Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image saman saefudin

Menyesal Telah Berbuat Baik? Jangan Dong!

Eduaksi | Tuesday, 08 Feb 2022, 15:06 WIB
Sumber gambar: https://imgx.gridoto.com/crop/0x0:700x403/700x465/photo/gridoto/2017/11/08/2342388806.jpg

Pernahkah Anda berharap respon setimpal dari kebaikan yang Anda lakukan ke orang lain? Ya, it’s normal, mungkin lumrah dan manusiawi. Tetapi sayangnya, pikiran demikian juga berpotensi menyakitkan. Karena senyatanya tidak mungkin semua orang akan baik dengan kita, bahkan meski kita telah lama membaiki mereka.

Pangkal masalahnya adalah pada “mengharapkan hal yang sebetulnya tidak boleh diharapkan”. Kalau Anda berharap si A akan bersikap baik hanya karena Anda telah berbuat baik terhadap dia, maka bersiaplah untuk sakit hati jika respon si A ternyata sebaliknya. Dan apapun itu, bukankah harapan yang berlebihan akan menambah kualitas kesakitan. Dalam konteks ini, benarlah ungkapan “Expectation kill your happiness”.

“Kenapa dia jahat banget ke aku, padahal selama ini aku sudah sangat baik ke dia”. Kondisi batin ini amat menyakitkan karena ada unsur harapan pada imbuhan “padahal selama ini aku sudah sangat baik ke dia”. Akan berbeda kasusnya jika kita hanya mengatakan; “Kenapa dia jahat banget ke aku”. Tetapi tabiat manusia yang posesif dus materialistis menjadikan ia cenderung menarik kesimpulan sesuai espektasinya. Konsekuensinya, ketika respon dia ternyata negatif (tak sesuai espektasi), maka sakitlah hati kita. Lebih mengkhawatirkan lagi, bahwa kita lantas menyesal telah berbuat baik.

Kondisi tersebut bisa jadi telah menjangkiti kita setiap saat, mungkin dalam beragam varian mutasinya. “Dulu susahnya bareng aku, eh nikahnya sama orang lain”, tragedi ambyar ini juga berakar dari problem yang sama kan. Bahwa saat kenyataan tak berjalan sesuai mekanisme harapan, hasilnya adalah menyesakkan. Dalam kacamata metodologi, inilah yang dirumuskan sebagai masalah, yakni kesenjangan antara yang seharusnya (Das Sollen) dengan kenyataan (Das Sein). Dalam sudut pandang jurnalistik, itulah berita.

Lalu, bolehkan kita menyesal telah berbuat baik, hanya karena hal itu direspon buruk? Wah, jangan dong, nanti pahalanya menguap, hehehe. Bagaimana kalau kita geser sedikit, berharapnya jangan ke manusia dech, ke Tuhan saja. Tugas kita hanyalah berbuat baik kepada siapapun, setelah itu lepaskan. Don't be possessive with our kindness! Karena kita tidak bisa mengontrol sikap dan perilaku orang lain. Tetapi cukuplah meyakini, bahwa setiap perbuatan baik kita tak mungkin sia-sia di mata Allah.

Kebaikan adalah energi, ia kan mengabadi. Entah esok atau lusa, ia balik menghampiri. Mungkin bukan dari orang yang kita baiki, bahkan bisa jadi kebaikan itu kembali kepada kita dari jalan yang tak pernah kita bayangkan. Pun dalam wujud yang sama sekali berbeda. Indah bukan?. Karena energi kebaikan tidak akan pernah lenyap, ia hanya berubah wujud menjadi varian kebaikan-kebaikan lainnya.

Dulu, saya sering melakukan social experiment kecil-kecilan, mengamati insiden orang menuntun sepeda motornya karena mogok, ban bocor, atau kehabisan bensin. Hasilnya miris, pemandangan ini seperti kesulitan menarik perhatian dan kepedulian pengendara lainnya.

Dalam beberapa kesempatan, saya iseng mendatangi dan menanyakan masalahnya. Kalau mereka kehabisan bensin, biasanya saya minta mereka menunggu di tempat. Saya bantu belikan. Kalau ban bocor atu mogok, saya cari bengkel terdekat lalu menginformasikannya. Lucunya, tidak setiap mereka merespon positif iktikad (atau anggap saja treatment) saya. Ada yang menolak karena tak mau merepotkan, ada juga yang menolak sambil memasang gestur curiga. Tetapi semua respon minor itu belum apa-apanya dibandingkan saat kita berhasil membantu pengendara yang bermasalah ini.

Suatu malam, menjelang jam 21.00, saya terpaksa menepikan motor, dan menunggu seorang bapak muda tengah menuntun motor Honda jadul dengan dua anaknya. Satu masih balita dibiarkan tetap duduk di jok depan, berhimpitan dengan tas besar di bagian depan. Satu lagi sekira 8 tahunan berjalan di samping bapaknya sambil menenteng tas ransel besar. Ternyata mereka sedang melakukan perjalanan ke barat, dari Semarang. Bukan untuk mencari kitab suci loh, tapi kembali Bandung usai mudik lebaran.

Saya bantu mencarikan bengkel sambil memboncengkan anaknya yang besar. Sementara si Bapak saya sarankan menaiki motornya pelan, karena yang bocor ban belakang. Saya menemukan bengkel, saya bayar biaya tambal ban. Begitu si bapak sampai di bengkel, saya pamit. Tetapi dia menarik tangan saya sambil menjabat erat. “Terima kasih sekali ya Mas,” begitu ungkapan singkat yang terdengar berat.

Kisah ini sulit terlupakan. Adegan saat pamit itu yang membuat saya merinding. Ternyata, tindakan kecil kita bisa sangat berarti bagi orang lain yang membutuhkan. Saya merasakan kebahagiaan yang menusuk ke jantung, justru karena sedikit terlibat menciptakan kebahagiaan seorang bapak dan dua anaknya.

Tetapi cerita tak berhenti di situ. Suatu pagi di hari Idul Fitri, saya mudik ke Tegal memboncengkan istri dan anak yang masih satu, dari Pekalongan. Jalanan Pantura terasa lengang, orang mungkin masih sibuk silaturahmi dan sungkeman. Sampai di wilayah Comal Baru, seorang pengendara lain memberitahu. “Mas, ban belakang kempes kayaknya”. Benar saja, tidak lama laju motor tak stabil, saya menepi. Istri menggendong anak kami, motor saya tuntun. Keringat mulai menderas, sudah lebih 1 kilometer belum juga menemukan tukang tambal ban yang buka. Karena lelah, kami memutuskan beristirahat di Kantor Polsek Ampel Gading. Seorang petugas berumur menyambut kami dengan ramahnya, mengambilkan karpet untuk kami istirahat di bawah pohon mangga, pelaran Mapolsek. Disuguhkan pula minuman dan kue lebaran.

Dalam kondisi bingung, saya menelpon seorang teman yang berdomisili wilayah Comal. Tentu saja saya pesimis ia akan datang, karena siapa yang tak sibuk di pagi lebaran. Tetapi fakta berkata sebaliknya. “Tunggu 10 menit, aku sampai lokasi”. Dan ia menepati janjinya.

Kita berbagi tugas mencari tambal ban yang buka, saya ke barat dan dia ke timur. Sekitar 15 saya memutuskan kembali ke Mapolsek, karena nihil hasil. Tetapi belum sampai lokasi, kawan rupanya menyusul. “Alhamdulillah John, ada bengkel nggak jauh dari Polsek, ke timur dikit”. Huft, betapa leganya, ternyata bengkel yang buka ini tadi kami lewati, karena hanya berjarak puluhan meter timur Polsek, tetapi posisinya di utara jalan, jadi luput dari pandangan kami.

Sampai di bengkel, kawanku langsung pamit karena masih acara lebaran bareng keluarga. Saya minta ganti ban saja biar cepet, tapi dia hanya bisa menambal. “Lebaran Mas, stok bannya kosong. Ini aja iseng buka, aslinya libur, istirahat Mas”. Jawaban tukang tambal saja sudah bikin saya merinding.

Benar saja, setelah menambal ban, sepanjang perjalanan ke Tegal, kami tak menemukan satupun bengkel ataupun tambal ban lainnya yang buka. Sepanjang jalan saya terus berpikir keras, apa yang telah saya lakukan sampai Tuhan membantu kesulitan saya; lewat seorang kawan yang sedang sibuk berlebaran, lewat tukang tambal ban yang iseng buka bengkelnya di hari raya. Rasa-rasanya saya tidak menemukan amalan istimewa, sampai kemudian sketsa wajah seorang bapak muda dan dua anaknya yang tengah tersenyum haru mendadak memenuhi isi kepalaku. []

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image