Ahad 30 Jan 2022 19:24 WIB

Mengenal Virus NeoCoV yang Menyebar Melalui Kelelawar

Ciri-ciri NeoCoV diketahui serupa dengan MERS-CoV dan SARS-CoV-2 penyebab Covid-19.

Rep: Shelbi Asrianti/ Red: Qommarria Rostanti
Ilmuwan dari Wuhan, China, baru-baru ini menemukan virus corona NeoCoV yang menyebar melalui kelelawar di Afrika Selatan. (ilustrasi).
Foto: Pixabay
Ilmuwan dari Wuhan, China, baru-baru ini menemukan virus corona NeoCoV yang menyebar melalui kelelawar di Afrika Selatan. (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ilmuwan dari Wuhan, China, baru-baru ini menemukan virus corona NeoCoV yang menyebar melalui kelelawar di Afrika Selatan. Virus itu ditengarai mudah menular dan menyebabkan tingkat kematian yang tinggi.

Para pakar menyebutkan bahwa NeoCoV adalah virus yang terhubung dengan Middle East Respiratory Syndrome (MERS COV). Satu dari tiga orang yang terinfeksi bisa meninggal dunia apabila terjangkit virus ini.

Baca Juga

NeoCoV kali pertama ditemukan pada populasi kelelawar dan diketahui menyebar di antara hewan. Ciri-ciri NeoCoV diketahui serupa dengan MERS-CoV dan SARS-CoV-2 yang menyebabkan Covid-19.

Sebuah studi baru menemukan bahwa antibodi yang menargetkan SARS-CoV-2, yang menyebabkan Covid-19 dan MERS-CoV, tidak dapat menghentikan NeoCoV. Penelitian diterbitkan pracetak dan belum melalui tinjauan sejawat.

"Studi kami menunjukkan bahwa vaksinasi Covid-19 saat ini tidak memadai untuk melindungi manusia dari kemungkinan infeksi yang disebabkan oleh virus ini," kata para peneliti tentang virus tersebut.

Meski begitu, perlu dipahami bahwa NeoCoV bukanlah hal baru. Virus tersebut pertama kali ditemukan pada 2012 dan 2015 di negara-negara Timur Tengah, memiliki kemiripan mencolok dengan SARS-CoV-2.

Para ilmuwan belum yakin apa yang akan terjadi selanjutnya dengan NeoCoV, serta apakah virus itu akan menimbulkan ancaman bagi manusia dalam waktu dekat. Virus dilaporkan perlu melampaui satu mutasi lagi sebelum menjadi ancaman utama bagi manusia.

"Apakah virus yang terdeteksi dalam penelitian ini akan menimbulkan risiko bagi manusia, perlu penelitian lebih lanjut," kata Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), dikutip dari laman Deseret News, Ahad (30/1/2022).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement