Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Faizul Kirom

Penegakan Hukum Kejahatan Dunia Maya di Indonesia

Teknologi | Saturday, 18 Dec 2021, 00:43 WIB

Kejahatan dunia maya adalah istilah yang mengacu kepada aktivitas kejahatan dengan alat perantara seperti komputer atau jaringan komputer, sasaran atau tempat terjadinya kejahatan. Indonesia sejatinya tidak memiliki definisi hukum untuk kejahatan siber. Saat ini penegakan hukum pada dunia maya terfokus pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 sebagai amandemen dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).Terdapat beberapa ketentuan tentang tindak pidana yang mengatur persoalan kejahatan siber. Definisi kejahatan siber dapat disimpulkan dari artikel tentang kejahatan tersebut. Anatomi kejahatan siber berdasarkan UU ITE dapat dibagi menjadi dua kelompok.

Pertama, kejahatan yang menargetkan internet, komputer, dan teknologi terkait. Di bawah Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik, ada tujuh jenis kejahatan yang diklasifikasikan sebagai kejahatan yang menargetkan internet, komputer, dan teknologi terkait. Kejahatan-kejahatan tersebut dianggap sebagai kejahatan kontemporer yang menghasilkan bentuk kejahatan baru.

Pada UU ITE mengatur persoalam kejahatan yang meliputi : Meretas (Hacking) pada Pasal 30, Intersepsi ilegal pada Pasal 31 Ayat (1) dan Pasal 31 Ayat (2), Mengotori (Defacing) pada Pasal 32, Pencurian Elektonik pada Pasal 32 Ayat (2)Interference pada Pasal 33, Memfasilitasi tindak pidana terlarang pada Pasal 34, Pencuri Identitas Identitas pada Pasal 35.

kedua adalah konten ilegal dengan menggunakan internet, komputer dan teknologi terkait untuk melakukan kejahatan. Di bawah UU ITE, ada tujuh jenis kejahatan yang diklasifikasikan sebagai kejahatan yang menargetkan internet, komputer, dan teknologi terkait. Kejahatan ini terkait dengan publikasi dan distribusi konten ilegal. Tidak seperti kelompok pertama yang menganggap bentuk kejahatan baru, kelompok kedua dianggap sebagai kejahatan lama, tetapi perkembangan teknologi telah menciptakan media baru untuk memberikan kebebasan berekspresi. Oleh karena itu, legislator mengatur ulang kejahatan dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik. Sebenarnya, semua jenis kejahatan ini sudah diatur dalam tindakan kriminal lainnya dan ini menciptakan apa yang disebut Douglas Huzak sebagai kriminalisasi berlebihan.

Pada UU ITE mengatur konten terlarang yakni : Pornografi pada Pasal 27 Ayat (1) ,Judi pada Pasal 27 Ayat (2), Fitnah pada Pasal 27 Ayat (3), Pemerasan pada Pasal 27 Ayat (4), Tipuan yang membahayakan konsumen pada Pasal 28 Ayat (1), Ujaran kebencian pada Pasal 28 Ayat (2), dan Ancaman kekerasan terhadap orang lain pada Pasal 29.

Lalu, bagaimana persoalan hukum materiil dan formil pada kejahatan siber sendiri di Indonesia? apakah hanya terdapat pada UU ITE saja?

Pengaturan Tindak Pidana Siber Materil di Indonesia

Secara luas, tindak pidana siber ialah semua tindak pidana yang menggunakan sarana atau dengan bantuan sistem elektronik. Itu artinya semua tindak pidana konvensional dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) sepanjang dengan menggunakan bantuan atau sarana sistem elektronik seperti pembunuhan, perdagangan orang, dapat termasuk dalam kategori tindak pidana siber dalam arti luas. Demikian juga tindak pidana dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2011 tentang Transfer Dana (“UU 3/2011”) maupun tindak pidana perbankan serta tindak pidana pencucian uang dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (“UU TPPU”).

Akan tetapi, dalam pengertian yang lebih sempit, pengaturan tindak pidana siber diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU ITE”) sebagaimana yang telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU 19/2016”) sama halnya seperti Convention on Cybercrimes, UU ITE juga tidak memberikan definisi mengenai cybercrimes, tetapi membaginya menjadi beberapa pengelompokkan yang mengacu pada Convention on Cybercrimes : Tindak pidana yang berhubungan dengan aktivitas illegal, Tindak pidana yang berhubungan dengan gangguan (interferensi), Tindak pidana memfasilitasi perbuatan yang dilarang, Tindak pidana pemalsuan informasi atau dokumen elektronik, Tindak pidana tambahan, dan Perberatan-perberatan terhadap ancaman pidana.

Pengaturan Tindak Pidana Siber Formil di Indonesia

Selain mengatur tindak pidana siber materil, UU ITE mengatur tindak pidana siber formil, khususnya dalam bidang penyidikan. Pasal 42 UU ITE mengatur bahwa penyidikan terhadap tindak pidana dalam UU ITE dilakukan berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”) dan ketentuan dalam UU ITE. Artinya, ketentuan penyidikan dalam KUHAP tetap berlaku sepanjang tidak diatur lain dalam UU ITE. Kekhususan UU ITE dalam penyidikan antara lain:

- Penyidik yang menangani tindak pidana siber ialah dari instansi Kepolisian Negara RI atau Pejabat Pegawai Negeri Sipil (“PPNS”) Kementerian Komunikasi dan Informatika;

- Penyidikan dilakukan dengan memperhatikan perlindungan terhadap privasi, kerahasiaan, kelancaran layanan publik, integritas data, atau keutuhan data;

- Penggeledahan dan/atau penyitaan terhadap sistem elektronik yang terkait dengan dugaan tindak pidana harus dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum acara pidana;

- Dalam melakukan penggeledahan dan/atau penyitaan sistem elektronik, penyidik wajib menjaga terpeliharanya kepentingan pelayanan umum.

Ketentuan terkait penyidikan UU ITE dan peruahannya juga erlaku untuk penyidikan kejahatan dunia maya dalam arti yang leih luas. Misalnya dalam tindak pidana perpajakan seelum menggeledah atau menyita server ank penyidik harus memperhatikan erfungsinya pelayanan pulik dan menjaga kepentingan pelayanan pulik sesuai dengan ketentuan undang-undang ITE dan peruahannya. Jika mematikan server perankan mengganggu utilitas Anda tidak oleh mengamil tindakan itu. Prosedur penuntutan kejahatan dunia maya secara sederhana dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Korban merasa bahwa haknya telah dilanggar atau melalui pengacara langsung melaporkan kejadian terseut kepada penyidik POLRI Unit Kejahatan Dunia maya Departemen atau agi penyidik PPNS di awah Su Bagian Penyidikan dan Penindakan Kementerian Komunikasi dan Informatika. Selain itu penyidik akan melakukan penyidikan yang dapat dilanjutkan dengan penyidikan kasus yang ersangkutan menurut KUHAP dan ketentuan UU ITE.

2. Setelah penyidikan selesai erkas penyidik akan diserahkan kepada penuntut umum untuk dituntut di pengadilan. Jika penyidiknya adalah PPNS maka hasil penyidikannya akan disampaikan kepada penuntut umum melalui penyidik POLRI.

Selain UU ITE peraturan yang menjadi dasar penanganan kasus cyercrime di Indonesia adalah Peraturan Penegakan Hukum ITE dan juga peraturan teknis penyidikan di masing-masing lemaga penyidikan.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image