Rabu 19 Jan 2022 20:51 WIB

Batas Maksimal Minimal Mahar dan Pesan Rasulullah SAW untuk Perempuan

Islam menekankan agar tidak bermahal-mahalan soal mahar

Rep: Imas Damayanti, A Syalabi    / Red: Nashih Nashrullah
Mahar untuk menikah (ilustrasi). Islam menekankan agar tidak bermahal-mahalan soal mahar.
Foto: Republika/Agung Supriyanto
Mahar untuk menikah (ilustrasi). Islam menekankan agar tidak bermahal-mahalan soal mahar.

REPUBLIKA.CO.ID, – Mahar merupakan salah satu faktor penting dalam akad nikah. Mahar ini biasa juga disebut dengan shadaq atau maskawin dalam bahasa Indonesia.    

Perihal kadar maskawin atau mahar, para ulama sepakat bahwa tidak ada batas maksimalnya. Namun para ulama saling berselisih pendapat mengenai batas minimal maskawin.

Baca Juga

Ibnu Rusyd dalam kitab Bidayat al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtashid menjelaskan bahwa menurut Imam Syafii, Imam Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur, dan ulama-ulama fikih Madinah dari kalangan tabiin menyebut bahwa tidak ada batas maksimal dalam maskawin.

Segala sesuatu yang ada nilainya bisa dijadikan maskawin. Pendapat ini juga dikemukakan Ibnu Wahab, salah seorang murid Imam Malik. 

Sebagian ulama mewajibkan ketentuan batas minimal maskawin, namun kemudian mereka berselisih dalam dua pendapat.

Pertama, pendapat yang dikemukakan oleh Imam Malik berikut murid-muridnya. Kedua, pendapat yang dikemukakan oleh Imam Abu Hanifah berikut murid-muridnya.

Kata Imam Malik, maskawin itu minimal seperempat dinar emas, yakni seberat tiga dirham perak atau barang yang senilai dengan harganya. Yaitu seberat tiga dirham perak menurut riwayat yang terkenal.

Menurut riwayat lain, yaitu barang yang senilai dengan salah satu ukuran minimal tadi. Kata Imam Abu Hanifah, maskwain itu minimal sepuluh dirham. Dan juga ada yang berpendapat 40 dirham.

Pangkal silang pendapat soal penentuan maskawin ini ada dua. Pertama, ketidakjelasan apakah fungsi akad nikah sebagai sarana tukar menukar berdasarkan kerelaan menerima ganti, baik sedikit atau banyak, sebagaimana yang berlaku dalam akad jual-beli, atau sebagai suatu ibadah yang sudah ada ketentuannya.

Sebab dari satu aspek, berkat adanya maskawin seorang lelaki dapat memiliki manfaat-manfaat pada seorang wanita untuk selamanya. Sehingga dengan begitu hal ini mirip dengan kompensasi. 

Dan dari aspek yang lain, adanya larangan mengadakan persetujuan untuk menafikan maskawin. Sehingga dengan begitu ini mirip dengan ibadah.

Kedua, adanya pertentangan antara qiyas yang menuntut adanya pembatasan maskawin dengan pengertian sebuah hadis yang tidak menuntut adanya pembatasan. Qiyas yang menuntut adanya pembatasan adalah seperti contoh bahwa pernikahan adalah ibadah, dan setiap ibadah itu sudah ada ketentuan-ketentuannya.

Baca juga: Mualaf Syavina, Ajakan Murtad Saat Berislam dan Ekonomi Jatuh  

 

Sementara hadis yang pengertiannya tidak menuntut adanya pembatasan maskawin adalah hadits Sahal bin Sa’ad As-Saidi yang telah disepakati kesahihannya. Berdasarkan sabda Nabi Muhammad ﷺ:

التمس ولو خاتما ً من حديد 

“Carilah walah hanya cincin besi.” Hal ini, menurut Ibnu Rusyd, menunjukkan bahwa tidak ada sama sekali minimal tentang maskawin.

Sebab kalau ada, tentu Rasulullah SAW telah menjelaskannya. Sebab tidak mungkin menunda penjelasan ketika sedang sangat dibutuhkan. Adapun tentang qiyas yang dijadikan pedoman oleh para ulama yang mengharuskan adanya pembatasan maskawin, tidak dapat diterima dilihat dari dua aspek. 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement