Kamis 24 Feb 2022 22:47 WIB

Polemik JHT, Guru Besar UI: Jangan Terjebak Persepsi Pemikiran Pendek

Guru besar UI menyebut selayaknya saldo JHT dicairkan ketika pekerja sudah pensiun

Rep: Novita Intan/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Buruh membawa poster saat berunjuk rasa di halaman kantor Pemerintah Kota Tangerang, Banten, Kamis (24/2/2022). Dalam aksi tersebut mereka menuntut dan menolak Permenaker Nomor 2 Tahun 2022 tentang Jaminan Hari Tua (JHT) serta persyaratan pencairan dana JHT pada usia 56 tahun yang dianggap memberatkan bagi kalangan pekerja.
Foto: Antara/Fauzan
Buruh membawa poster saat berunjuk rasa di halaman kantor Pemerintah Kota Tangerang, Banten, Kamis (24/2/2022). Dalam aksi tersebut mereka menuntut dan menolak Permenaker Nomor 2 Tahun 2022 tentang Jaminan Hari Tua (JHT) serta persyaratan pencairan dana JHT pada usia 56 tahun yang dianggap memberatkan bagi kalangan pekerja.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Polemik mengenai perubahan mekanisme pencairan saldo jaminan hari tua (JHT) melalui Permenaker No. 2/2022 disebabkan adanya kesalahan persepsi kalangan masyarakat mengenai program yang dijalankan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan.

Menurut Guru Besar Universitas Indonesia Hasbullah Thabrany program JHT di Indonesia terjebak terhadap persepsi pemikiran pendek atau short sighted kalangan pekerja dan sebagian kelompok masyarakat. Adapun program ini disusun dengan mempertimbangkan rendahnya kesadaran masyarakat pekerja dalam menyisihkan penghasilannya sebagai jaring pengaman sosial pada masa mendatang.

"Di seluruh dunia semua negara mewajibkan pekerjanya untuk menabung hari tua. Ada yang bentuk uang pensiun dan jaminan hari tua," ujarnya kepada wartawan, Kamis (24/2/2022).

Sejalan dengan itu, Hasbullah menilai sudah selayaknya saldo JHT dicairkan ketika pekerja berusia tua atau sudah tidak lagi aktif di dunia kerja, sehingga memberikan jaminan kelayakan hidup. 

"Tapi sekarang banyak manusia itu berpikir pendek, padahal aturan menaker itu sudah sangat bagus dan sesuai. Jaminan sosial dan manfaat jaminan sosial hanya dapat dicairkan ketika tua," ucapnya.

Menurutnya berdasarkan data KSPI pada tahun lalu terdapat 50 ribu pekerja yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK). Adapun Kementerian Ketenagakerjaan memperkirakan pekerja yang terancam PHK mencapai 143 ribu orang.

Sedangkan jumlah peserta JHT pada tahun lalu mencapai 52 juta orang. Artinya, polemik mengenai kekhawatiran perubahan skema pencairan JHT hanya mewakili 0,3 persen peserta di dalam program tersebut.

"Apakah harus membongkar program JHT dengan menolak syarat pencairan usia 56 tahun? Lihat kepentingan masa depan bersama jangan lihat jangka pendek kan semua ada solusinya," ucapnya.

Hasbullah menyebut pekerja yang terkena PHK saat ini bisa memanfaatkan program baru BPJS Ketenagakerjaan, yakni jaminan kehilangan pekerjaan (JKP). Maka demikian, pekerja tidak perlu khawatir mengenai masa depan ketika dikenai PHK setelah adanya perubahan mekanisme pencairan JHT.

Adapun skema JHT dan JKP yang diusung pemerintah sama dengan konsep jaminan sosial yang diberlakukan di Jerman. Berdasarkan video yang viral media sosial, seorang warga negara Indonesia yang tinggal di Jerman menjelaskan konsep JHT di negara tersebut baru bisa dicairkan ketika usia pensiun, yakni 67 tahun.

Apabila di tengah usia produktif pekerja dikenai PHK, maka Pemerintah Jerman akan menanggung 60 persen upah pekerja setiap bulan selama satu tahun, sembari membantu mencarikan pekerjaan baru. Adapun konsep ini sama persis dengan JKP yang akan diimplementasikan oleh pemerintah.

Hasbullah juga menyerukan kepada para pekerja tidak perlu khawatir terkait dana yang dikelola oleh BPJS Ketenagakerjaan. Hal ini disebabkan akumulasi dana JHT merupakan investasi pekerja untuk membangun negeri.

“Ketimbang pembangunan infrastruktur didanai dari pinjaman luar negeri, imbal hasilnya akan lari ke luar negeri, maka pekerja di dalam negeri akan hanya jadi obyek. Faktanya, banyak dana investasi yang masuk ke Indonesia sesungguhnya adalah Dana Jaminan Sosial pekerja di negara-negara maju,” ucapnya.

Dana jaminan sosial (DJS) yang besar merupakan sumber terbaik diinvestasikan di dalam negeri, sebagai investasi pekerja (baik publik maupun swasta) untuk membangun negeri. Adapun Dana DJS besar menjadi tulang punggung obligasi negara dan investasi jangka panjang lain yang hasilnya akan dinikmati oleh pekerja di DN. 

“Ketimbang meminjam dana luar negeri, yang bunga dan imbal hasilnya dinikmati pekerja di negara lain, dia mengimbau pekerja Indonesia untuk melihat manfaat jangka panjang, membangun negeri sekaligus menjamin masa depan pekerja,” ucapnya. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement