Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Dewi Alfi

Tak Baik Menjadi Orang Baik

Gaya Hidup | Tuesday, 11 Jan 2022, 16:40 WIB

Alkisah, pada suatu hari Lukman Hakim mengajak anakna ke pasar dengan menuntun keledai. Dijalan mereka bbertemu dengan seseirang, orang itu mengatakan: “Bodoh sekali bapak dan anak itu, bawa keledai tapi tidak dinaiki, malah dituntun.” Mendengar omongan ini, anaknya kemudian naik ke atas punggung keledai.

Dijalan mereka lalu bertemu dengan orang yang lain, orang itu lalu mengatakan: “Durhaka sekali anak itu, masa bapaknya disuruh jalan kaki, sedangkan dia malah enak-enakan naik keledai.” Mendengar ucapan orang kedua, anaknya langsung turun, dan menyuruh bapaknya untuk naik ke atas keledai.

Ditengah perjalanan, kembali mereka bertemu dengan seseorang yang lain, sebagaimana kedua orang sebelumnya, orang ketiga ini mengomentari” “Bagaimana bapak ini, tega sekali naik keledai sendiri, sedangkan anknya disuruuh jalan kaki.” Tidak tahan mendengar komentar ini, anaknya lalu naik ke punggung keledai. Jadilah mereka berdua naik keledai berjalan ke arah pasar.

Seperti sebelumnya, di tengah jalan merekka bertemu dengan orang keempat, orang ini lalu berkata: “Tega-teganya bapak dan anak itu, keledai kecil malah dinaiki berdua.” Anaknya langsung turun, kemudian berlari dan kembali lagi dengan membawa kayu dan seutas tali. Keledai itu lalu diikat dan dipikul oleh mereka berdua.

Akhirnya mereka sampai di pasar, ternyata ketika keledai dijual keledainya tidak laku, karena tidak ada orang yang mau membeli keledai yang lemah. Sang anak kemudian bertanya kepada Lukman Hakim. “Bapak adalah seorang ahli hikmah, yang sering dimintai solusi oleh masyarakat, bagaimana ini yang terjadi dengan kita sekarang?”. Kemudian Lukman bertanya kepada anaknya: “Wahai anakku, janganlah engkau mengikuti pendapat orang lain yang tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan mereka belaka.”

Mengutip kata-kata Ali Bin Abi Thalib: “Dan janganlah engkau mencari kebenaran (al-Haqq) dari makhluk, tetapi temukanlah kebenaran (al-Haqq) yangdari Rabb terlebih dahulu , kemudian engkau tentukan siapa-siapa yang berada disana.” Dari kisah ini, Lukman mengajarkan hikmah pada anaknya mengenai bagaimana seharusnya mengambil keputusan dan bagaiman bersikap atas keputusan yang telah diambil.

Cerita diatas adalah fenomena awam yang terjadi dalam kehidupan kita. Banyak orang yang lebih pintar berkomentar, daripada melaksanakan. Namun itu masih “mending”, yang lebih parah adalah banyak orang yang tetap hanya bisa mengeluh dan menyalahkan padahal ia belum, bahkan sama sekali tidak melakukan apa-apa.

Kita memang dianjurkan untuk hidup bersosial, hidup yang tidak bisa berdiri sendiri, butuh orang lain, karena memang takdir manusia menjadi makhluk sosial. Namun, saat cibiran, gunjingan, dan olokan tetap datang, siapa yang bisa tahan?. Hidup yang kita lalui, tak pernah selesai dengan urusan komentar. Saat kita melangkahkan kaki, tak menutup kemungkinan ada suara: “Eh, bajunya kok tidak pas ya?” atau mungkin saat kita membuka pintu rumah: “Rumahnya kok catnya kurang menyala ya?” Bahkan saat kita belum keluar pun sangat mungkin orang juga bisa berkata: “Orang itu, pekerjaannya hanya menata bantal saja dirumah.”

Manusia adalah makhluk paling sebaik-baiknya makhluk, seperti yang dituangkan dalam kitab suci. Kemampuan berpikir menggunakan akalnya membuat manusia menempati derajat khalifah di bumi, mewakili Tuhannya dalam menata hidup ini. Kehebatan manusia akan berujung manis saat dimanfaatkan untuk hal-hal positif, mulai dari memperbaiki keadaan keluarga, meningkatkan taraf hidup lingkungan, bahkan berjasa besar untuk kehidupan. Namun, saat takdir baik yang menempel pada manusia tidak digunakan pada jalurnya, muncullah salah paham, perselisihan, yang menghasilkan pro-kontra dan konflik berkepanjangan.

Perkaranya adalah sederhana, kita dituntut untuk memberi tanggapan dengan tepat sesuai dengan suasana. Jika saja, saat seseorang mendapat nilai yang bagus namun kita justru memberi tanggapan pesimis, orang tersebut pasti akan kecewa. Dan mungkin saja akan berbalik, kita yang “disemprot” dengan kata-kata makian. Coba saja, saat seorang teman telah berbuat salah, kita menanggapi dengan penuh perhatian dan memberinya semangat tambahan, teman itu akan lebih bijak dalam menghadapi kegagalan dan akan terus terpacu mencoba hal-hal baru.

Hanya masalah “tanggapan” saja kawan, bisa membuat dua ibu-ibu beradu suara di depan pasar, dua keluarga berselisih di meja pengadilan, antar suku berperang, dan dua organisasi saling mengajukan tuntutan. Lebih baik diam dan pura-pura tak tahu? Kalau yang ini saya tidak setuju. Dengan kita mendiamkan sesuatu yang belum tepat, atau sesuatu yang belum jelas duduk perkaranya, seolah kita mengkufuri nikmat bahwa kita adalah sebaik-baik ciptaan-Nya.

Lalu harus bagaimana? Dari pada bicara atau melakukan sesuatu malah disalahkan, bukannya lebih baik diam?

ini berputar, angin berhembus, air mengalir, dan seisi alam semua bergerak, kemudian muncul fenomena alam yang mengelilingi kita ini. Handphone yang kita pegang, televisi yang kita tonton, presiden yang kita pilih, tarian yang kita nikmati, adalah hasil dari manusia yang melangkah, sekolah, bekerja, dan melakukan sesuatu. Masih pantaskah jika kita diam?. Perkara takut atau khawatir barangkali terkena kritikan, itu hal biasa. Jika memang takut untuk menjadi baik, maka mundurlah dengan baik-baik.

Dunia ini memang bukan hanya hitam dan putih. Prinsip yang kita pertahankan pasti menemui banyak tantangan. Naluri yang kita bawa tidak menutup kemungkinan akan mendapat kritikan. Dan sesuatu yang kita kerjakan pasti akan mendapat komentar. Jalani saja, lakukanlah, apapun yang memang itu baik. Jika ada suara sumbang datang, anggap saja mereka ingin berbuat baik, namun belum menemukan cara yang baik. Sekalipun kita belum sepenuhnya baik, lebih baik berusaha menjadi orang baik, dengan cara yang baik.

#thepowerofstory

#Imronfauzi

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image