Senin 21 Feb 2022 19:23 WIB

Survei: Muslim Belanda Makin Terbiasa dengan Perilaku Islamofobia

Muslim di Belanda kesulitan mendapatkan pekerjaan karena nama dan jilbab mereka.

Rep: Mabruroh/ Red: Ani Nursalikah
Muslimah di Belanda. Survei: Muslim Belanda Makin Terbiasa dengan Perilaku Islamofobia
Foto: Rnw.l/c
Muslimah di Belanda. Survei: Muslim Belanda Makin Terbiasa dengan Perilaku Islamofobia

REPUBLIKA.CO.ID, AMSTERDAM -- Muslim di Amsterdam, Belanda secara teratur terbiasa menghadapi diskriminasi dan mereka merasa hal itu menjadi semakin normal di masyarakat. Misalnya, mereka kesulitan mendapatkan pekerjaan karena nama dan jilbab.

“Di media sosial pun mereka menghadapi ujaran kebencian tanpa ada yang mempedulikan,” kata para peneliti menemukan dalam sebuah studi tentang Islamofobia di Amsterdam, seperti dilaporkan Het Parool, dilansir dari NL Times, Senin (21/2).

Baca Juga

Menurut peneliti, banyak responden yang menyebut normalisasi Islamofobia sebagai masalah besar dalam hidup mereka yang tidak bisa mereka pertahankan lagi. Pada titik tertentu, mereka memilih terbiasa dan belajar menjalaninya. 

“Di sekolah, anak-anak dan remaja dihadapkan pada pernyataan dan reaksi Islamofobia dari murid dan guru mereka,” kata peneliti.

Hampir semua responden mengatakan mereka kesulitan mencari pekerjaan, sementara teman sekelas kulit putih mereka berhasil melakukannya. Begitu pula di pasar tenaga kerja, responden melaporkan ditolak karena nama keluarga dan latar belakang mereka. 

Responden mengaku seringkali mendapatkan pertanyaan yang tidak relevan ketika wawancara pekerjaan. Seperti tentang perasaan mereka terkait hubungan gender, terorisme, LGBTQI+, atau kesetiaan mereka kepada Belanda. Jika mereka mengeluh, mereka dituduh tidak bisa bercanda atau memainkan kartu rasialisme. 

Wanita yang memakai jilbab mengatakan mereka sering dipanggil dengan nama julukan, beberapa yang lain pernah diludahi atau diserang. Kemudian ketika berada di transportasi umum dan toko, banyak Muslim merasa diabaikan atau terus-menerus diawasi oleh staf karena penampilan mereka. 

“Di media sosial, umat Islam menghadapi begitu banyak ujaran kebencian sehingga beberapa orang memutuskan menebalkan wajah mereka,” kata peneliti.

Yang lain mengatakan mereka tidak akan pernah terbiasa dan merasa tidak dapat mengerti jenis diskriminasi ini hampir selalu terjadi tanpa hukuman. Menurut para peneliti, responden percaya normalisasi Islamofobia didorong oleh meningkatnya pengaruh spektrum politik ekstrem kanan. Media juga berperan dengan banyak responden mengatakan cara Muslim digambarkan memiliki efek polarisasi dan berkontribusi pada citra diri yang negatif. 

Komunitas Muslim juga memiliki peran dalam hal ini, dengan beberapa responden mengatakan para pengkhutbah semakin memperbesar perbedaan antara Amsterdam yang sekuler dan Muslim. Para peneliti mengatakan kotamadya Amsterdam perlu berbuat lebih banyak untuk meminta pertanggungjawaban majikan dan agen tenaga kerja atas diskriminasi. 

"Studi ini memperjelas diskriminasi Muslim sangat mempengaruhi dan menghambat banyak warga Amsterdam setiap hari. Ini berisi wawasan yang berguna, tetapi juga menyakitkan tentang lingkungan mereka, serta rekomendasi yang memiliki nilai tambah bagi kebijakan kota," kata anggota dewan Rutger Groot Wassink. 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement