Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Yudhi Hertanto

Menjadi Manusia yang Manusia

Sejarah | Wednesday, 05 Jan 2022, 15:14 WIB
ilustrasi: republika.co.id

Baik atau buruk? Kita terlahir dalam hakikat yang membawa sifat-sifat baik atau bergumul dengan kehidupan yang buruk. Pertanyaan besar itu menggantung di benak para peneliti, ketika melakukan kajian mengenai manusia. Lalu mengapa perang, kejahatan dan kebengisan tercipta? Apa penyebabnya?

Kisah sepasang kekasih di Garut, yang mengalami kecelakaan lalu lintas, dan berakhir dengan pembuangan korban oleh pelaku, menyisakan pilu. Bagaimana mungkin hal sekeji itu terjadi? Dalam lintasan kondisi psikologis seperti apa yang menyebabkan situasi tersebut hadir sebagai sebuah realitas?

Pada kenyataannya manusia memang merupakan spesies yang menarik. Dengan segala kemajuan dan modernitas yang dimilikinya, hadir pula keburukan menyertainya. Dengan begitu kehidupan manusia seolah berada diantara dua dunia yang saling bertolak belakang. Satu sisi baik, di sisi lain buruk.

Begitulah laku hidup manusia. Kajian Elizabeth Kolbert, Di Bawah Langit Putih, 2021 memperlihatkan bagimana manusia berupaya untuk mencapai taraf peradaban yang mutlak, secara bersamaan menimbulkan situasi kerusakan yang tidak kalah dahsyatnya.

Singkat kata, polusi dan pencemaran udara datang bersamaan dengan keberadaan pembangkit listrik tenaga karbon. Upaya memfasilitasi kehidupan yang lebih baik, berujung pada ancaman bagi kehidupan manusia itu sendiri. Pertahanan alami menghilang, yaitu kewarasan dan kemanusiaan.

Tampak kontradiktif, namun begitulah kenyataan yang ada. Diberbagai dunia sektor korporasi mengejar profitabilitas seolah mengabaikan dampaknya. Sementara itu di tempat berbeda, berbagai kelompok sosial mengelola perbaikan kualitas hidup manusia mereduksi dampak pembangunan yang eksesif.

Seolah kedua kaki manusia berjalan ke arah yang saling berlawanan, meski pada akhirnya sama-sama melangkah. Benarkah keberadaban manusia dibangun dengan saling unjuk kekuatan, landasan utamanya adalah berupaya saling menaklukkan? Rekaman sejarah terlihat abu-abu menjawabnya.

Bagaimana mungkin deklarasi hak asasi manusia, membiarkan terjadinya kelaparan, kemiskinan dan kebodohan serta ketimpangan? Ditingkat yang lebih ekstrim secara terbuka, bahkan tercipta konflik perang antar saudara, hingga pengungsian. Benarkah kita mahkluk yang beradab?

Peradaban dan kemajuan yang diharapkan berjalan selaras dengan kebaikan, justru membuka kotak pandora keseimbangan ekosistem. Pada kisah manusia kemudian hiduplah menjelajah, mencari sumber modalitas baru, mengarungi samudera, memakai metode perang menghancurkan untuk menguasai.

Berbagai kelumit pertanyaan tersebut, dalam kajian CB Kusmaryanto, Bioetika, 2021 menghadirkan prinsip double effect -efek ganda. Problemnya ditempatkan pada kedudukan keutamaan, yakni memastikan kehidupan sebagai hal yang tidak tergantikan. Perlu dikaji awal muasal urutan kejadian.

Korban pencurian tidak bisa memilih berdiam diri lalu terbunuh, dalam upayanya mempertahankan nyawa dan harta yang dimiliki, maka korban berhak untuk melindungi diri meski menyebbabkan si pencuri terbunuh. Lalu pada kisah perang yang disebut sebagai upaya peradaban? Siapa yang diberi keluasan tersebut? Kematian menjadi diskusi yang tidak menarik dalam situasi konflik.

Padahal manusia memiliki rasionalitas dan nilai moralitas. Hal tersebut membedakan manusia dari binatang, meski tidak bisa sepenuhnya menjadi malaikat. Karena itu kemudian hawa nafsu dan emosi mutlak harus dikendalikan, agar tidak menjadi bersifat destruktif.

Penelitian yang menghadirkan perspektif baru, dari sudut pandang umum berlaku tentang homo homini lupus -manusia yang menjadi serigala bagi manusia lain, mendasarkan diri pada konsep homo socius -mahkluk yang bersahabat. Tulisan panjang Ritger Bregman, Humankind, Sejarah Penuh harapan, 2020 menyajikan temuan tersebut, tentang manusia yang sesungguhnya baik.

Dalam berbagai kejadian, bahkan dalam momentum perang terhebat umat manusia modern sekalipun sebagaimana perang dunia ke-II, diketahui bila manusia menghindar untuk menyakiti manusia lain secara langsung dan terbuka. Hal itu terlihat aneh, namun begitu faktanya, itulah kemanusiaan.

Hal penting yang menurut Bregman menjadi pemandu dari kewarasan manusia dalam menjaga sifat baik kemanusiaan adalah dengan (i) menghilangkan bias negativitas, (ii) berasumsi baik, (iii) mengupayakan kemenangan bersama, hingga (iv) berupaya memahami dan mencintai manusia lain.

Jelas bukan perkara mudah, kemanusiaan sudah dikotori oleh kompetisi, bersaing untuk menjadi yang berada di puncak teratas, ada ambisi dan nafsu kekuasaan disana. Kegelapan itu semakin menjadi ketika kita tenggelam dalam gulungan informasi yang salah. Hari-hari ini kita semakin sering melihatnya.

Problem pokoknya, apakah kita mau larut dalam situasi tidak berujung kehilangan rasa kemanusiaan, ataukah kita mulai bersiap untuk mengasah kepekaan kemanusiaan? Pilihan itu ditangan kita!

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image