Selasa 04 Jan 2022 09:37 WIB

Anggota Tetap Dewan Keamanan PBB Setuju Hindari Perang Nuklir

Lima negara anggota tetap Dewan Keamanan PBB sebut tak ada pemenang perang nuklir

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Christiyaningsih
 Seorang pria berjalan melewati layar TV yang menunjukkan program berita yang melaporkan tentang peluncuran rudal Korea Utara dengan rekaman file di Tokyo, Selasa, 19 Oktober 2021. Lima negara anggota tetap Dewan Keamanan PBB sebut tak ada pemenang perang nuklir. Ilustrasi.
Foto: AP/Koji Sasahara
Seorang pria berjalan melewati layar TV yang menunjukkan program berita yang melaporkan tentang peluncuran rudal Korea Utara dengan rekaman file di Tokyo, Selasa, 19 Oktober 2021. Lima negara anggota tetap Dewan Keamanan PBB sebut tak ada pemenang perang nuklir. Ilustrasi.

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON – Lima anggota tetap Dewan Keamanan PBB yakni Amerika Serikat (AS), Rusia, China, Inggris, dan Prancis sepakat mengenai tanggung jawab mereka untuk menghindari terjadinya perang nuklir. Kelima negara tersebut satu suara perihal pentingnya menciptakan suasana keamanan dan stabilitas.

“Kami menyatakan tidak akan ada pemenang dalam perang nuklir. Hal itu tak boleh dimulai,” kata Kremlin dalam sebuah pernyataan mewakili kelima negara kekuatan nuklir dunia tersebut, Senin (3/1/2022).

Baca Juga

Mereka sepakat penggunaan senjata nuklir memiliki konsekuensi yang luas. “Kami juga mengonfirmasi bahwa senjata nuklir, selama mereka ada, harus melayani tujuan defensif, pencegahan terhadap agresi serta pencegahan perang,” kata Kremlin.

Selain Kremlin, Prancis juga merilis pernyataan serupa. Ia menyatakan kelima negara menegaskan tekad terhadap kontrol senjata nuklir dan perlucutan senjata. Pendekatan bilateral dan multilateral bakal dilakukan dalam rangka pengendalian senjata nuklir.

Pernyataan tersebut muncul saat Rusia tengah terlibat ketegangan dengan AS dan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) perihal situasi di Ukraina. Baik Washington maupun NATO sudah menyatakan dukungan terhadap Ukraina jika negara tersebut harus menghadapi agresi Rusia. Presiden AS Joe Biden sudah sesumbar akan mengambil tindakan tegas jika Moskow melancarkan serangan ke Kiev.

Hubungan Ukraina dengan Rusia telah memanas sejak Februari 2014, yakni ketika massa antipemerintah berhasil melengserkan mantan presiden Ukraina yang pro-Rusia, Viktor Yanukovych. Dia dimakzulkan setelah gelombang demonstrasi berlangsung tanpa henti selama tiga bulan. Massa memprotes keputusan Yanukovych membatalkan kerja sama dengan Uni Eropa.

Keputusan tersebut ditengarai akibat adanya tekanan Moskow. Rusia memang disebut tak menghendaki Kiev lebih dekat atau bergabung dengan Uni Eropa.  

Ukraina membentuk pemerintahan baru pasca-pelengseran Yanukovych. Namun Rusia menentang dan memandang hal tersebut sebagai kudeta. Tak lama setelah kekuasaan Yanukovych ditumbangkan, Moskow melakukan aksi pencaplokan Semenanjung Krimea.

Kala itu terdapat kelompok pro-Uni Eropa dan pro-Rusia di Ukraina. Kelompok separatis pro-Rusia merebut sebagian besar dua wilayah timur Ukraina yang dikenal sebagai Donbass. Pertempuran pun berlangsung di sana.

 

Pada 2015, Rusia dan Ukraina bersama Prancis serta Jerman menyepakati Minsk Agreements. Salah satu poin dalam perjanjian itu adalah dilaksanakannya gencatan senjata total di wilayah timur Ukraina. Namun Moskow dianggap tak mematuhi dan memenuhi sepenuhnya perjanjian tersebut. Hal itu menyebabkan Rusia dijatuhi sanksi ekonomi oleh Uni Eropa.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement