Selasa 25 Jan 2022 14:09 WIB

Norwegia Jamu Taliban, Aktivis Perempuan Afghanistan Merasa Dikhianati

Menurutnya, dunia membuka pintu bagi Taliban.

Rep: Alkhaledi Kurnialam/ Red: Ani Nursalikah
Diplomat Amerika Serikat (AS) dan Eropa mulai menggelar perundingan dengan perwakilan Taliban di Norwegia. Norwegia Jamu Taliban, Aktivis Perempuan Afghanistan Merasa Dikhianati
Foto: Stian Lysberg Solum/NTB via AP
Diplomat Amerika Serikat (AS) dan Eropa mulai menggelar perundingan dengan perwakilan Taliban di Norwegia. Norwegia Jamu Taliban, Aktivis Perempuan Afghanistan Merasa Dikhianati

REPUBLIKA.CO.ID, KABUL -- Aktivis wanita Afghanistan Wahida Amiri merasa telah dikhianati oleh Norwegia, negara Barat pertama yang menjadi tuan rumah bagi kelompok Taliban. Padahal ia selama ini selalu memprotes aturan keras Taliban sejak mereka merebut kekuasaan pada Agustus.

Dipimpin oleh Menteri Luar Negeri mereka, sebuah delegasi melakukan perjalanan kelas satu dengan pesawat yang disewa khusus oleh pemerintah Norwegia ke Oslo untuk bertemu dengan pejabat Barat dan anggota masyarakat sipil Afghanistan. Melihat ini, wanita yang telah menghadapi intimidasi oleh Taliban setelah melakukan demonstrasi kecil mengaku sangat marah dengan upaya diplomatik.

Baca Juga

"Saya minta maaf untuk negara seperti Norwegia yang mengorganisir KTT ini, duduk dengan teroris, dan membuat kesepakatan," kata Wahida Amiri, dilansir dari The New Arab, Senin (24/1/2022).

"Saya sangat sedih. Malu pada dunia karena menerima ini dan membuka pintu bagi Taliban," tambahnya. 

Menurutnya, beberapa wanita terlalu takut untuk melangkah keluar dan memprotes di rumah mereka di kota Kabul, Bamiyan dan Mazar-i-Sharif, seperti dalam gambar yang diposting ke media sosial. Seorang aktivis lagi bahkan menyebut Taliban sebavai penjahat.

"Norwegia telah mengundang penjahat dan teroris yang tidak menghormati hak-hak perempuan dan hak asasi manusia," kata seorang aktivis dari Bamiyan yang meminta untuk tidak disebutkan namanya. 

"Mereka [Taliban] menentang perempuan dan kemanusiaan dan mereka tidak percaya pada kebebasan berbicara," tambahnya. 

Taliban telah menjanjikan aturan yang lebih lunak daripada pemerintahan terakhir mereka dalam kekuasaan antara tahun 1996 dan 2001. Saat itu, perempuan dilarang meninggalkan rumah tanpa pendamping laki-laki dan dipaksa untuk mengenakan burqa yang menutupi semua. Namun, banyak wanita tetap sangat tidak percaya dan takut pada pemerintah baru.

Hak-hak perempuan sedikit meningkat selama 20 tahun terakhir di negara yang sangat patriarki, tetapi pencapaiannya terutama terbatas pada kota-kota. Pekan lalu, para wanita mengatakan dua rekan mereka, Tamana Zaryabi Paryani dan Parwana Ibrahimkhel, ditangkap dari rumah mereka di Kabul setelah ikut serta dalam demonstrasi.

Hoda Khamosh, seorang pembela hak-hak perempuan yang diundang dari Kabul ke pembicaraan Oslo, memperingatkan Barat bahwa dengan tetap diam atau menoleransi Taliban, mereka ikut bertanggung jawab atas kejahatan ini."

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement