Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Annisa Sucinurani

Korean Wave, Kenikmatan atau Imperialisme

Gaya Hidup | Monday, 27 Dec 2021, 16:52 WIB
Sumber: Unsplah.com

Kemajuan teknologi yang semakin canggih serta perkembangan zaman yang semakin modern membuat budaya asing lebih mudah dan lebih cepat masuk ke Indonesia. Tidak terbatas budaya dari barat saja, Asia kini mulai aktif menyebarkan budayanya ke seluruh pelosok dunia. Korea Selatan menjadi salah satu negara asal Asia Timur yang telah berhasil menjadi pengekspor budaya populer melalui musik, mode fesyen, kuliner, drama, film, dan lain sebagainya. Bahkan bisa dibilang saat ini Korea menjadi saingan berat negara-negara yang berada di benua Amerika dan Eropa dalam hal menyebarkan budaya populer. Tak perlu diragukan lagi, kini korean wave mulai mempengaruhi gaya hidup masyarakat Indonesia khususnya para remaja dan membuat mereka lebih mencintai budaya Korea dibanding budaya negeri sendiri.

Setidaknya ada tiga komoditas yang diunggulkan industri hiburan Korea Selatan yaitu film, drama atau yang biasa disebut drakor, serta musik pop atau K-Pop. Di antara ketiganya, drakor menjadi hal yang paling digemari dan paling laris di kalangan masyarakat Asia, khususnya Indonesia. Sejak drakor mulai ditayangkan di televisi nasional, istilah Hallyu atau Korean wave alias gelombang Korea mulai sering terdengar. Hal tersebut merujuk pada kepopuleran produk-produk asal Korea Selatan di berbagai negara.

Produk Korea Selatan lainnya yang cukup banyak digemari masyarakat Indonesia, khususnya generasi muda adalah K-Pop. Hal ini bisa dibuktikan dengan suksesnya pagelaran konser boyband dan girlband di Indonesia seperti BTS, Blackpink, Seventeen, Twice, dan lain-lain. Tak hanya itu, kini merek-merek lokal pun seperti tak ingin ketinggalan, mereka berlomba-lomba menggaet artis Korea sebagai brand ambassador produknya.

Memang tak bisa dipungkiri, produk hiburan asal Korea Selatan bisa dibilang lebih berkualitas dari pada milik Indonesia. Jika dibandingkan dengan sinetron Indonesia yang biasa tayang di televisi, drakor dirasa lebih menarik karena alurnya yang tidak monoton, jumlah episodenya yang tidak terlalu banyak, akting para pemain yang tidak berlebihan, hingga pemilihan lagunya dibuat secara serius dan totalitas. Tak jarang Indonesia pun terciduk menjiplak produk Korea. Hal itulah yang menjadi salah satu alasan kenapa konten asal Korea Selatan lebih laku dan digemari masyarakat.

Seperti yang sudah dibahas diawal, globalisasi dan kemajuan teknologi informasi adalah hal yang membuat interaksi lintas negara ini terjadi. Meleburkan batas-batas geografis dan kultural membuat berbagai kepentingan mulai dari ideologi, ekonomi, politik, dan budaya saling bertukar secara masif dan kompetitif.

Fenomena global ini menghadirkan istilah imperalisme budaya. Hal ini merujuk pada pengaruh sosial dari suatu negara ke negara lain, meliputi kepercayaan, nilai-nilai, pengetahuan, norma, perilaku serta cara hidup. Salah satu dampak negatif yang bisa dirasakan secara langsung dari adanya imperalisme budaya adalah terkikisnya identitas dan kearifan lokal seperti adat istiadat, musik, serta cara hidup masyarakat lokal.

Indonesia sebenarnya sudah mengalami imperialisme budaya sejak dulu. Pada zaman Orde Lama, Indonesia sedang berada di tengah-tengah pengaruh negara adidaya karena saat itu perang dingin antara Amerika dengan Uni Soviet tengah berlangsung. Hal ini membuat gejala imperialisme budaya Barat melalui budaya pop seperti musik rock and roll cukup digemari masyarakat. Namun politik kebudayaan di bawah kekuasaan Soekarno lebih condong pada anti-imperialisme, ia lebih menekankan pada nasionalisme kebudayaan, karenanya rezim orla melarang segala bentuk kebudayaan pop dari Barat.

Berbeda dengan zaman Orde Baru, rezim Soeharto lebih terbuka dan sangat lunak terhadap imperialisme budaya Barat. Ia melakukan politik kebudayaan dengan cara “internationalization of culture”. Semua bentuk kebudayaan Barat seperti ilmu pengetahuan, teknologi, strategi ekonomi, dan budaya pop dibuka secara masif.

Di era reformasi hingga kini, imperialisme budaya semakin terbuka lebar. Globalisasi yang semakin intensif membuat kita semakin akrab dengan budaya negara lain, tak hanya budaya Barat tapi juga non-Barat. Fenomena maraknya penyebaran korean wave ini adalah contoh nyatanya.

Lalu bagaimana cara mengatasi krisis identitas dan memelihara kebudayaan nusantara agar tidak terkikis di tengah gempuran budaya asing? Tentu diperlukan kebijakan dan strategi kebudayaan yang tepat, salah satunya dengan bersikap terbuka terhadap modernitas namun tetap teguh pada jati diri sebagai bangsa yang berdaulat dan bermatrabat. Tak hanya itu, membentuk branding nation yang positif dan berkarakter juga sangat penting dilakukan di masyarakat, khususnya generasi muda, untuk melindungi bangsa dari paparan kebudayaan global.

Mungkin budaya populer Korea memang mengubah gaya hidup sebagian besar masyarakat Indonesia secara perlahan, namun hanya diri sendirilah yang bisa menentukan perubahan baik atau buruk apa yang akan didapat dari paparan budaya tersebut. Setiap pribadi harus bisa membawa dirinya agar memperoleh dampak positif dari budaya Korea bagi kehidupan mereka.

Tidak ada larangan untuk menyukai budaya Korea, namun masyarakat khususnya para generasi muda harus bijak dan tahu batasan. Menjadikan artis Korea sebagai panutan pun boleh asal saring sisi positifnya dan buang sisi negatifnya. Terakhir tidak ada salahnya mengikuti gaya hidup budaya orang Korea asal jangan pernah menghilangkan rasa cinta terhadap budaya negara sendiri. Jangan sampai hal tersebut malah menghilangkan jati diri kita sebagai seorang warga negara Indonesia.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image