Senin 10 Jan 2022 04:03 WIB

Tujuh Foto di Saku Veteran Sakit Hati dan Sejarah Kekejaman Belanda di Bali

Kisah kekejaman tentara kolonial Belanda di Bali

Red: Muhammad Subarkah
Tentara kolonial Belanda di sebuah kampung.
Foto: tifamegazine.nl
Tentara kolonial Belanda di sebuah kampung.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Teguh Setiawan, Jurnalis Senior

 Tahun 2014, jurnalis dan sejarawan Anne Lot Hoek mengunjungi Charles Destrée di kediamannya di dekat Paris, Prancis. Dari sini, sejarah kekejaman Belanda di Bali terungkap.

Destrée adalah mantan prajurit Belanda yang bertugas di Bali selama Perang Dekolonisasi, atau Perang Kemerdekaan Indonesia. Ia telah sepuh, frustrasi, dan merasa dibuang serta diabaikan pemerintah Belanda.

Kepada Lot Hoek, Destrée menunjukan album foto yang menguning dimakan usia. Di dalam album terdapat tas kecil berisi tujuh foto lama. Destrée membuka tas kecil itu dan mengeluarkan isinya.

Dalam satu foto hitam putih, mayat-mayat tergeletak berbaris. Penduduk lokal berkerumun menyaksikannya. Ada tulisan tangan di belakang foto; Bali: represailles (Bali, pembalasan).

Foto lain menunjukan wajah seorang laki-laki yang hancur, dengan keterangan; “Peluru bodoh menyebabkan kerusakan pada wajah.”

Baca juga : Ada Ledakan Hebat di Pandeglang, Satu Orang Meninggal

“Ini adalah foto-foto mengerikan yang tidak sesuai dengan citra saya tentang Bali,” kata Lot Hoek kepada Destrée.

Veteran KNIL itu tak segera menjawab. Ia terdiam seraya melihat foto-foto yang dimakan usia. Akhirnya, Destrée merespons; “Saya ingin menceritakan kisahnya.”

Dari sini, Lot Hoek memulai penelitiannya tentang sejarah kekejaman Belanda di Bali.

Bali dan Ide Kolonial

Belanda kali pertama menyerbu Bali tahun 1846, dan menggunakan semua bentuk kekerasan untuk mengakhiri perlawanan raja-raja di pulau itu. Tahun 1908, Belanda relatif menguasai seluruh Bali dan Pax Netherlandica tercipta.

Selama penaklukan Bali, cerita tentang perang di Pulau Dewata nyaris tak terdenga di telinga orang-orang di Belanda dan dunia. Terdapat kesan, Belanda memasuki Bali dengan damai, alias tanpa darah.

Baca juga : KPK: Penangkapan Wali Kota Bekasi Sesuai Prosedur

Dari sini, Belanda membangun citra Bali yang cinta damai ke luar negeri. Bali dipromosikan sebagai surga turis, yang membuat Walt Disney dan Charlie Chaplin tergiur dan datang. Industri pariwisata menjadi kedok imperialisme.

“Bali adalah etalase Hindia-Belanda, memiliki daya pikat internasional,” kata Lot Hoek kepada bndestem.nl

Seratus tahun kemudian, tepatnya 2 Maret 1946, Tentara Kerajaan Hindia Belanda (KNIL) mendarat di Pantai Sanur. Mesin propaganda kembali bekerja dan nyaris tanpa hambatan.

Salah satu mesin propaganda itu adalah Het Vrij Volk, surat kabar sosial-demokrat di Belanda, yang menulis tentang pemandangan damai sempurna ketika pasukan Belanda mendarat di Pantai Sanur untuk memulihkan kekuasaan.

“Ini adalah niat saya menduduki Bali tanpa satu tembakan,” kata Frits Ter Meulen, komandan pasukan pendarat, kepada anak buahnya.

Penelitian Lot Hoek membuktikan sebaliknya, setelah pendaratan 2 Maret 1946, ribuan orang Bali diasingkan, disiksa, dan dieksekusi. Laporan resmi menyebutkan mereka ditembak karena melarikan diri.

Lot Hoek juga menemukan tempat penyiksaan tidak hanya tangsi, tapi juga sekolah dan kantor polisi. Perang Kemerdekaan di Bali, menurut Lot Hoek, benar-benar terlindung dari dunia luar. Tidak ada jurnalis kritis di Bali saat itu. Yang ada adalah wartawan bermental kolonial.

Baca juga : 2 Kemungkinan Pengganti Doa yang Belum Dikabulkan Allah SWT

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement