Rabu (15/12).

REPUBLIKA.CO.ID, PANGANDARAN -- Kabupaten Pangandaran merupakan salah satu daerah pesisir di selatan Jawa Barat (Jabar) yang memiliki potensi kejadian bencana tsunami. Sejarah juga mencatat, daerah itu pernah diterjang tsunami pada 2006 silam. 

Ketua Taruna Siaga Bencana (Tagana) Kabupaten Pangandaran, Nana Suryana, mengatakan, sejak tsunami menerjang daerah itu pada 2006, pemerintah terus mengembangkan sistem pencegahan tsunami. Selain itu, masyarakat juga terus diedukasi terkait mitigasi bencana tsunami. "Selama ini sudah mulai cukup baik persiapan kesiapsiagaannya," kata dia, Jumat (17/12).

Baca Juga

Nana menjelaskan, Tagana juga telah membentuk relawan di tingkat desa, terutama yang berada di wilayah pesisir untuk mengisisiasi pendirian kampung siaga bencana. Kampung siaga bencana itu dibentuk dengan tujuan agar masyarakat yang tinggal di wilayah rawan tsunami memiliki pemahaman yang memadai. "Di sana kami latih masyarakat terkait kesiapsiagaan bencana, termasuk bencana tsunami," ujar dia.

Menurut Nana, menguatkan pemahaman di kalangan masyarakat dalam menghadapi bencana adalah faktor yang sangat penting untuk memininalisir jatuhnya korban jiwa. Ia mencontohkan, ketika terjadi tsunami di Kabupaten Pangandaran pada 2006, banyak korban jiwa yang muncul. Itu disebabkan banyak masyarakat yang tidak paham harus berbuat apa. Karena itu, saat ini, pihaknya terus melakukan edukasi kepada masyarakat.

Dalam bencana tsunami, terdapat golden time sekitar 10-30 menit setelah terjadi gempa bumi. Usai gempa terjadi, permukaan air laut biasanya akan menyurut sebelum gelombang besar terjadi. Tenggang waktu di antara gempa dan gelombang besar itu dinulai cukup untuk menyelamatkan diri. "Ini yang kami sosialisasikan ke masyarakat," kata Nana.

Selain itu, ia menambahkan, pihaknya juga rutin melakukan penanaman mangrove. Menurut dia, mangrove akan berfungsi sebagai green belt di daerah muara ketika tsunami menerjang, sehingga dampaknya ke daratan dapat dimininalisir. Sebab, daerah muara akan menjadi "jalan tol" gelombang tsunami apabila tak dibentengi.

"Targetnya, seluruh pesisir, terutama muara, ada hutan mangrove. Jadi bisa menjadi benteng dari ancaman tsunami. Secara lingkungan juga itu kan baik untuk perkembangan biota laut," kata dia.

Di samping itu, Tagana juga terus mendorong Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Pangandaran untuk meningkatkan kapasitas infrastruktur dalam menghadapi bencana. Artinya, semua sektor pembangunan dilandasi dengan mitigasi bencana.

Nana mencontohkan, hotel-hotel yang banyak terdapat di Kabupaten Pangandaran, harus memiliki tempat yang dapat dijadikan tempat evakuasi sementara (TES). Menurut dia, Tagana sudah beberapa kali mengusulkan agar hotel menggunakan bagian balkonnya yang paling atas untuk menjadi TES. "Karena bangunan hotel di Pangandaran itu cukup kuat. Sementara, apabila masyarakat harus evakuasi ke daratan tinggi itu cukup jauh, rambu juga masih minim. Jadi alternatifnya itu bangunan tinggi," kata dia.

Ihwal sistem peringatan dini atau early warning system (EWS) bencana tsunami di Pangandaran, Nana menilai, saat ini masih minim. Ia menyebutkan, di sepanjang pantai daerah itu, hanya terdapat dua EWS yang berfungsi, yaitu di Pantai Pangandaran dan Bojongsalawe. Menurut dia, EWS harus ditambah mengingat pantai di Pangandaran cukup panjang. 

Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana (BPBD) Kabupaten Pangandaran, Kustiman, mengatakan, pihaknya juga terus meningkatkan kapasitas sumber daya manusia serta sarana dan prasarana dalam mitigasi bencana tsunami. Apalagi, Kabupaten Pangandaran pernah memiliki sejarah diterjang bencana itu pada 2006.

Salah satu kegiatan mitigasi yang rutin dilakukan adalah melakukan simulasi membunyikan sirine peringatan dini tsunami di Kabupaten Pangandaran setiap tanggal 26. "Itu untuk mengingatkan masyarakat agar selalu siap," kata dia. 

Selain itu, Kabupaten Pangandaran juga telah memiliki TES yang dapat dijadikan shelter ketika terjadi tsunami. TES itu berada sekitar 500 meter dari pantai dan dapat menampung sekitar 1.000 orang. Ketika ada gempa besar, masyarakat di sekitar pantai dapat langsung melakukan evakuasi ke TES.

Ihwal keberadaan EWS, Kustiman menyebut, saat ini sudah ada tiga unit yang terpasang di Kabupaten Pangandaran. "Semua masih ada, ada yang berfungsi di antaranya di Pantai Pangandaran dan Bojongsalawe. Memang EWS ini masih kurang, karena wilayah pantai di Pangandaran itu panjang. Namun kan kita tak bisa membalikkan sebelah tangan untuk memenuhinya," kata dia.

 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement