Selasa 15 Feb 2022 10:48 WIB

Laporan: Militer Myanmar Lakukan Kejahatan Perang di Karenni

Militer Myanmar membunuh warga sipil di Karenni dan menggunakan mereka sebagai tameng

Rep: Rizky Jaramaya/ Red: Esthi Maharani
Dalam foto ini disediakan oleh Karenni Nationalities Defense Force (KNDF), asap dan api mengepul dari kendaraan di kotapraja Hpruso, negara bagian Kayah, Myanmar, Jumat, 24 Desember 2021. Pasukan pemerintah Myanmar menangkap penduduk desa, beberapa diyakini wanita dan anak-anak, menembak mati lebih dari 30 orang dan membakar mayat-mayat itu, kata seorang saksi mata dan laporan lainnya, Sabtu.
Foto: KNDF via AP
Dalam foto ini disediakan oleh Karenni Nationalities Defense Force (KNDF), asap dan api mengepul dari kendaraan di kotapraja Hpruso, negara bagian Kayah, Myanmar, Jumat, 24 Desember 2021. Pasukan pemerintah Myanmar menangkap penduduk desa, beberapa diyakini wanita dan anak-anak, menembak mati lebih dari 30 orang dan membakar mayat-mayat itu, kata seorang saksi mata dan laporan lainnya, Sabtu.

REPUBLIKA.CO.ID, NAYPYITAW -- Militer Myanmar melakukan kejahatan perang di negara bagian Karenni. Laporan kelompok hak asasi manusia Fortify Rights pada Selasa (15/2/2022), mengatakan, militer Myanmar telah membunuh warga sipil, dan menggunakan mereka sebagai tameng manusia dalam serangkaian kekejaman di Karenni.

Fortify Rights mengatakan, mereka mendokumentasikan serangan terhadap gereja, tempat tinggal, kamp untuk orang-orang terlantar dan target non-militer lainnya di Karenni antara Mei 2021 dan Januari 2022. Setidaknya 61 warga sipil tewas selama serangan itu. Fortify Rights mengatakan sudah saatnya ASEAN memberikan dukungannya terhadap embargo senjata global.

“Junta Myanmar membunuh orang dengan senjata yang diperoleh di pasar global, dan itu harus dihentikan. Dewan Keamanan PBB harus segera memberlakukan embargo senjata global terhadap militer Myanmar, dan sangat strategis bagi ASEAN untuk mendukungnya," ujar Direktur Regional Fortify Rights, Ismail Wolff, dikutip Aljazirah.

Upaya diplomatik untuk menyelesaikan krisis Myanmar hanya menghasilkan sedikit kemajuan. ASEAN juga telah berusaha untuk mengambil inisiatif dengan membuat konsensus lima poin, namun belum mampu mengatasi krisis di Myanmar.

Fortify Rights mengatakan, sudah waktunya bagi ASEAN untuk mengambil sikap tegas terhadap para pemimpin kudeta. Fortify Rights mendesak ASEAN untuk terlibat dengan Pemerintah Persatuan Nasional yang dibentuk oleh politisi terpilih yang dicopot dari jabatan oleh militer serta perwakilan dari kelompok etnis.

“Junta bukanlah sebuah pemerintahan,  itu adalah perusahaan kriminal dan tidak termasuk dalam meja ASEAN. Akan berbahaya bagi ASEAN untuk memberi legitimasi politik bagi Min Aung Hlaing dan junta," ujar Wolff.

Laporan Fortify Rights didasarkan pada kesaksian dari 31 saksi mata dan penyintas, serta bukti foto dan video yang diverifikasi. Laporan ini mencakup detail baru tentang pembunuhan dengan cara dibakar pada Malam Natal di Kotapraja Hpruso, yang menewaskan 40 warga sipil, termasuk seorang anak dan dua staf Save the Children.

Seorang dokter yang mengerjakan otopsi korban tewas mengatakan, beberapa jenazah terbakar sangat parah sehingga tidak mungkin untuk diautopsi. Tetapi timnya dapat memastikan bahwa lima jenazah adalah perempuan dan satu perempuan di bawah umur.

“Beberapa mulutnya disumpal dengan kain, jadi kami yakin orang-orang ini disumpal. Hampir setiap tengkorak retak dan retak parah. (Dalam beberapa jenazah), kami dapat mengumpulkan cukup bukti untuk mengatakan bahwa mereka dibakar hidup-hidup sampai mati," kata dokter tersebut bersaksi kepada Fortify Rights.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement