Ahad 30 Jan 2022 12:30 WIB

Islamofobia Semakin Meluas di Parlemen Inggris

Isu Islamofobia menjadi semakin nyata di Inggris.

Rep: Dea Alvi Soraya/ Red: Muhammad Hafil
Islamofobia Semakin Meluas di Parlemen Inggris. Foto:  Islamofobia (ilustrasi)
Foto: Bosh Fawstin
Islamofobia Semakin Meluas di Parlemen Inggris. Foto: Islamofobia (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID,LONDON—Seusai perombakan kabinet pada Februari 2020 yang membuat Nusrat Ghani tersingkirkan dari jejeran pejabat Inggris, membuat isu Islamofobia menjadi semakin nyata di Britania Raya. Karena perombakan itu, politikus Partai Konservatif yang menjabat sebagai anggota parlemen Wealden di Sussex Timur sejak 2015 itu harus kehilangan jabarannya sebagai menteri perhubungan. Menurut Ghani, dia diberhentikan karena para menteri merasa tidak nyaman dengan “kemuslimannya”. Sayangnya hal ini dianggap hal yang tidak mengejutkan dan menjadi salah satu dari sekian banyak skandal yang menargetkan Muslim. 

Mantan komisaris persamaan hak dan hak asasi manusia Swaran Singh menemukan bahwa sentimen anti-Muslim 'tetap menjadi masalah’ di Inggris. Dalam laporannya, dia menemukan bahwa 56 persen pemilih Konservatif mengatakan bahwa Islam adalah ancaman bagi cara hidup Inggris. “Sebenarnya tidak sulit untuk memahami mengapa pemilih dan anggota akar rumput Partai Konservatif memiliki pandangan seperti itu, ketika Islamofobia datang langsung dari atas,” kata laporan itu yang dikutip Republika.co.id, Ahad (30/1). 

Baca Juga

Jika kilas balik ke tahun 2018, saat Boris Johnson menuai kecaman setelah perkataannya yang menggambarkan wanita Muslim sebagai ‘kotak surat’, merujuk pada tampilan wanita berniqab yang hanya menampilkan bagian mata saja, Boris juga menyamakan penampilan wanita Muslim sebagai perampok bank. Komentar-komentar itu mengobarkan kejahatan rasial terhadap wanita Muslim di negara itu, naik hingga 375 persen. 

Zac Goldsmith, politikus konservatif dan anggota parlemen kontituensi Richmond Park, juga menjadi pejabat yang cukup vokal dalam menyudutkan Muslim, termasuk Sadiq Khan, Wali Kota London.  

Goldsmith mencoba menabur keraguan dan ketakutan dengan menghubungkan Khan dengan ekstremis, mengklaim bahwa dia memberi perlindungan kepada gerakan ektremisme. Tindakan itu disebut sebagai kampanye hitam yang sia-sia karena Khan tetap memenangkan pemilihan, sedangkan Goldsmith kalah, meski begitu keraguan dan ketakutan yang dia sebarkan tetap meninggalkan dampak di masyarakat. 

Islamofobia sendiri sudah tersebar luas di semua tingkat Partai Konservatif. Ditemukan setidaknya 25 postingan vulgas dari mentan dan anggota dewan parlemen yang berisi hinaan terhadap Muslim.Seorang anggota dewan, Paul Marks, menyebut Sadiq Khan sebagai "makhluk keji" dan menyukai postingan yang mengklaim Khan "akan selalu melobi siapa pun atau apa pun yang bertentangan langsung dengan Islam".

Setelah 9/11, Barat memulai perjuangan yang reaksioner dan samar-samar juga melawan terorisme. Mereka menggunakan Muslim sebagai kambing hitam untuk pembenaran perang dan penindasan. Ini memungkinkan narasi geopolitik yang kompleks untuk dikesampingkan demi mempersenjatai sebuah keyakinan untuk menyerang komunitas kulit berwarna Muslim di seluruh dunia. Islamofobia bahkan telah menjadi hal biasa di banyak negara, dan di Inggris, kebijakan dua partai politik besar terus memungkinkan status quo Islamofobia, tidak ada partai politik yang secara serius menangani problematika  kehidupan Muslim Inggris yang sulit.

Peningkatan pengawasan, pengiriman ilegal dan perlakuan terhadap pengungsi, bertentangan dengan apa yang dikatakan para menteri tentang Muslim. “Terlepas dari janji untuk menyelidiki Islamofobia dan menganggapnya serius, yang kami dengar hanyalah retorika,” kata Curtis Daly yang dikutip di the Canary.  

“Dengan hadirnya Islamofobia di seluruh lembaga politik, Partai Buruh sama sekali tidak bersalah, dengan satu dari empat Muslim mengalami Islamofobia di dalam partai. Jaringan Buruh Muslim telah memberi pengarahan kepada anggota parlemen selama dua tahun terakhir dengan keprihatinan tentang retorika anti-Muslim, tetapi peringatannya tampaknya telah diabaikan,” sambungnya. 

Dalam sebuah survei yang dilakukan oleh Jaringan Muslim Buruh pada tahun 2020, 60 persen anggota dan pendukung Muslim tidak merasa terwakili dengan baik oleh partai dan 25 persen merasa bahwa mereka telah mengalami Islamofobia secara langsung di dalam partai. Dewan Muslim Inggris memutuskan untuk mempublikasikan temuannya tentang Islamofobia di media. Lebih dari 10.000 artikel dinilai, dan terungkap bahwa tinjauan menemukan bahwa 59% artikel yang meliput Muslim yang diterbitkan oleh media arus utama Inggris bersifat negatif.

“Sebuah studi dari 2016 menemukan bahwa hanya 0,4 persen jurnalis Inggris adalah Muslim yang menunjukkan bahwa representasi adalah masalah besar. Maka tidak mengherankan jika jurnal paling mapan di atas memiliki pandangan keji terhadap Muslim,” kata Daly. 

“Islamofobia ada di mana-mana, dari dua partai besar, hingga media kita. Ini bukan masalah partisan. Buruh mungkin menggunakan skandal baru-baru ini untuk menyerang Tory, tetapi mereka memiliki banyak kerangka di lemari mereka,” tegasnya. 

“Ini bukan kasus yang terisolasi, dan kisah Nusrat Ghani tidak berbeda. Ini adalah masalah institusional, dan jika tidak ditangani, maka noda Islamofobia dan segala bentuk rasisme akan tetap ada di masyarakat kita.”

Sumber

https://www.thecanary.co/uk/2022/01/28/britain-has-an-islamophobia-problem/

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement