Sabtu 25 Dec 2021 06:01 WIB

Omicron Datang, Kasus Harian tidak Naik Signifikan: Benarkah Kita Sudah Kebal?

Pemerintah terlihat percaya diri tidak melakukan pembatasan mobilitas saat Nataru.

Red: Joko Sadewo
Calon penumpang mengantre sebelum jam keberangkatan di Stasiun Pasar Senen, Jakarta, Jumat (24/12). Pada puncak arus mudik libur Natal dan Tahun Baru 2021 (Nataru) PT. KAI Daop 1 Jakarta mewajibkan calon penumpang yang hendak melakukan perjalanan menggunakan kereta api untuk melampirkan hasil negatif test antigen 1x24 jam atau rapid test PCR 3x24 jam.
Foto: Republika/Thoudy Badai
Calon penumpang mengantre sebelum jam keberangkatan di Stasiun Pasar Senen, Jakarta, Jumat (24/12). Pada puncak arus mudik libur Natal dan Tahun Baru 2021 (Nataru) PT. KAI Daop 1 Jakarta mewajibkan calon penumpang yang hendak melakukan perjalanan menggunakan kereta api untuk melampirkan hasil negatif test antigen 1x24 jam atau rapid test PCR 3x24 jam.

Oleh : Mas Alamil Huda, Jurnalis Republika

REPUBLIKA.CO.ID, Jika Covid-19 varian omicron benar lebih menular dibandingkan delta, seharusnya sudah mulai terjadi kenaikan kasus harian di Indonesia. Asumsi ini berlaku apabila tingkat vaksinasi masih sama seperti pada Juni-Juli lalu di mana gelombang kedua melanda Tanah Air disebabkan varian delta.

Jumlah orang yang pernah terinfeksi secara alami juga mesti dimasukkan. Karena, baik terinfeksi alami atau yang divaksinasi, keduanya merupakan ‘metode’ imunisasi. Itu adalah salah satu dari sekian banyak kemungkinan, mengapa hingga pekan kedua setelah kasus pertama varian omicron di Tanah Air, kasus harian di Indonesia konsisten menurun. Dengan catatan, vaksinasi efektif mencegah perburukan gejala.

Ada pendapat dari ahli kesehatan dr Andreas Harry Lilisantoso yang juga anggota Asosiasi Peneliti Alzheimer Internasional (AAICAD) yang menyatakan, Indonesia tidak perlu khawatir dengan varian omicron. Banyaknya sinar ultraviolet di negara seperti Indonesia menjadi salah satu keuntungan karena penyebaran virus akan terhambat.

Dengan kata lain, Indonesia bukan tempat yang ‘nyaman’ bagi varian yang pertama kali ditemukan di Afrika Selatan ini. Varian omicron disebut hanya ganas di negara yang ultraviolet (UV)-nya cuma dua. Sedangkan di Indonesia, rata-rata delapan UV. Bisa jadi, mengapa penyebaran omicron di Eropa sangat cepat, karena faktor ini berkontribusi besar meski cakupan vaksinasi di sana tinggi.

Baik karena efektivitas vaksinasi ataupun keuntungan iklim Indonesia, keduanya merupakan kemungkinan dari bagian misterinya Covid-19 dan segala turunannya. Bahkan, omicron yang disebut jauh lebih mudah menyebar dibandingkan varian delta pun kini masih terus diuji di berbagai penelitian untuk membuktikannya secara saintifik. Belum ada yang pasti soal itu.

Kita ketahui, kasus pertama yang terjadi pada N, petugas kebersihan di Wisma Atlet diumumkan pada 15 Desember. N terkonfirmasi positif varian omicron setelah sampel yang diambil pada 8 Desember dilakukan whole genome sequencing (WGS). N tidak pernah melakukan perjalanan luar negeri. Artinya, dia tertular dari orang lain yang kemudian dicurigai berasal dari WNI yang datang dari Nigeria pada akhir November. Dengan catatan seperti itu, beberapa virolog maupun epidemiolog tak yakin omicron belum menyebar di Indonesia.

Terlepas dari itu semua, faktanya hari ini kasus harian di Indonesia konsisten turun. Rata-rata kasus harian dalam periode 13-19 Desember 2021 (sepekan), tercatat ada 200 kasus baru dengan positivity rate 0,1 persen. Artinya, dari 1.000 orang yang dites, ‘hanya’ satu orang yang positif. Kasus meninggal rata-rata sembilan orang.

Jika dibandingkan dengan pekan pada 6-12 Desember, kasus harian rata-rata 208 kasus baru sebanyak 208 orang. Sementara kasus meninggal dunia 10 orang per hari. Kasus aktif per Rabu (22/12) pun di bawah 5.000 orang. Kasus aktif adalah konfirmasi positif Covid-19 yang saat ini masih dirawat atau sedang menjalani proses penyembuhan.

Dengan catatan kasus yang konsisten turun sejak puncak kasus pada Juli lalu, jelas bahwa libur Natal dan tahun baru (Nataru) beberapa hari lagi akan menjadi ujian. Terlebih, pemerintah sudah pasti tak akan melakukan penyekatan dalam membatasi mobilitas masyarakat, meski beberapa area publik dan kegiatan masih dibatasi.

Kita sepakat libur Nataru mendatang menjadi ujian sekaligus penentu bagaimana jalan bangsa ini di 2022. Sebab, pengalaman dan data memang membuktikan demikian. Sejak awal pandemi, kenaikan selalu terjadi ketika momentum libur panjang. Dua pekan hingga beberapa pekan setelahnya, kasus positif selalu melonjak signifikan. Indonesia, belum pernah berhasil melewati periode libur panjang tanpa mengalami kenaikan kasus.

Tetapi, pemerintah terlihat percaya diri untuk tidak melakukan pembatasan mobilitas terlalu ketat di momentum libur Nataru besok. Saya meyakini ada data kuat yang menjadi basis kebijakan itu. Di sisi lain, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) akan merilis hasil survei serologi di pekan terkahir tahun ini.

Uji serologi adalah pemeriksaan darah untuk mendeteksi antibodi. Antibodi merupakan respons imun terhadap suatu infeksi. Uji ini dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya antibodi spesifik seseorang, dalam hal ini terhadap Covid-19. Saya tidak tahu apakah kebijakan Nataru yang relatif longgar terkait dengan ini. Tetapi, menarik untuk menunggu hasil yang akan dirilis Kemenkes dalam waktu dekat terkait ini. Seberapa banyak populasi yang telah memiliki kekebalan terhadap Covid-19.

Lepas dari itu, kombinasi omicron dan libur Nataru ini bisa jadi ancaman sekaligus titik balik bagi bangsa Indonesia. Bisa saja peningkatan kasus kembali terjadi sebagaimana pengalaman libur-libur sebelumnya. Tetapi jika itu tidak terjadi, maka harapan untuk lepas dari lorong gelap pandemi telah menemui jalan terang di tahun depan. Semoga.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement