Jumat 25 Feb 2022 19:42 WIB

Pengacara Sebut Kasus Unlawful Killing Terjadi karena Rizieq tak Kooperatif dan Provokatif

Pengacara dua terdakwa kasus unlawful killing hari ini membacakan nota pembelaan.

Red: Andri Saubani
Pengacara dua terdakwa kasus unlawful killing FPI, Henry Yosodiningrat menilai kasus pembunuhan laskar FPI terjadi karena Rizieq Shihab tak kooperatif.
Foto: Republika/Rakhmawaty La'lang
Pengacara dua terdakwa kasus unlawful killing FPI, Henry Yosodiningrat menilai kasus pembunuhan laskar FPI terjadi karena Rizieq Shihab tak kooperatif.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --  Tim pengacara yang mewakili dua polisi terdakwa pembunuhan sewenang-wenang (unlawful killing) menyampaikan insiden penembakan terhadap empat anggota FPI terjadi karena Ketua Umum FPI Habib Muhammad Rizieq Shihab (HRS) tidak kooperatif saat dipanggil oleh polisi. Koordinator Tim Penasihat Hukum Henry Yosodiningrat menyatakan hal itu saat membacakan pembelaan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jakarta, Jumat (25/2/2022).

Menurut Henry,  Ketua Umum FPI juga memprovokasi massa pendukungnya untuk mengepung dan menggeruduk Polda Metro Jaya. "Polda melakukan antisipasi dengan cara mengambil langkah-langkah secara tertutup memerintahkan anggotanya termasuk Ipda Yusmin, Briptu Fikri," kata Henry.

Baca Juga

Langkah-langkah antisipasi itu di antaranya mengawasi dan membuntuti massa pendukung HRS di beberapa wilayah. Kejadian itu kemudian berujung pada baku tembak di Jalan Simpang Susun Karawang Barat.

"Saat bertugas, anggota kepolisian mendapat perlakuan tindakan kekerasan dari Laskar FPI, yang dimulai dari penyenggolan dan penghadangan mobil polisi, dilanjutkan menghampiri mobil dan membacok kap mobil anggota dengan senjata tajam, dan menghujam senjata tajam ke kaca mobil secara membabi buta," papar Henry.

Dalam pembelaannya, Henry menyampaikan polisi pun meletuskan satu tembakan peringatan, tetapi itu dibalas dengan tiga tembakan dari kelompok FPI. Tindakan itu kemudian dibalas oleh penembakan polisi ke arah anggota FPI.

Akibatnya, anggota FPI pun melarikan diri. Kepolisian kemudian menemukan jejak mereka di Rest Area KM 50 Tol Cikampek.

Di tempat itu, polisi menemukan dua anggota laskar, yaitu Luthfi Hakim (25) dan Andi Oktiawan (33) tewas. Sementara empat anggota lainnya, yaitu Muhammad Reza (20), Ahmad Sofyan alias Ambon (26 tahun), Faiz Ahmad Syukur (22), dan Muhammad Suci Khadavi (21), digeledah dan dilucuti.

Hasilnya, Henry menuturkan, polisi menemukan senjata api dan senjata tajam. Polisi kemudian membawa empat anggota Laskar FPI itu ke Polda Metro Jaya menggunakan mobil Xenia.

Namun, empat anggota Laskar, menurut Henry, menganiaya Brigadir Polisi Satu (Briptu) Fikri Ramadhan serta berupaya merebut senjatanya. Akibat perbuatan itu, insiden penembakan tidak terelakkan karena polisi berupaya membela dirinya, Henry menegaskan dalam pembelaan atau pleidoi nya.

"Peristiwa perebutan senjata api menentukan hidup dan mati seseorang, karena itu membahayakan anggota kepolisian dan anggota FPI itu sendiri," ujar Koordinator Tim Penasihat Hukum yang membacakan pleidoi secara virtual.

 

 

Ia menyampaikan kejadian itu, yang menyebabkan empat anggota Laskar FPI tewas tentu disesali oleh seluruh pihak. "Kalau saja HRS kooperatif, memenuhi panggilan dan tidak memprovokasi pengikutnya untuk melakukan tindakan anarkis. Kalau anggota Laskar tidak memukul dan merebut senjata Fikri dapat dipastikan bahwa peristiwa ini tidak terjadi," ujar Henry.

Sebelumnya, jaksa menuntut majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan menghukum dua polisi yang menjadi terdakwa kasus pembunuhan sewenang-wenang (unlawful killing) pidana 6 tahun penjara. Tuntutan kepada dua terdakwa, yaitu Brigadir Polisi Satu (Briptu) Fikri Ramadhan dan Inspektur Polisi Dua (Ipda) Mohammad Yusmin Ohorella, dibacakan oleh jaksa secara terpisah di PN Jakarta Selatan, Jakarta, Selasa (22/2/2022).

Menurut Jaksa Fadjar, yang membacakan tuntutan secara virtual sebagaimana disiarkan di ruang sidang, Briptu Fikri terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 338 KUHP juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. Dalam berkas tuntutan yang berbeda, jaksa Paris Manalu juga meyakini Ipda Yusmin melanggar ketentuan dalam pasal yang sama dengan Briptu Fikri.

Oleh karena itu, dua jaksa itu meminta majelis hakim memvonis Briptu Fikri dan Ipda Yusmin hukuman 6 tahun penjara serta meminta keduanya segera ditahan. Dalam dua berkas tuntutan yang berbeda, jaksa juga meminta kepada majelis hakim agar memerintahkan Briptu Fikri dan Ipda Yusmin membayar biaya perkara masing-masing Rp5.000,00.

Terkait dengan barang bukti, jaksa meminta majelis hakim agar memerintahkan beberapa barang bukti dikembalikan ke Polda Metro Jaya, ada beberapa yang dimusnahkan, dan lainnya diminta tetap dimasukkan dalam berkas perkara. Jaksa, dalam tuntutannya, juga membacakan hal-hal yang memberatkan dan meringankan bagi dua terdakwa.

Jaksa Fadjar menilai hal yang memberatkan Briptu Fikri, yaitu tidak memperhatikan asas legalitas, asas nesesitas, dan asas proporsionalitas, terutama dalam menggunakan senjata api saat mengawal para korban, yaitu empat anggota FPI, dari Rest Area KM 50 Tol Cikampek ke Polda Metro Jaya. Sementara itu, hal-hal yang meringankan untuk Briptu Fikri, di antaranya telah bertugas sebagai polisi selama 12 tahun.

Pada masa tugasnya itu, Briptu Fikri tidak pernah melakukan perbuatan tercela. Hal-hal yang memberatkan dan meringankan untuk Briptu Fikri secara substansi juga berlaku untuk Ipda Yusmin.

 

photo
Infografis FPI Terus Diburu - (republika/mgrol100)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement