Senin 31 Jan 2022 22:19 WIB

LPSK Duga Oknum Polisi Rekomendasikan Warga Ditahan di Kerangkeng Bupati Langkat

Hal ini semakin memperkuat kesimpulan LPSK bahwa ada upaya pembiaran terstruktur.

Rep: Febryan. A/ Red: Andri Saubani
Petugas kepolisian memeriksa ruang kerangkeng manusia yang berada di kediaman pribadi Bupati Langkat nonaktif Terbit Rencana Peranginangin di Desa Raja Tengah, Kecamatan Kuala, Kabupaten Langkat, Sumatra Utara.
Foto: ANTARA FOTO/Oman/Lmo/rwa.
Petugas kepolisian memeriksa ruang kerangkeng manusia yang berada di kediaman pribadi Bupati Langkat nonaktif Terbit Rencana Peranginangin di Desa Raja Tengah, Kecamatan Kuala, Kabupaten Langkat, Sumatra Utara.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tim investigasi Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) mendapatkan informasi adanya oknum polisi yang merekomendasikan agar warga ditahan di kerangkeng manusia yang ada di rumah Bupati Langkat nonaktif, Terbit Rencana Peranginangin. Hal ini semakin memperkuat kesimpulan LPSK bahwa ada upaya pembiaran terstruktur atas aktivitas sel ilegal tersebut. 

Temuan ini diungkapkan oleh Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi Pasaribu dalam konferensi pers hasil temuan tim, di Kantor LPSK, Jakarta, Senin (31/1/2022). Proses investigasi dilakukan selama beberapa hari dengan mendatangi lokasi kerangkeng dan mewawancarai keluarga korban. 

Baca Juga

Dalam konferensi persnya, Edwin memutarkan sebuah rekaman kesaksian keluarga korban. Keluarga korban menyebut saudaranya masuk kerangkeng atas rekomendasi seseorang. Saudaranya itu akhirnya meninggal dunia di tahanan tersebut dengan sejumlah luka pada tubuhnya. 

"Tadi disinggung oleh narasumber itu bahwa polisi (di Polsek) merekomendasikan kepada warganya bahwa saudaranya direhabilitasi saja di tempat bupati," kata Edwin. 

Edwin mengaku belum mengkonfirmasi temuan ini kepada polisi. "Sejauh mana kebenarannya harus digali lagi," ujarnya. 

Kendati demikian, Edwin meyakini dugaan keterlibatan polisi ini memperkuat kesimpulan bahwa ada upaya pembiaran terstruktur atas aktivitas sel ilegal tersebut. "Kita tak tahu keterlibatan aparat sejauh mana. Tapi pembiarannya menurut kami sudah terang," ujarnya.

Edwin menjelaskan, indikasi lain soal adanya upaya pembiaran terstruktur itu adalah lamanya sel ilegal itu beroperasi, yakni sudah 10 tahun. Tak mungkin sel itu bisa beroperasi selama itu tanpa adanya pembiaran. 

Padahal, kata dia, selama kerangkeng itu beroperasi sebenarnya ada banyak pihak mengetahui. Mulai dari dokter dari puskesmas setempat yang kerap datang memeriksa kesehatan para tahanan. "Itu dia kan di bawah dinas kesehatan," ujarnya. 

Ada juga Dinas Kominfo Langkat yang pernah meliput langsung kerangkeng tersebut, dan videonya diunggah di akun YouTube milik istri Terbit. Selain itu, kata dia, ajudan Terbit tentu juga mengetahui adanya kerangkeng. Ajudan bupati berasal dari instansi kepolisian. 

Tim investigasi LPSK juga menemukan keanehan terkait penyelidikan kasus ini. Sejak kerangkeng itu ditemukan oleh tim KPK pada 19 Januari hingga tim investigasi LPSK datang mengecek pada 27 Januari, garis polisi tak kunjung dipasang di sana. 

"Apakah ini belum dijadikan sebagai TKP (tempat kejadian perkara) oleh polisi? Saya kira ini ada sesuatu yang aneh," kata Ketua LPSK Hasto Atmojo Suroyo.

LPSK sendiri menyimpulkan ada tiga dugaan tindak pidana terkait keberadaan kerangkeng tersebut. Dugaan tindak pidana penghilangan kemerdekaan orang lain secara tidak sah, tindak pidana peradangan manusia, dan tindak pidana sel ilegal. 

Sebelumnya, tim KPK menemukan kerangkeng manusia ketika menggeledah rumah Terbit terkait kasus suap. Temuan kerangkeng itu lantas dilaporkan oleh lembaga swadaya pemerhati buruh migran, Migrant CARE, ke Komnas HAM, Senin (24/1/2022).  

Migrant CARE menduga, puluhan orang yang ditahan di sana adalah korban perbudakan dan penyiksaan. Mereka dikerangkeng dan diperkerjakan di kebun sawit setiap hari tanpa digaji.  

Polisi menyebut, ada 48 orang yang dipenjarakan di kerangkeng tersebut. Semuanya telah dipulangkan kepada keluarga masing-masing.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement