Memelihara Kecemasan dan Kebosanan Adalah Cara untuk Melanjutkan Hidup

Red: Fernan Rahadi

Cemas (ilustrasi).
Cemas (ilustrasi). | Foto: pixabay

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Moh. Ainu Rizqi (Mahasiswa Filsafat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)

 

Kata banyak orang, "Perubahan berawal dari pergerakan". Rasa-rasanya itu bisa benar, bisa juga salah total. Lho, memangnya kenapa? Bukannya perubahan ke arah yang lebih baik seharusnya diawali oleh pergerakan, bertindak nyata, kerja, kerja, kerja! (bukan anjuran presiden).

Oke, memang perubahan itu diawali dengan adanya pergerakan dan tindakan nyata. Namun itu merupakan tindak lanjut dari sebuah perasaan purba yang merongrong kedaulatan rasa nyaman seorang manusia. Jika lebih jeli mempelajari evolusi manusia, mengapa manusia hingga hari ini tidak punah, bahkan semakin meningkat populasinya? Jawabannya adalah manusia selalu menyimpan kecemasan dalam sakunya yang rombeng dan dalam dompetnya yang tipis.

Manusia sang pemelihara kecemasan

Nenek moyang kita ratusan, bahkan ribuan, tahun silam bisa terus melanjutkan tonggak kehidupan hingga lahirnya kita-kita pada hari ini tak luput dari proses seleksi alam. Apalagi hidup di zaman baheula saat itu, sesama manusia pun saling mencurigai satu sama lain. 

Lantas apa yang membuat mereka bertahan hingga anak-cucunya (kita-kita sekarang ini) bisa masih ada? Sudah pasti dan jelas, mereka memelihara kecemasan agar bisa survive melanjutkan hidup ini.

Kecemasan mereka yang pasti bukan kecemasan layaknya bocah-bocah remaja yang sering mengumbar, dalam bahasa gaulnya, anxiety-nya di media sosial. Kecemasan mereka berupa: Bagaimana aku hidup agar tidak dimangsa makhluk lain (binatang buas) dan bisa istirahat dengan nyaman? Berkat kecemasan itu, nenek moyang kita akhirnya berpikir keras dan menemukan solusinya, yaitu mencari tempat tinggal yang aman seperti gua. 

Tak cukup sampai di sana, karena cemas dengan adanya makhluk lain yang bisa juga membahayakan bagi keselamatan mereka, akhirnya mereka mulai berkoloni dan mulai hidup bersama. Untuk saling menjaga keamanan dan kenyamanan bersama, nenek moyang kita juga melanggengkan gosip sebagai tradisi. 

Seperti kata Yuval Noah Harari dalam buku Sapiens (2011) bahwa manusia yang pada dasarnya merupakan binatang sosial melakukan kerja sama sosial sebagai kunci bertahan dan bereproduksi dengan menggunakan gosip.

Untuk itulah kegiatan bergosip yang marak saat ini harusnya patut kita syukuri. Karena berkat bergosip itu, nenek moyang kita melakukan kerja sama sosial dan bahasa berevolusi atas alasan itu. Karena bergosip pula manusia bisa berbicara tentang kecemasannya yang abstrak, tak jelas, dan belum dapat diketahui entitasnya.

Tak cukup itu, karena kecemasan nenek moyang kita akan keberlanjutan hidupnya, tentu hal yang wajib dan paripurna adalah soal makanan sebagai pengisi perut untuk memperkuat fondasi hidup sehari-hari. Kecemasan tersebut pada akhirnya juga membuat nenek moyang kita berburu, bertanam, meramu, dan tentunya memasak. 

Ah, andaikan para nenek moyang tidak memiliki kecemasan tersebut, pasti hari ini saya tidak akan bisa menyantap nikmatnya nasi Padang dekat kos-kosan dan sayur bening lauk tempe dengan sambal buatan mama. Betapa makanan pun turut berevolusi di sini. Lagi-lagi, itu berkat adanya kecemasan dan tak lupa berkat tradisi gosip.

Okelah, yang saya paparkan di atas merupakan kecemasan di zaman purba dan sepertinya telah usang. Namun hari ini kita juga masih harus memelihara kecemasan lho.

Hari ini saya pribadi sedang mencemaskan terkait perkuliahan saya dan masa-masa yang akan saya hadapi setelah lulus dari kuliah nanti. Lebih jauh lagi, kecemasan saya adalah terkait keberadaan saya, bisa dikatakan dengan kecemasan eksistensial. 

Mengapa saya ada? Dari mana saya ada? Hendak ke mana saya? Kecemasan-kecemasan itulah yang mendorong saya untuk terus hidup dan mengamini bahwa hidup ini sangat layak untuk dilanjutkan, yaitu melanjutkan pencarian jawaban atas kecemasan-kecemasan tersebut.

Berhubung masa depan dan hal-hal yang harus saya lakukan di perkuliahan, kecemasan tersebut juga sangat membantu saya agar tekun untuk terus belajar, membaca, menulis, dan selalu merasa haus akan ilmu pengetahuan serta pengalaman. Kecemasan itu mendorong saya untuk terus bergerak dan memotivasi saya untuk terus berada dalam fase ‘kemenjadian’. Karena sejatinya saya dan kita semua, kata Heidegger, bukan 'ada' (being), tetapi terus 'menjadi' (becoming). 

Ketika saya telah merasa 'ada' dengan begini adanya tanpa dirundung kecemasan, saya akan malas untuk berbuat sesuatu agar lebih baik dan berkembang. Namun akan berbeda jika saya terus menempa diri dalam kecemasan dan meyakini bahwa bagaimanapun saya sedang menjadi diri saya sendiri yang terus berada dalam 'kemenjadian' hingga saya mati: Saya tentu akan selalu meng-upgrade keseharian dan tetap berusaha setiap waktu agar yang kemarin bisa menjadi pelajaran untuk hari ini, dan hari ini bisa menjadi bekal untuk esok pagi (meski tak ada yang bisa menjamin adanya esok pagi). 

Manusia sang pemelihara kebosanan

Hidup dan kehidupan ini bisa terus berlanjut hingga hari ini salah satunya karena manusia tetap merasa bosan lho. Kok bisa? Bukankah kita acapkali lari terbirit-birit dari rasa bosan (gabut, suntuk, sepi, gitu-gitu aja)? Nah, justru itulah poin pentingnya.

Manusia yang merasa bosan akan selalu merumuskan beragam cara agar ia dapat selamat dari kebosanan yang menghantuinya. Dari pelariannya terhadap rasa bosan itu manusia akan semakin kreatif untuk melakukan sesuatu yang tak jarang bernilai positif. 

Misalnya, saya bosan dengan pemasukan saya yang hanya senilai UMR Jogja. Lantas apa yang saya lakukan? Selain protes dan menyenggol sedikit di medsos, saya pasti akan mencoba hal-hal lain, seperti main crypto, bisnis online, atau lobi sana-sini asalkan dapat proyekan.

Setiap manusia memiliki beragam cara untuk menyudahi kebosanannya dengan kaffah. Meskipun tak dapat kita pungkiri bahwa hidup yang baik adalah hidup yang beralih dari satu kebosanan ke kebosanan yang lain. Karena dengan begitu manusia terus membentuk diri dan dunianya agar lebih baik dari sebelum-sebelumnya. Jadi sebuah pergerakan dan tindakan itu masih memiliki akar, yaitu perasaan bosannya dan tak lupa kecemasannya.

Kebosanan dan kecemasan adalah dua dalam satu yang harus terawat baik dalam diri manusia. Berawal dari cemas, manusia berbenah. Hal yang dibenahi pada waktunya juga akan menjadi sesuatu yang membosankan, hingga manusia itu akan membenahinya lagi agar lebih baik, lebih sempurna dan lebih berkelanjutan. Begitulah seterusnya. 

Jadi, kurang tepat kiranya jika perubahan itu berawal dari pergerakan. Lebih tepatnya: "Perubahan berawal dari kecemasan dan kebosanan." Lebih radikal lagi, "Aku cemas, aku bosan, maka aku ada". Maka dengan begitu, hidup ini sangat layak untuk dilanjutkan.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini

Terkait


Jangan Bully Orang Berjerawat, Ini Dampaknya Bagi Kesehatan Mental

7 Makanan yang Bantu Redakan Kecemasan

Kata Terbanyak Dipilih Anak Selama 2021: Kecemasan

Suka Pakai Smartwatch? Waspadai Efek Negatif Nocebo

Goldie Hawn Kenang Sulitnya Jadi Tenar di Usia 20-an

Republika Digital Ecosystem

Kontak Info

Republika Perwakilan DIY, Jawa Tengah & Jawa Timur. Jalan Perahu nomor 4 Kotabaru, Yogyakarta

Phone: +6274566028 (redaksi), +6274544972 (iklan & sirkulasi) , +6274541582 (fax),+628133426333 (layanan pelanggan)

[email protected]

Ikuti

× Image
Light Dark