Selasa 28 Dec 2021 16:06 WIB

KPAI: 12 dari 18 Kasus Kekerasan Seksual Terjadi di Sekolah Asrama

Modus yang pelaku di antaranya, yakni mengiming-imingi korban mendapat nilai tinggi.

Rep: Ronggo Astungkoro / Red: Ratna Puspita
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat, kasus-kasus kekerasan seksual di satuan pendidikan sepanjang 2021 paling banyak terjadi di satuan pendidikan berasrama. (Foto: Ilustrasi)
Foto: republika/mardiah
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat, kasus-kasus kekerasan seksual di satuan pendidikan sepanjang 2021 paling banyak terjadi di satuan pendidikan berasrama. (Foto: Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat, kasus-kasus kekerasan seksual di satuan pendidikan sepanjang 2021 paling banyak terjadi di satuan pendidikan berasrama. Dari total 18 kasus yang terjadi, 12 kasus di antaranya terjadi di satuan-satuan pendidikan berasrama. 

"Mayoritas kasus kekerasan seksual terjadi di satuan pendidikan berasrama atau boarding school, yaitu sebanyak 12 satuan pendidikan atau 66,66 persen. Kasus kekerasan seksual di satuan pendidikan yang tidak berasrama hanya di enam satuan pendidikan atau 33,34 persen," kata Komisioner KPAI, Retno Listyarti, lewat keterangannya, Selasa (28/12). 

Baca Juga

Sepanjang 2021 pula, kata dia, terdapat 207 orang anak yang menjadi korban tindak kekerasan seksual di satuan pendidikan. Anak-anak yang menjadi korban tindak kekerasan seksual tersebut berusia mulai dari tiga tahun hingga 17 tahun. 

"Total jumlah korban adalah 207 orang, dengan perincian 126 anak perempuan dan 71 anak laki-laki," ujar Retno. 

Retno mengatakan, usia anak yang menjadi korban berkisar di usia tiga hingga 17 tahun. Dia memerinci, untuk persentase korban di usia pendidikan anak usia dini (PAUD) atau taman kanak-kanak (TK) ada di angka empat persen dari total kasus, di usia SD/MI 32 persen, di usia SMP/MTs 36 persen, dan usia SMA/MA 28 persen. 

"Total jumlah pelaku ada 19 orang, meskipun total kasusnya 18, karena untuk Ponpes di Ogan Ilir ada dua pelaku. Keduanya merupakan guru. Seluruh pelaku adalah laki-laki," kata Retno. 

Menurut dia, modus yang pelaku gunakan saat beraksi sangat beragam. Beberapa di antaranya, yakni dengan mengiming-imingi korban mendapat nilai tinggi, jadi polwan, atau bermain game online di tablet pelaku. Lalu, ada pula pelaku yang minta dipijat oleh korban kemudian korban di raba-raba bagian intimnya saat memijat. 

"Ada pelaku meminta korban menyapu gudang, tapi kemudian dicabuli di dalam gudang, mengancam memukul korban jika menolak, mengeluarkan dalil-dalil harus nurut pada guru, dan dalih terapi alat vital yang bengkok," kata dia. 

Baca Juga: Persis Solo Promosi Liga 1, Kado Ulang Tahun untuk Kaesang

Menurut Retno, setidaknya ada 18 kasus kekerasan seksual di yang terjadi di satuan pendidikan sepanjang 2021. Dari kasus-kasus tersebut diketahui, guru menjadi pelaku kekerasan seksual di lingkungan satuan pendidikan dengan persentase tertinggi, yakni hingga 55 persen. 

"Terdiri dari pendidik/guru sebanyak 10 orang atau 55,55 persen, kepala sekolah/pimpinan pondok pesantren sebanyak empat orang atau 22,22 persen, pengasuh 11,11 persen, tokoh agama 5,56 persen, dan pembina asrama 5,56 persen," kata dia. 

Retno menerangkan, pengumpulan data dilakukan pada 2 Januari-27 Desember 2021 melalui pemantauan kasus yang dilaporkan keluarga korban ke pihak kepolisian dan diberitakan oleh media massa. Selama 2021, hanya ada tiga bulan tidak muncul kasus kekerasan seksual di media massa ataupun yang di laporkan kepolisian, yaitu pada Januari, Juli, dan Agustus.

"Sedangkan sembilan bulan lainnya muncul kasus kekerasan seksual di satuan pendidikan yang dilaporkan ke kepolisian dan diberitakan di media massa," kata dia. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement