Senin 20 Dec 2021 10:45 WIB

Kasus Varian Omicron Meningkat, IHSG Diprediksi Koreksi

Saham di Asia dibuka turun di tengah kekhawatiran pemberlakuan kembali lockdown.

Rep: Retno Wulandhari/ Red: Friska Yolandha
Layar menampilkan pergerakan indeks harga saham di Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Selasa (14/12/2021). Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada penutupan perdagangan Selasa (14/12) melemah 0,70 persen atau turun 47 poin di level 6.615 dibandingkan penutupan sebelumnya.
Foto: Antara/Hafidz Mubarak A
Layar menampilkan pergerakan indeks harga saham di Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Selasa (14/12/2021). Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada penutupan perdagangan Selasa (14/12) melemah 0,70 persen atau turun 47 poin di level 6.615 dibandingkan penutupan sebelumnya.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dibuka di zona negatif pada perdagangan awal pekan ini, Senin (20/12). IHSG melemah ke posisi 6.571,34 dan terus turun ke level 6.547,25 seiring dengan indeks LQ45 yang turun 0,67 persen. 

Phillip Sekuritas Indonesia memperkirakan IHSG akan cenderung lesu hari ini. Hal tersebut sejalan dengan indeks saham Asia yang dibuka turun karena dipengaruhi perkembangan varian Omicron. 

Baca Juga

"Indeks saham di Asia dibuka turun di tengah kekhawatiran mengenai pemberlakuan kembali kebijakan pembatasan sosial di lebih banyak negara untuk menangkal penyebaran varian Omicron," tulis Phillip Sekuritas Indonesia dalam risetnya, Senin (20/12).

Lonjakan kasus penularan varian Omicron telah memicu pemberlakukan kembali kebijakan pembatasan sosial yang ketat di sejumlah negara Eropa. Pelaku pasar juga khawatir penanganan varian Omicron akan berdampak pada pengetatan kebijakan moneter. 

"Hal ini dinilai akan mengancam pemulihan ekonomi global di awal tahun 2022," terang Phillip Sekuritas Indonesia. 

Dari AS, investor memantau komentar terkini Senator Joe Manchin yang membuat Partai Demokrat tidak memiliki banyak opsi untuk mendorong agenda ekonomi Predien Biden setelah Manchin menolak paket belanja dan kenaikan pajak senilai sekitar 2 triliun dolar AS.

Sementara itu, imbal hasil (yield) surat utang Pemerintah AS (US Treasury note) bertenor 10 tahun turun 1,5 bps menjadi 1,41 persen seiring meningkatnya permintaan atas aset-aset yang dianggap aman. Sebagai antisipasi siklus pengetatan kebijakan moneter, yield biasanya akan bergerak naik jika bank sentral AS mengumumkan sikap tegas.

Menurut riset, sebagian investor menyakini pengetatan kebijakan moneter yang di lakukan oleh bank sentral besar di dunia minggu lalu dapat menahan lonjakan inflasi. Sebagian investor lain khawatir pasar yang selama ini kenaikannya di topang oleh kebijakan suku bunga rendah akan sangat rentan terhadap pengurangan paket stimulus moneter.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement