Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Eri Hendro Kusuma

Tidak Mudah Saat Kembali ke PJJ (lagi)

Lomba | Saturday, 26 Feb 2022, 18:40 WIB
Suasana saat pjj/dok. pribadi

Beberapa hari ini, ketika saya membuka media sosial, banyak sekali berseliweran postingan tentang diberlakukannya kembali pembelajaran jarak jauh (PJJ) dengan emoticon yang menggambarkan sebuah kebingungan para orangtua.

Sebuah ekspresi yang wajar, ketika kita semua sedang berjalan pelan-pelan untuk melakukan pembelajaran tatap muka secara 100%, akan tetapi di tengah perjalanan, harus balik lagi ke PJJ karena melonjaknya kasus Covid-19 varian Omicron di beberapa daerah di Indonesia.

Sebuah situasi yang tentunya kurang begitu nyaman bagi siswa, orangtua, guru, dan sekolah. Baru saja, salah satu orangtua siswa menyampaikan rasa senangnya karena intensitas penggunaan gawai yang dilakukan oleh anaknya mulai berkurang setelah dilaksanakannya sekolah secara tatap muka. Tiba-tiba sekarang muncul surat edaran untuk pelaksanaan PJJ lagi. Hal tersebut tentunya membuat kening para orangtua harus mengerut untuk sementara waktu.

Diberlakukannya kembali PJJ untuk sementara waktu, juga menjadi hal yang kurang menyenangkan bagi sebagian besar siswa. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya komentar siswa yang mengeluh pada saat saya mengirimkan surat edaran PJJ di grup whatsapp kelas. Wajar memang, mengingat mereka baru saja menikmati aktivitas bermain dan bercanda bersama teman-temannya yang selama ini hanya bisa dilakukan melalui aplikasi zoom, google meet, dan aplikasi sejenis lainnya. Sehingga tidak heran dari salah satu mereka ada yang mengatakan jika dirinya merasa kembali "terkurung" seperti burung di sangkar.

Kondisi PJJ saat ini saya kira akan lebih rumit dari sebelumnya, mengingat kegiatan ekonomi para orangtua siswa yang "mulai" lagi berjalan. Apalagi kegiatan PJJ saat ini juga tidak lagi bersamaan dengan adanya kebijakan work from home (WFH), sehingga hal tersebut dapat berpotensi menciptakan kerepotan tersendiri pada kondisi lingkungan keluarga.

Siapa yang menemani anak saat belajar di rumah dan ketersediaan perangkat pembelajaran daring yang akan digunakan, tentunya akan menjadi faktor yang menentukan keterlaksanaan PJJ saat ini. Permasalahan pelaksanaan PJJ di keluarga, sudah pasti akan berpengaruh terhadap efektivitas proses kegiatan PJJ yang dilaksanakan sekolah.

Karena kondisi PJJ yang mungkin berbeda dengan sebelumnya, lagi-lagi sekolah harus memacu diri untuk dapat menciptakan sebuah inovasi PJJ yang sesuai dengan kondisi dan kebutuhan siswa. Sebuah tantangan yang tidak mudah, mengingat kondisi belajar siswa yang juga masih kurang stabil di tengah ketidakpastian sistem pembelajaran saat ini.

Tidak Mudah

Adaptasi dari PJJ ke tatap muka di sekolah, bukanlah hal yang mudah. Banyak sekali tantangan yang harus dihadapi untuk mengembalikan lagi budaya sekolah pada siswa. Membiasakan pola tidur, pola makan, pola belajar, dan fokus belajar yang "normal", masih menjadi bahan diskusi saya dengan rekan-rekan guru untuk menemukan sebuah solusi.

Mulai dari kasus banyaknya siswa yang terlambat datang ke sekolah karena bangun terlalu siang, karena efek dari pada pola tidur mereka yang boleh dikatakan "kacau" selama tidak adanya sekolah tatap muka. Selain itu juga ada siswa yang setiap pukul 09.00 WIB sudah meninggalkan sekolah meskipun kegiatan pembelajaran belum berakhir. Alasan dia meninggalkan sekolah lebih awal dari teman-temannya yang lain karena mengantuk dan ingin tidur.

Tidak itu saja, pada saat pelaksanaan pembelajaran tatap muka berlangsung juga banyak siswa yang harus izin pulang terlebih dahulu karena sakit. Mereka rata-rata mengeluh rasa sakit pada bagian perut. Mungkin karena pola makan yang berbeda pada saat PJJ dengan pembelajaran tatap muka, menyebabkan permasalahan pada alat pencernaan para siswa.

Pembelajaran tatap muka yang baru saja dijalankan di sekolah belakangan ini, sebenarnya lebih kepada penekanan program untuk "mengembalikan jiwa anak ke sekolah". Sekolah belum sepenuhnya menuntut optimalisasi pada kegiatan akademis, melainkan lebih pada sebuah kegiatan yang membuat siswa nyaman dan senang untuk kembali berangkat ke sekolah.

Meskipun demikian, ada beberapa siswa yang pada akhirnya putus sekolah setelah beberapa kali mengikuti pembelajaran tatap muka. Ketika saya mencoba bertanya kepada siswa yang bersangkutan, mengapa tidak mau melanjutkan sekolah? Dia menjawab dengan polos jika lebih senang merawat ayam-ayamnya dari pada membuka dan membaca buku pelajaran. Pada intinya dia tidak mau repot lagi untuk berpikir. Apalagi dia juga sudah mampu menghasilkan uang dari berjualan ayam-ayamnya. Tentu membujuk siswa tersebut untuk melanjutkan sekolah lagi bukanlah perkara yang mudah.

Sebenarnya, banyak sekali lagi kasus yang saat ini secara bertahap tengah dicari sebuah solusi untuk mengembalikan lagi siswa kepada kebiasaan sekolah. Saat ini sekolah memang fokus untuk proses pembentukan karakter siswa dan masih belum sepenuhnya berbicara tentang pencapaian kompetensi pembelajaran siswa.

Usaha-usaha sekolah yang saat ini telah dilakukan secara bertahap untuk memulihkan kembali jiwa sekolah pada siswa, pada akhirnya harus kembali terhambat karena kembalinya ke sistem PJJ. Sehingga ketika nanti akan dilakukan pembelajaran tatap muka lagi, nampaknya semuanya harus dimulai dari angka nol lagi. Jika hal demikian terus terjadi, maka usaha untuk mengejar ketertinggalan pendidikan Indonesia dari negara lain akan mengalami kesulitan.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image