Kamis 20 Jan 2022 21:24 WIB

Di Tengah Kesulitan Ekonomi, Perempuan Afganistan Kehilangan Pekerjaan

Perempuan di Afghanistan hanya diizinkan bekerja di bidang sesuai syariat Islam.

Rep: Lintar Satria/ Red: Friska Yolandha
Banyak perempuan di Afghanistan yang kehilangan pekerjaan selama krisis.
Foto: AP Photo/Mstyslav Chernov
Banyak perempuan di Afghanistan yang kehilangan pekerjaan selama krisis.

REPUBLIKA.CO.ID, KABUL -- Sejak Taliban berkuasa, Suhail Noori terpaksa mengurangi banyak karyawannya. Kini tinggal 30 perempuan yang menjahit selendang, gaun, dan baju bayi di pabrik tekstil pengusaha berusia 29 tahun itu.

Sebelum Taliban merebut kekuasaan pada Agustus tahun lalu, Noori memperkerjakan lebih dari 80 orang yang sebagian besar perempuan. Noori menempatkan mereka di tiga pabrik yang berbeda. "Di masa lalu pekerjaan kami begitu banyak," katanya Kamis (20/1/2022).

Baca Juga

Ia bertekad mempertahankan bisnisnya agar bisa memperkerjakan sebanyak perempuan yang ia mampu. "Kami pernah memiliki banyak kontrak, kami dapat dengan mudah membayar gaji juru jahit dan pekerja lainnya tapi saat ini kami tidak memiliki kontak," kata Noori.

Perekonomian Afganistan sedang mengalami krisis mendalam. Bantuan dan dana cadangan senilai miliaran dolar AS dibekukan, masyarakat pun tidak mampu memenuhi kebutuhan sehari-hari. Pengusaha seperti Noori kesulitan bertahan.

Kondisi ini diperburuk Taliban hanya mengizinkan perempuan bekerja di bidang yang menurut mereka sesuai syariat Islam. Sehingga banyak perempuan yang berhenti bekerja karena takut dengan hukuman keji kelompok itu seperti saat terakhir kali mereka berkuasa.

Keberhasilan dalam mendorong hak-hak perempuan dalam dua dekade terakhir mundur sejak Taliban berkuasa. Laporan-laporan dari organisasi hak asasi manusia dan perburuhan menunjukkan suramnya tenaga kerja perempuan dan sulitnya mereka mengakses ruang publik.

Krisis ekonomi Afghanistan yang diprediksi sejumlah lembaga membawa seluruh populasi ke jurang kemiskinan dalam beberapa bulan ke depan, memang dirasakan seluruh masyarakat. Tapi perempuan yang paling merasakan dampaknya.

"Krisis di Afghanistan ini membuat situasi tantangan  bagi pekerja perempuan semakin buruk," kata Koordinator Senior Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) untuk Afghanistan, Ramin Behzad.

"Bekerja di sektor kunci semakin berkurang sementara pembatasan yang diberlakukan pada partisipasi perempuan juga berdampak keras pada rumah," tambahnya.

Dalam laporan yang dirilis Rabu (19/1/2022), jumlah tenaga kerja perempuan Afganistan pada kuartal ketiga 2021 turun 16 persen. Lebih tinggi daripada laki-laki yang sebanyak enam persen.

ILO memprediksi pada pertengahan 2022 jumlah tenaga kerja perempuan turun 21 persen dibandingkan sebelum Taliban berkuasa. Bagi pegawai Noori kesempatan mendapatkan uang melebihi kekhawatiran mereka pada hal lainnya.

"Sebagian besar keluarga kami mencemaskan keselamatan kami, mereka menelepon berkali-kali bila kami tidak pulang tepat waktu, tapi kami semua terus bekerja, karena kami memiliki masalah ekonomi," kata salah seorang pegawai Noori, Lailuma.

Pegawai lainnya Saleha merupakan tulang punggung keluarga."Pendapatan bulanan saya sekitar 100 Afghanis (10 dolar AS) dan saya satu-satunya yang bekerja di keluarga saya, sayangnya sejak Taliban berkuasa tidak ada pendapatan sama sekali," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement