Ahad 06 Feb 2022 16:40 WIB

Penggunaan Galon Isi Ulang Air Picu Ketidaksuburan? Ini Tanggapan BKKBN

BKKBN menyatakan diperlukan penelitian antarlembaga buktikan galon berbahaya.

Red: Nashih Nashrullah
Galon air untuk isi ulang (ilustrasi) BKKBN menyatakan diperlukan penelitian antarlembaga buktikan galon berbahaya.
Foto: Antara/Rivan Awal Lingga
Galon air untuk isi ulang (ilustrasi) BKKBN menyatakan diperlukan penelitian antarlembaga buktikan galon berbahaya.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Badan Kependudukan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menyatakan diperlukan penelitian antarcenter untuk benar-benar membuktikan bahwa air kemasan galon guna ulang bisa menyebabkan infertilitas atau gangguan kesuburan pada sistem reproduksi pria dan wanita. 

Menurutnya, Kepala Badan Kependudukan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Pusat, Dr (HC) dr Hasto Wardoyo, SpOG, kalau baru info awal dan belum berbasis bukti yang level of evidence-nya kuat, perlu berhati-hati untuk menyampaikannya ke publik.     

Baca Juga

“Itu masih butuh riset multi center saya kira agar menjadi bukti yang kuat,” ujar Hasto Wardoyo, Ahad (6/2/2022) ketika dikonfirmasi. 

Dia mengatakan informasi itu perlu melihat dari pusat pendidikan di UGM, UNAIR, UI, ditambah di Singapura, Amerika Serikat, dan di negara-negara lain. 

“Setelah itu baru hasilnya dipadukan dan dilihat seperti apa kesimpulannya. Kalau baru info awal dan belum berbasis bukti yang level of evidence-nya kuat, itu harus hati-hati,” tambahnya. 

Sementara itu, dia menyebutkan fakta di masyarakat juga tidak berkorelasi dengan narasi yang disampaikan BPOM, dimana air galon guna ulang menyebabkan infertilitas. 

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) yang disusun dari Sensus Penduduk 2020, jumlah penduduk Indonesia bahkan mengalami peningkatan cukup siginifikan dalam 10 tahun terakhir.  

Ada penambahan jumlah penduduk sebanyak 32,56 juta jiwa atau rata-rata sebanyak 3,26 juta setiap tahun. Tingginya angka kelahiran ini menempatkan jumlah penduduk Indonesia berada pada urutan keempat terbanyak di dunia setelah Cina, India, dan Amerika Serikat.  

Padahal, seperti diketahui, air minum galon guna ulang itu sudah mulai diedarkan pada 1984. Artinya, jika benar air galon guna ulang ini bisa menyebabkan infertilitas, seharusnya tidak terjadi penambahan jumlah penduduk  di Indonesia tapi justru turun.  

Pada masa pandemi Covid-19 yang masih berlangsung sampai saat ini, angka kelahiran justru semakin meningkat. Hal ini juga menjadi sorotan BKKBN.  

Menurut data BKKBN, angka kelahiran nasional pada Januari 2021 meningkat sekitar tiga ratus ribu. Menurut Hasto, penyebabnya adalah karena terganggunya layanan penyediaan kontrasepsi dan konsultasi Keluarga Berencana selama wabah Covid-19. 

"Jadi jelas, penggunaan kontrasepsilah yang bisa mengurangi jumlah kelahiran di Indonesia dan bukan karena mengkonsumsi air minum galon guna ulang," tambah Hasto Wardoyo.

BPOM mengutip hasil studi Cohort di Korea Selatan (Journal of Korean Medical Science) 2021 yang menyebutkan ada korelasi peningkatan infertilitas pada kelompok tinggi paparan bahan kimia BPA dengan odds ratio atau rasio paparan penyakit mencapai 4,25 kali. 

Namun, Menteri Kesehatan, Budi Gunadi Sadikin, menegaskan bahwa air kemasan galon guna ulang aman untuk digunakan, baik oleh anak-anak dan ibu hamil. Menurutnya, isu-isu seputar bahaya penggunaan air kemasan air guna ulang yang dihembuskan pihak-pihak tertentu adalah hoax.   

Sementara, Pemerintah Korea Selatan justru sedang berjuang keras menghadapi penyusutan populasinya. Namun, pertumbuhan angka kelahiran yang rendah di Korsel ini sama sekali tidak ada kaitannya dengan air minum galon guna ulang yang mereka konsumsi.  

Hal itu dilakukan karena mereka harus membangun kembali negaranya setelah Perang Korea 1950-1953.  Masyarakat memupuk keyakinan bahwa pendidikan formal sangat penting untuk peluang kerja dan kebahagiaan anak-anak mereka di masa depan. 

"Semua orang tua ingin memberikan pendidikan elite kepada anak-anak mereka. Itu berarti mereka harus menghabiskan 50 persen pendapatan mereka untuk pendidikan. Itu adalah beban besar bagi keluarga, dan berarti bahwa sebagian besar pasangan hanya mampu membiayai satu anak," kata Ohe Hye-gyeong, peneliti di International Christian University, Tokyo.    

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement