Senin 27 Dec 2021 18:09 WIB

Australia Laporkan Kasus Pertama Kematian Omicron

Kenaikan kasus Covid-19 di Australia belum sebabkan peningkatan di sistem kesehatan.

Red: Indira Rezkisari
Kematian pertama akibat Omicron di Australia  terjadi pada pria berusia sekitar 80 tahun dengan penyakit bawaan.
Foto: Pixabay
Kematian pertama akibat Omicron di Australia terjadi pada pria berusia sekitar 80 tahun dengan penyakit bawaan.

REPUBLIKA.CO.ID, SYDNEY -- Pemerintah Australia telah melaporkan kematian pertama dari kasus Covid-19 varian Omicron pada Senin (27/12). Kasus harian Covid-19 di Australia terus meningkat, otoritas namun tak memberlakukan pembatasan baru dan mengatakan bahwa tingkat perawatan di rumah sakit tetap rendah.

Kematian akibat Omicron terjadi pada pria berusia sekitar 80 tahun dengan penyakit bawaan. Hal tersebut menjadi catatan yang suram bagi Australia. Negara Kanguru itu telah membatalkan sejumlah langkah pembukaan kembali, yang telah direncanakan hampir dua tahun setelah karantina wilayah beberapa kali diberlakukan.

Baca Juga

Para ahli kesehatan menyebutkan bahwa varian Omicron lebih mudah menular namun tak seganas varian Covid-19 lainnya. Varian tersebut mulai menyebar di Australia saat negara itu baru saja mulai melonggarkan pembatasan pada kebanyakan perbatasan domestik dan memperbolehkan warga negaranya untuk kembali dari luar negeri tanpa harus menjalani karantina.

Hal tersebut pun menyebabkan lonjakan angka kasus menjadi yang tertinggi selama pandemi. Otoritas tidak memberikan rincian lebih lanjut terkait kematian akibat varian Omicron itu, namun mengatakan bahwa pria tersebut tertular di fasilitas lansia dan meninggal dunia di sebuah rumah sakit di Sydney.

"Ini adalah kematian pertama yang diketahui di negara bagian New South Wales yang terkait dengan varian Omicron," kata epidemiolog NSW Health Christine Selvey dalam sebuah video yang dikeluarkan oleh pemerintah. Pria tersebut merupakan salah satu dari tujuh kematian akibat Covid-19 yang dilaporkan di Australia pada hari sebelumnya.

Negara tersebut mencatat 10.186 kasus baru. Angka tersebut merupakan total yang melebihi 10.000 untuk pertama kalinya, dengan kebanyakan kasus baru terletak di New South Wales dan Victoria.

"Meskipun kita melihat angka yang meningkat... kami tidak melihat dampaknya terhadap sistem rumah sakit," kata pimpinan Queensland Annastacia Palaszczuk. Negara bagian itu melaporkan 784 kasus baru dengan empat orang yang dirawat di rumah sakit.

Dia pun membela kebijakan wajib tes di negara bagian yang ramah turis itu, meski terdapat laporan terkait waktu tunggu tes Covud selama enam jam bagi mereka yang berharap untuk memenuhi persyaratan perjalanan masa libur antar-negara bagian. "Semua orang tahu bahwa saat mereka memesan tiket, jika mereka ingin datang ke sini mereka harus melakukan tes PCR," ujarnya.

Meski demikian, dia menambahkan bahwa Queensland tengah mempertimbangkan apakah harus melonggarkan persyaratan untuk pengunjung domestik. Tasmania, yang juga merupakan negara bagian yang populer di kalangan turis, juga tengah mempertimbangkan perubahan terhadap peraturan tes di perbatasan.

Baca juga : Libur ke Luar Negeri Dilarang, Luhut Sarankan Wisata Domestik

Di seluruh negara, peningkatan jumlah infeksi memberikan beban tambahan terhadap daya pengujian. Klinik tes SydPath telah mengkonfirmasi, pada satu hari sebelumnya, bahwa mereka memberikan informasi yang salah kepada 400 orang yang positif terinfeksi Covid dengan mengatakan bahwa mereka negatif dalam beberapa hari sebelum hari Natal. Pada Senin, mereka baru menyadari telah salah mengirim pesan dengan hasil tes yang salah kepada 995 orang lainnya.

Sejauh ini, otoritas Australia telah menolak untuk kembali memberlakukan penguncian di tengah jumlah kasus yang melonjak namun telah kembali memberlakukan beberapa kebijakan pembatasan. Pada Senin, negara bagian New South Wales kembali mewajibkan masyarakatnya untuk melakukan check-in menggunakan kode yang dipindai saat memasuki fasilitas-fasilitas publik, sementara banyak negara bagian lain kembali memberlakukan wajib masker di area publik dalam ruangan. Negara itu juga telah mempersempit masa penyuntikan booster vaksin dari enam bulan menjadi empat bulan, dan akan segera menjadi tiga bulan, dilansir dari Reuters.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement