Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Dianty Rosirda

Meski Covid Naik Lagi, PTM Merupakan Pilihan Sulit Terbaik

Lomba | Monday, 28 Feb 2022, 13:37 WIB
Sumber: Republika.co.id

Pemerintah memulai pembelajaran jarak jauh (PJJ) atau remote learning sejak tanggal 16 Maret 2020. Saat kurva penyebaran COVID-19 melandai di akhir tahun 2021, pemerintah memutuskan untuk mulai melaksanakan pertemuan tatap muka terbatas (PTMT) meskipun masih terdapat pro dan kontra.

Secara pribadi, saya mendukung dilaksanakannya PTMT di sekolah anak saya. Bagi saya, sekolah sudah cukup baik mempersiapkannya. Ada satuan tugas yang mengatur dan bertanggung jawab, kesiapan guru dan tenaga kependidikan, serta sarana dan prasarana penunjang yang memadai. Ditambah lagi, semua bertanggung jawab agar protokol kesehatan dapat dilaksanakan dengan baik. Saat PTMT, anak saya begitu bersemangat. Selain karena akan bertemu guru dan teman-temannya, ia juga dapat bepergian keluar rumah.

Namun, meningkatnya kembali penyebaran COVID-19 pada gelombang ketiga yang disebabkan oleh varian Omicron, menyebabkan sekolah mengambil keputusan untuk kembali melaksanakan PJJ. Memang, sih, keputusan itu diambil untuk keamanan dan kesehatan semua pihak. Secara pribadi, saya sangat mendukung. Lebih aman bila sekolah dilaksanakan secara PJJ .

Dua tahun melaksanakan PJJ telah memberikan pelajaran yang cukup bagi saya dan keluarga. Banyak hal positif yang dapat kami ambil hikmahnya. Kelekatan dengan anak-anak merupakan hikmah paling penting yang saya rasakan. Saya merasa “terhormat” menjadi guru di rumah, mengajari sendiri anak-anak meski harus berjibaku dengan pekerjaan yang tak ada habisnya. Saya menyebutnya seribu tangan ibu.

Anak-anak pun demikian. Meski mereka suka bersekolah, tetapi tidak keberatan melaksanakan pembelajaran secara daring. Mereka mampu bertoleransi dengan keterbatasan sinyal dan perangkat yang tersedia. Tentu tidak semua memiliki pengalaman dan pendapat yang sama. Masing-masing memiliki kelebihan dan keterbatasan serta kesulitan sendiri.

Secara umum, sebaiknya pertemuan tatap muka (PTM) kembali berjalan. Saya tidak bisa hanya memandang dari satu sisi. Banyak hal positif yang dapat menjadi bahan pembelajaran saat anak-anak bersekolah. Hal yang tidak mereka peroleh saat PJJ, seperti bersosialisasi dengan guru dan teman-teman, berorganisasi, berkompetisi secara langsung, dan lainnya. Apalagi bagi mereka yang kurang bergerak akibat lebih banyak berdiam pada satu posisi saat PJJ.

Selama PJJ, timbul beragam permasalahan baik bagi siswa, orang tua, maupun guru dan tenaga kependidikan lainnya. Hal itu menjadikan kompleksnya penentu keberhasilan proses pendidikan selama dua puluh tiga bulan pandemi terjadi. Bahkan, Unicef pun merekomendasikan agar sekolah kembali dibuka. Mereka berupaya untuk mencegah terjadinya bencana pembelajaran akibat banyaknya anak yang putus sekolah, tidak dapat mengakses pendidikan, atau mengalami gangguan belajar. Selain itu, munculnya masalah kesehatan mental pada anak dan remaja turut mendukung pentingnya PTM kembali dilaksanakan.

Memang, sih, kasus-kasus pada anak dan remaja sudah terjadi sejak sebelum pandemi. Namun, biasanya sekolah dapat mengambil peran untuk mencegah atau meminimalisir terjadinya kasus-kasus tersebut. Sekolah memiliki guru bimbingan dan konseling yang dapat mendampingi anak-anak yang memiliki masalah. Bahkan, ketidakhadiran anak di sekolah dapat mendeteksi permasalahan yang mereka hadapi dan ikut memikirkan jalan keluarnya.

Selain itu, saya merasa bahwa sekolah menjadi tempat bagi sebagian besar anak untuk menempa hidupnya menjadi lebih terarah dan disiplin. Selama di sekolah, ada aturan dan tata tertib yang harus mereka taati. Ada pula guru yang dapat menjadi teladan dan mengajak anak-anak agar memiliki adab yang baik.

Berbeda dengan pelaksanaan PJJ selama ini. Saya melihat anak-anak begitu bebas beraktivitas. Bukan aktivitas positif, tetapi nongkrong yang tidak jelas tujuannya. Apalagi, mereka nongkrong tanpa peduli dengan protokol kesehatan.

Ya, di sekitar tempat tinggal saya, sebagian besar masyarakat memang tidak peduli dengan protokol kesehatan. Hal itu berlangsung sejak awal pandemi. Bukan karena mereka tidak paham atau berpendidikan rendah, tetapi adanya keyakinan bahwa virus Corona sama dengan penyakit lainnya. Protokol kesehatan hanya ditaati jika terpaksa.

Anak-anak dan remaja yang nongkrong itu tampak hanya sekadar menghabiskan waktu. Bila alasannya karena tak memiliki perangkat untuk belajar secara daring, nyatanya mereka rata-rata memegang gawai. Kalau alasannya tak memiliki kuota, sejak awal PJJ, pemerintah kota telah menyediakan fasilitas internet di setiap RW. Meski sinyal hanya kuat di sekitar kantor atau rumah ketua RW, sinyal bukan lagi kendala selama ada kemauan. Apalagi fasilitas tersebut hampir setiap malam mereka gunakan untuk nge-game, nonton, atau membuat status dan konten di media sosial.

Hal lain yang membuat saya berharap PTM dilaksanakan adalah adanya ketimpangan kebijakan. Di satu sisi, pemerintah membatasi pergerakan masyarakat melalui kebijakan PJJ dan aturan di rumah ibadah. Namun di sisi lain, pemerintah membuka akses untuk wisata sebesar-besarnya.

Bagi saya, anak-anak akan lebih aman melaksanakan PTM yang dibarengi dengan protokol kesehatan ketat dibandingkan membiarkan mereka bebas bepergian, nongkrong bareng, nonton, atau memanfaatkan media sosial secara berlebihan. Adanya konten-konten yang nyeleneh bahkan hingga mencelakakan jiwa, adalah akibat besarnya waktu luang yang mereka miliki. Selain tentu saja adanya kebutuhan mereka untuk menunjukkan eksistensi yang malah memperlihatkan menurunnya kesehatan mental.

Maka, meski bersekolah pun memiliki banyak kekurangan dan keterbatasan, bagi saya PTM merupakan pilihan sulit terbaik saat ini. Tentu saja, hal ini pun sangat bergantung pada kondisi di setiap daerah. Kesehatan anak tetap yang utama.

#Lombanulis

#NasibPTM

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image