Rabu 09 Feb 2022 07:49 WIB

Mengapa Lantunan Adzan Menggetarkan Manusia?

Ada penjelasan saintifik dibalik merdunya adzan.

Rep: Fitriyan Zamzami/ Red: Partner
Azan
Azan

Diriwayatkan dalam rerupa Sirah Nabawiyah, sahabat Bilal ibn Rabah sedianya tak sempurna berbahasa Arab. Ia disebut tak melafalkan dengan presisi beda antara aneka huruf "S" dalam Bahasa Arab seperti "Sin", "Syin", dan "Shad". Meski begitu, Rasulullah bergeming dan tetap menunjuknya jadi juru adzan alias muadzin paling mula dalam agama Islam.

Ada getar dalam kencangnya teriakan Bilal, kata para periwayat. "Sonorous" bahasa Inggrisnya, alias nyaring serta merdu sekaligus. Dan sejak Bilal, lantunan adzan terus diindahkan. Dan muadzin jadi keahlian yang diasah terus menerus.

Muadzin mengumandangkan adzan untuk shalat di Madrasah Darul Solihin Al Qadiri, Kuala Lumpur, Malaysia.. (EPA-EFE/FAZRY ISMAIL)
Muadzin mengumandangkan adzan untuk shalat di Madrasah Darul Solihin Al Qadiri, Kuala Lumpur, Malaysia.. (EPA-EFE/FAZRY ISMAIL)

Keluar dari mulut muadzin yang terlatih, apalagi dengan sistem suara baik, lantunan adzan bisa sedemikian melenakan dan memikat. Tentu ada kekuatan juga pada kalimat-kalimat yang diriwayatkan datang pada mimpi sahabat Rasulullah tersebut.

Tapi faktor yang tak kalah penting adalah bagaimana para muadzin menguasai teknik kuno yang namanya melisma. Melisma ini, adalah teknik menyanyikan satu suku kata dalam pergerakan nada yang berbeda.

Jaman sekarang, dalam musik populer Barat, contoh yang paling gamblang adalah saat mendiang Whitney Houston meneriakkan itu “and aaaaiiiiaaaaaaiiii ” dalam I Will Always Love You yang sangat populer pada 1990-an.

Di musik barat, melisma kerap dilakukan dengan naik-turun satu tangga nada pentatonik. Hal ini berbeda dengan teknik melisma musik-musik timur. Di wilayah Timur Tengah atau Timur Jauh, eskalasi dan deskalasi kadang kala hanya setengah nada atau bahkan seperempat nada pentatonik.

Ilustrasi pemusik memainkan oud oleh Mirza ‘Ali pada abad ke-16.
Ilustrasi pemusik memainkan oud oleh Mirza ‘Ali pada abad ke-16.

Saat itu melisma dieksekusi dengan ciamik seperti dalam tarhim yang kerap kita dengar sebelum adzan di sebagian masjid-masjid di Indonesia, ia jadi luar biasa menggetarkan. Begitu juga dengan lantunan erhu dari Cina.

Dalam khazanah musik Tanah Air, teknik melisma setengah nada ini sering dipakai dalam musik Melayu dan pembacaan macapat Jawa. Ia kemudian dipopulerkan lewat musik Dangdut dan diberi nama teknik cengkok. Salah satu penerapannya yang terbilang fenomenal adalah pada pembukaan “Ani” oleh Abang Haji Rhoma Irama.

Pertanyannya kemudian, mengapa melisma bisa menggetarkan kita? Bisa membuat bulu kuduk berdiri dan melambungkan suasana hati?

Secara saintifik, getaran yang kita rasakan saat mendengar musik-musik yang menggerakkan kerap disebut frisson, dari bahasa Prancis yang terjemahannya kurang lebih “getaran estetika”. Frisson ini bukan hanya bisa datang dari musik. Ia juga bisa datang dari karya-karya seni dan sastra lainnya.

Sejauh ini, telah banyak penelitian soal mengapa manusia merasakan frisson saat mendengarkan musik tertentu.

Seorang ashli neurosaintik dari Estonia, Jakk Panksepp, misalnya, menemukan bahwa manusia lebih mudah tergetar dengan musik-musik dengan alunan perlahan dan melisma yang cenderung menurun nadanya. Orang Indonesia mungkin akrab dengan jenis melisma menurun ini pada adzan, lantunan tilawatil Alquran, juga macapat.

Sementara David Huron, musikolog dari Cambridge, mengaitkan frisson dengan lompatan dinamika tetiba dalam struktur musik tertentu. Contoh yang bisa saya bayangkan adalah Unforgiven-nya Metallica atau Smell Like Teen Spirit-nya Nirvana yang memainkan perubahan agresifitas musik secara mendadak, atau penggunaan nada-nada dengan rentang yang berjauhan seperti dalam lantunan gitar pembuka Scar Tissue-nya Red Hot Chilli Paper atau lantunan lirik Someone Like You-nya Adele.

George Bubenik, seorang sikolog sekaligus zoologis dari Universitas Guelph, Ontario, menilai, merinding yang kita rasakan melalui musik itu bisa dilacak akarnya dari jejak evolusionis kita. Dia bilang, saat kita masih lebih berbulu dari sekarang, merinding berfungsi untuk melacak perubahan suhu yang tiba-tiba. Saat kita tak memerlukan lagi bulu sebagai pelindung dari cuaca, merinding jadi warisan psikologis yang tak lagi dipicu cuaca, melainkan anasir-anasir psikologis lain, salah satunya musik.

Artinya, saat kita tetiba merinding saat jadi jamaah imam tertentu yang jago memainkan melisma, dengan mengerti kompleksitas dibalik pemicu suasana kejiwaan itu, barangkali kita bisa mengingat juga betapa luar biasa Tuhan merancang manusia. n

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement