Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image HeryWibowo

Implementasi 3 Pilar Pendidikan dalam Dilema PJJ dan PTM

Lomba | Sunday, 27 Feb 2022, 18:01 WIB

Akhir tahun 2021 dan awal tahun 2022 diwarnai oleh kebingungan serta dilema pelaksanaan proses belajar mengajar, khususnya dari tingkat Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama hingga Sekolah Menengah Umum/Kejuruan. Hal ini disebabkan karena tingkat ataupun angka pandemi yang sempat melonjak kembali dengan varian baru yaitu omricon. Maka, ragam kebijakan seakan maju mundur dan tumpeng tindih. Sebagian sekolah ada yang tetap menjalankan proses belajar mengajar di sekolah dengan implementasi protokol kesehatan yang ketat, ada yang mengembalikan kembali siswa untuk belajar di rumah (study from home), serta ada pula yang memberikan pilihan bebas (luring/during)

Inilah sedikit gambaran dari era yang sering disebut sebagai VUCA, atau Volatility, Uncertainty, Complexity & Ambiguity. Atau secara umum inilah era dimana dunia semakin menghadapi tingkat ketidakstabilan, ketidakpastian, kompleksitas masalah dan ambiguitas situasi yang semakin tinggi. Inilah era dimana tantangan penyelenggaraan pendidikan menjadi semakin perlu dihadapi dengan skema dan pola yang berbeda dari sebelumnya.

Para pemangku kepentingan, harus semakin memeras saripati atau inti substansi dari bahan ajar yang akan diantarkan (subject to be delivered). Sehingga diharapkan tetap dapat berselancar diantara gelombang ketidakstabilan, ketidakstabilan, kompleksitas dan ambiguitas tersebut. Tentunya, ada sejumlah hal yang perlu dikorbankan/ditinggalkan demi meringankan papan selancarnya. Disamping tentunya ada substansi inti yang wajib dibawa untuk memastikan bahwa peserta didik tetap mendapatkan layanan terbaik tanpa terlalu banyak mengalami learning loss.

Maknanya, pada era ketidakpastian ini, pilihan untuk jarak jauh ataupun tatap muka, sudah hampir tidak dapat dielakkan. Maka, mengingat kemajuan teknologi informasi yang semakin massif dan wilayah jelajah internet yang semakin luas, seyogianya kendala metode penyampaian (delivery method) tidak harus menjadi hambatan utama (main barrier). Justru isu priortasnya ada pilar utama dari pendidikan itu sendiri sebagai substansi utama proses belajar mengajar, khususnya di era revolusi industri 4.0 dan masyarakat 5.0.

Berikut sejumlah pilar utama, yang kiranya dapat dipertimbangkan sebagai prioritas utama dalam proses belajar mengajar, baik yang diimplementasikan secara jarak jauh (PJJ/daring) ataupun Pertemuan Tatap Muka

Pilar pertama berkaitan dengan filosofi pendidikan itu sendiri.

Pendidikan dalam bahasa Arab merujuk kepada kata “ta’lim”,”tarbiyah”, dan “ta’dib”,”tadris”,”irsyad”, dan “indzar”. Semua istilah ini telah dikenal sejak masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Istilah yang paling sering dipakai untuk kata “pendidikan” adalah “tarbiyah”. Perkataan “tarbiyah” berasal dari bahasa Arab yang diambil dari kata kerja (fi’il) berikut (Antonio, 2007):

a. Rahba-yarubbu yang berarti tumbuh, bertambah, berkembang

b. Arha-yarha yang berarti tumbuh menjadi lebih besar, menjadi lebih dewasa

c. Rabba-yurabbi yang berarti mengatur, mengurus, mendidik

Dengan demikian, konsep tarbiyyah merupakan proses mendidik manusia dengan tujuan untuk memperbaiki manusia ke arah yang lebih sempurna. Termasuk dalam konsep ini tarbiyyah dalam bentuk fisik, spiritual, material dan intelektual (Antonio, 2007). Sehingga dapat dimaknai bahwa pendidikan atau tarbiyah adalah suatu proses menciptakan perubahan positif yang bertahap dan terus menerus, baik dalam hal ilmu maupun amal perbuatan, dalam semua aspek kehidupan manusia, sehingga manfaatnya dapat dipetik oleh yang bersangkutan maupun oleh orang lain, baik di dunia maupun di akhirat (Asifudin, 2012)

Pilar kedua berkaitan dengan isu compatibility/link & match dari proses pembelajaran, yaitu bahwa kegiatan ini ditujukan untuk membangun generasi penerus yang mampu memenuhi tuntutan era disrupsi/revolusi industry 4.0. Perubahan jaman yang begitu cepat menuntut penyesuaian kompetensi dari angkatan kerja/sumber daya manusia. Tuntutan ini, kurang lebih juga berasal dari isu keberlangsungan hidup (survival) dari dunia industri. Seperti diketahui kerasnya persaingan dan tingginya ketidakpastian banyak membuat pemain/perusahaan besar tumbang. Sehingga hanya agile company yang dapat bertahan, dan jelas bahwa agile organisation ini memerlukan agile employee. Maka institusi pendidikan, adalah garda terdepan dalam penyediaan sumber daya manusia berkompeten tinggi ini.

Sehingga sejatinya, pendidikan hari ini, adalah upaya membangun soft competence, selain hard competence yang dibangun berbasis bidang ilmu. Secara sederhana, (Soeharso & Tripomo, 2020) kompetensi adalah karakteristik seseorang yang berkaitan kinerja efektif atau unggul dalam situasi pekerjaan tertentu. Sehingga, walaupun proses pembelajaran harus diimplementasikan bergantian antara luring ataupun daring, hal ini tidak akan menjadi masalah. Tentunya sepanjang proses penyampainnya mampu membangun bukan hanya hard competence (basis bidang ilmu), namun juga soft competence (yang justru sering dijadikan indikator utama keberhasilan kerja).

Pilar ketiga berkaitan dengan bagaimana bahan pelajaran tersebut disampaikan. Skema Pembelajaran dan Pengajaran Kontekstual (Contextual Teaching and Learning) dapat menjadi pilihan prioritas (Johnson, 2009). Intinya, baik pembelajaran dilakukan secara jarak jauh ataupun tatap muka, perlu memikirkan sistem yang menyeluruh, yaitu bagaimana membangun pendekatan pendidikan yang mendorong siswa memahami konteks dari subjek yang sedang dipelajari. Proses pembelajaran dibangun menjadi sebuah proses pendidikan yang bertujuan menolong para siswa melihat makna di dalam materi akademik yagn mereka pelajari dengan cara menghubungkan subjek-subjek akademik dengan konteks dalam kehidupan keseharian mereka, yaitu dengan konteks keadaan pribadi, sosial dan budaya mereka. Untuk itu, perlu diperhatikan (setidaknya) delapan komponen penting berikut ini (Johnson, 2009): (a) Membuat keterkaitan-keterkaitan yang bermakna, (b) Melakukan pekerjaan yang berarti, (c) Melakukan pembelajaran yang diatur sendiri, (d) Bekerja sama, (e) Berpikir kritis dan kreatif, (f) Membantu individu untuk tumbuh dan berkembang, (g) Mencapai standar yang tinggi dan (h) Menggunakan penilaian autentik.

Sehingga, baik PTM atau PJJ, para pendidik wajib menjadi agile teacher untuk terus mampu berselancar dalam ketidakpastian kondisi ombak, namun tetap berpegang teguh pada visi pendidikan sebagai kompas tujuan.

Bibliography

Antonio, M. S. (2007). The Super Leader Super Manager. Jakarta: Tazkia Publishing.

Asifudin, A. F. (2012). Pendidikan Islam, Basis Pembangunan Umat. Surakarta: Penerbit Naashirusunnah.

Johnson, E. B. (2009). Contextual Teaching & Learning. Bandung: Penerbit Mizan Learning Center.

Soeharso, S. Y., & Tripomo, T. (2020). Soft Competencies Industry 4.0. Yogyakarta: Penerbit Lautan Pustaka.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image