Kamis 03 Feb 2022 15:04 WIB

Penamaan Nusantara untuk Ibu Kota Negara, Tepatkah?

Penggunaan Nusantara sebagai pilihan nama ibu kota negara cukup ironi

Red: A.Syalaby Ichsan
Maket Istana Kepresidenan di Nusantara yang menjadi ibu kota negara baru yang sekarang masuk wilayah Sepaku, Kabupaten Penajam Passer Utara, Kalimantan Timur.
Foto: Tangkapan layar
Maket Istana Kepresidenan di Nusantara yang menjadi ibu kota negara baru yang sekarang masuk wilayah Sepaku, Kabupaten Penajam Passer Utara, Kalimantan Timur.

Oleh : Neni Resmini, S.Pd./Guru Bahasa Indonesia SMA Negeri 3 Subang - Jawa Barat

"What's in a name? That which we call a rose by any other name would smell as sweet." (Apalah arti sebuah nama? Andaikata kamu memberikan nama lain untuk bunga mawar, ia tetap akan berbau wangi).

                                                                                               William Shakespeare 

REPUBLIKA.CO.ID, RUU IKN mengenai rencana pemindahan ibu kota ke Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur secara resmi disahkan oleh DPR menjadi UU IKN pada Selasa, 18 Januari 2022. Dalam UU IKN tersebut, ditetapkan nama ‘Nusantara’ sebagai nama ibu kota negara baru berdasarkan pilihan Presiden Joko Widodo setelah mengeliminasi 79 nama lain yang diusulkan oleh ahli bahasa maupun ahli sejarah

Seperti ungkapan Shakespeare tentang arti sebuah nama, maka apalah arti nama ‘Nusantara’ bagi calon Ibu Kota Negara Indonesia. Namun ternyata penamaan tersebut justru menuai kontroversi di masyarakat. Baik di Indonesia sendiri maupun masyarakat dunia. Beragam pendapat bermunculan di media massa dan media sosial. Kegaduhan terjadi sejak digulirkannya keputusan tersebut.

Pro dan kontra nama Nusantara yang disampaikan berbagai kalangan di tengah masyarakat begitu ramai. Ada yang berpendapat bahwa nama Nusantara kurang pas sebagai nama ibu kota karena nama tersebut dianggap sama dengan nama gedung DPR, atau nama judul lagu Koes Plus, atau nama gedung bioskop.

Mereka menganggap terlalu pasaran untuk disetarakan sebagai penamaan sebuah ibu kota. Ada juga yang mengaitkan dengan sejarah politik bahwa penamaan tersebut untuk mengenang nama tokoh PKI, Diva Nusantara Aidit atau lebih popular dengan nama DN Aidit. Sementara sejarawan, JJ Rizal, menganggap penamaan Nusantara terlalu Jawa Sentris, hal ini dikaitkan dengan sejarah Majapahit yang berada di tanah Jawa. 

Ditinjau dari kacamata semantik, penggunaan Nusantara sebagai pilihan nama Ibu Kota Negara dirasakan cukup ironi karena mengalami pergeseran makna peyoratif. Nusantara yang sebelumnya memiliki makna yang luas sebagai kumpulan pulau-pulau atau seluruh wilayah kepulauan Indonesia seperti yang tertulis dalam Pasal 25 UUD 1945 menjadi hanya sebuah wilayah otorita yang dijadikan ibu kota saja. Penyempitan makna ini dianggap mengkerdilkan makna Nusantara yang sudah besar dan agung di mata dunia. Nama Nusantara juga dianggap tidak orisinal karena menggunakan istilah yang sudah melekat di masyarakat Indonesia.

Bila kita runut bukti sejarah yang ada di Indonesia, maka kita akan menemukan beberapa catatan mengenai istilah ‘Nusantara’. Istilah tersebut sudah ada dalam literatur Jawa Pertengahan atau sekitar abad ke-12 hingga abad ke-16. Istilah ‘Nusantara’ ada dalam Kakawin Negarakertagama karangan Mpu Prapanca pada tahun 1365, juga dalam Kitab Pararaton tahun 1481. Menurut dosen sastra UGM, Rudy Wiratama Partohardono, dikutip dari Antara, Selasa (18/1) menyampaikan bahwa istilah Nusantara sudah digaungkan sejak zaman Kerajaan Singasari. Saat itu dikenal dengan konsep Cakrawala Mandala Dwipantara. Sementara Agus Aris Munandar, Arkeolog UI, dalam buku “Gajah Mada: Biografi Politik” menyampaikan Patih Gajah Mada meneruskan gagasan politik Dwipantara tersebut dengan ‘Sumpah Palapa’ yang didalamnya terdapat istilah Nusantara.

Secara etimologi, nama Nusantara berasal dari kata ‘nusa’ (bahasa Kawi) yang bermakna ‘pulau’ dan ‘antara’ (bahasa Sansekerta) yang bermakna ‘di antara’ atau ‘meliputi’. Jadi menurut Agus Aris Munandar, istilah Nusantara secara spesifik bisa dimaknai sebagai seluruh kepulauan yang hendak dikuasai oleh Majapahit yang menjangkau bagian luar daerah pemerintahan mereka. 

Sumpah Patih Gajah Mada bahwa, “Jika telah mengalahkan Nusantara, saya (baru akan) melepaskan puasa. Jika mengalahkan Gurun, Seram, Tanjung Pura, Pahang (sekarang Malaysia -red), Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik (sekarang Singapura -red), demikian saya (baru akan) melepaskan puasa”.

Ini sekaligus menjadi jawaban atas cuitan yang disampaikan netizen asal negeri Jiran, Awan Wafdan mengenai polemik pemberian nama Nusantara sebagai ibu kota. Menilik sejarah beserta bukti-buktinya dengan jelas dipaparkan bagaimana nama Nusantara hadir di Indonesia. Disini kita juga bisa memahami mengapa nama tersebut hadir sebagai kosa kata di negeri Jiran, hal ini dikarenakan Malaysia menjadi bagian yang ingin dipersatukan Gajah Mada selain Singapura melalui ‘Sumpah Palapa-nya’. Dengan demikian sedikit banyak akan ada kata atau istilah maupun nama yang sama di Malaysia akibat pengaruh sejarah diantara keduanya. Jadi, meski pada satu sisi penulis sama-sama menolak penamaan Nusantara sebagai ibu kota negara, rasanya tak elok bila kita harus saling klaim mengenai sebuah nama atau kata karena pada dasarnya kita memang serumpun.

Terlepas dari pro dan kontra yang berkembang mengenai nama ‘Nusantara’, pemindahan ibu kota negaranya sendiri pun masih dipermasalahkan meski pemerintah dan DPR sudah ‘ketok palu’ dengan keputusannya. Memang tidak semudah membalikkan telapak tangan, banyak hal yang seharusnya pemerintah pertimbangkan dalam pemindahan ibu kota tersebut. Demikian pula dengan pemilihan nama untuk ibu kotanya.

Timbul pertanyaan mengapa tidak digunakan nama yang dikaitkan dengan sejarah wilayah itu sendiri sebagai bentuk penghargaan terhadap masyarakat di sekitar yang wilayahnya akan ditempati? Namun, apa daya nasi sudah menjadi bubur. Nama sudah dipilih Presiden Jokowi. UU IKN sudah disahkan.  Sebagai warga negara, kita ikuti saja apapun yang sudah menjadi keputusan pemerintah. Namun kita tetap berharap pemerintah berkenan mempertimbangkan kembali suara rakyat dan bersedia mengadakan perubahan sebagai bentuk apresiasi terhadap aspirasi tersebut melalui judicial review. Semoga. ***

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement