Rabu 16 Feb 2022 18:43 WIB

Moderasi Beragama Kokohkan NKRI

Masih banyak terjadi ketegangan keberagamaan yang dapat memicu timbulnya konflik

Red: A.Syalaby Ichsan
Aulia (20) salah satu pengurus vihara membersihkan lelehan lilin saat prosesi sembahyang Tahun Baru Imlek 2573 di Vihara Amurva Bhumi, Setiabudi, Jakarta Selatan, Selasa (1/2/2022). Aulia mengawali pekerjaan sebagai pengurus vihara sejak usia 12 tahun mengikuti jejak ayahnya. Baginya hidup damai berdampingan bersama warga keturunan Tionghoa merupakan bentuk toleransi sekaligus saling menghargai dalam hal perbedaan keyakinan. Repub?ika/Thoudy Badai
Foto: Republika/Thoudy Badai
Aulia (20) salah satu pengurus vihara membersihkan lelehan lilin saat prosesi sembahyang Tahun Baru Imlek 2573 di Vihara Amurva Bhumi, Setiabudi, Jakarta Selatan, Selasa (1/2/2022). Aulia mengawali pekerjaan sebagai pengurus vihara sejak usia 12 tahun mengikuti jejak ayahnya. Baginya hidup damai berdampingan bersama warga keturunan Tionghoa merupakan bentuk toleransi sekaligus saling menghargai dalam hal perbedaan keyakinan. Repub?ika/Thoudy Badai

Oleh : Ummu Bisyrie (Guru di SMK As-Salafiyah Pamekasan)

REPUBLIKA.CO.ID, Indonesia merupakan negara majemuk yang memiliki beragam suku, ras, budaya, dan (bahkan) agama. Sebenarnya, keberagaman ini dapat menjadi kekuatan terhadap bangsa Indonesia. Namun realita kadang berbanding terbalik.

Dalam kenyataannya, masih banyak terjadi berbagai macam ketegangan keberagamaan yang dapat memicu timbulnya konflik antar masyarakat, antar umat beragama, atau bahkan bisa terjadi dalam internal umat seagama. Tindakan radikalisme dan ekstrimisme masih sering saja muncul di masyarakat. Maka dari itu, diperlukan sebuah paham yang menjadi jalan tengah (moderat) untuk menyelesaikan permasalahan ini.

“Moderasi” (lawan kata ekstrem) adalah serapan dari kata “moderat” yang berarti sebuah sikap yang menghindarkan perilaku yang ekstrem; mempunyai kecenderungan ke arah jalan tengah. Moderasi beragama merujuk pada sikap meminimalisir konflik dan kekerasan atau menghindaari keekstreman dalam praktik keagamaan. Jelasnya, agama dijadikan sebagai dasar dan prinsip untuk selalu menghindarkan diri dari pemahaman dan perilaku yang ekstrem dan selalu mencari jalan tengah yang dapat meyatukan semua elemen kehidupan bermasyarakat dan berbangsa.

Dalam konteks Indonesia, moderasi beragama dianggap sebagai salah satu solusi untuk menmperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa. Hal ini cukup beralasan. Pertama, Indonesia berada di deretan negara yang paling beragam didunia. Keragaman tersebut terjadi dalam berbagai lini kehidupan, mulai dari agama, suku, adat istiadat, bahasa dan sebagainya. Keragaman ini merupakan takdir Tuhan bagi Indonesia yang harus diterima (taken for granted). Dengan kenyataan ini, dapat dibayangkan betapa di Indonesia terdapat berbagai macam corak kehidupan, tradisi, pemikiran, pendapat dan sebagainya.

Dengan melihat hal itu semua, tidaklah tepat jika kita kemudian memaksakan bangsa Indonesia yang lain harus sama dengan kita. Begitu pula sebaliknya. Kedua, manusia dalam kehidupannya membutuhkan sebuah tuntunan yang berasal dari wahyu (agama). Akal saja tidak cukup karena akal manusia itu berkembang liar. Akal yang cerdas tanpa didasari agama akan melahirkan pribadi yang tamak dan brutal. Dalam hal ini agama berperaan sebagai pengendali akal. Akan tetapi, permasalahan dalam keberagamaan sering menjadi akar permasalahan umat dan bangsa. Mengapa demikian? Karena agama (apapun dan dimanapun) itu memiliki sifat dasar keberpihakan dan subyektifitas yang tinggi bagi pemeluknya. Sehingga kemudian ini menjadi ranah sensitif.

Selanjutnya, perlu diluruskan makna moderasi beragama ini. Karena pada kenyataannya orang yang mempunyai faham moderat dalam beragama sering dianggap seseorang yang tidak konsisten dengan ajaran agamanya sendiri, atau dianggap mencampur-adukkan agama yang satu dengan agama yang lain. Padahal, sebenarnya tidaklah demikian. Moderasi beragama bukan berarti agamanya yang dimoderasi, melainkan cara beragama dan cara pandang kita tentang agamalah yang perlu dimoderasi. Sikap atau pemikiran moderat bukan pula berarti mengakui semua agama benar. Sikap moderat dalam beragama sama sekali bukan berarti seseorang boleh mengompromikan prinsip dasar atau ritual pokok keagamaan dengan yang berbeda pemahaman suatu agama atau pula berbeda agama. Sikap atau pemikiran moderat di sini berarti keseimbangan antara garis hubungan manusia dengan Tuhan dan garis hubungan manusia dengan sesama. 

Di Indonesia, moderasi beragama dikaitkan dengan penguatan konsesnsus ideologi Pancasila yang mengusung paham pertengahan (moderat) antara paham radikal dan liberal. Sejak awal didirikan, Indonesia telah memproklamasikan dirinya sebagai negara kesatuan, bukan negara agama dan bukan pula negara sekuler. Akan tetapi Indonesia memberikan kebebasan menjalankan ajaran agama masing-masing dalam kehidupan bangsa yang plural. Nilai-nilai Pancasila mengajarkan toleransi, sikap saling menerima dan kerjasama antar sesama tanpa membedakan etnis, budaya, dan agamanya. Falsafah Pancasila menunjukkan bahwa Indonesia adalah negara yang agamis, santun dan menjunjung tinggi toleransi, dan hal ini selaras dengan ajaran agama manapun. 

Senada dengan sikap moderasi agama di Indonesia, di tingkat dunia telah terjadi  pertemuan bersejarah antara 2 tokoh agama besar dunia pada 4 Februari 2019 lalu, Grand Syaikh Al-Azhar, Syaikh Ahmad al-Tayyeb dengan Paus Fransiskus dari Vatikan. Mereka menandatangani dokumen persaudaraan kemanusiaan (human fraternity document) yang diantara pesan utamanya adalah bahwasanya ekstremisme, kebencian dan intoleran yang mengatasnamakan agama adalah sesuatu yang harus dihindarkan.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement