Selasa 01 Mar 2022 15:32 WIB

AS dan 10 Negara Lain Mengutuk Peluncuran Rudal Korut

Korea Utara telah meluncurkan beberapa rudal balistik tahun ini.

Rep: Dwina agustin/ Red: Friska Yolandha
Kolase uji coba rudal yang dilakukan Korea Utara di tempat rahasia, Kamis (27/1/2022).
Foto: Korean Central News Agency/Korea News Service
Kolase uji coba rudal yang dilakukan Korea Utara di tempat rahasia, Kamis (27/1/2022).

REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Amerika Serikat (AS) dan 10 negara lainnya mengutuk peluncuran rudal balistik terbaru Korea Utara. Tindakan itu dinilai sebagai pelanggaran hukum dan tidak stabil.

Dalam pernyataan bersama, 11 negara mendesak 193 negara anggota Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk menerapkan semua resolusi Dewan Keamanan (DK). Resolusi ini mewajibkan Korea Utara untuk meninggalkan senjata pemusnah massal dan program rudal balistiknya serta menerapkan semua sanksi PBB.

Baca Juga

Wakil duta besar AS Jeffrey DeLaurentis membacakan pernyataan yang dikelilingi oleh diplomat dari enam negara DK lainnya, Albania, Brasil, Prancis, Irlandia, Norwegia, dan Inggris. Negara lain yang ikut serta adalah Australia, Jepang, Selandia Baru, dan Korea Selatan.

Tetangga Korea Utara mendeteksi peluncuran rudal yang terbang 300 kilometer  dan mencapai ketinggian 600 kilometer sebelum mendarat di lepas pantai timur Korea Utara pada Ahad (27/2/2022). Media pemerintah Korea Utara, tanpa mengkonfirmasi peluncuran, mengatakan negara itu baru-baru ini menguji kamera untuk satelit pengintai yang dapat memotret Bumi dari luar angkasa.

Pernyataan bersama dari 11 anggota PBB mengatakan Korea Utara telah meluncurkan beberapa rudal balistik tahun ini yang melanggar resolusi PBB. "Kami tetap berkomitmen untuk mengupayakan diplomasi yang serius dan berkelanjutan dan mendesak Pyongyang untuk menanggapi secara positif penjangkauan dari Amerika Serikat dan lainnya,” kata pernyataan itu.

Negara-negara itu mendesak Korea Utara untuk memilih jalur diplomasi untuk meredakan ketegangan regional dan mempromosikan perdamaian dan keamanan internasional. Mereka menegaskan kesiapan untuk berdialog dan menekankan tidak akan goyah dalam mengejar perdamaian dan stabilitas.

DK awalnya memberlakukan sanksi terhadap Korea Utara setelah uji coba nuklir pertamanya pada 2006 dan memperketatnya setelah uji coba nuklir lebih lanjut serta peluncuran dari program rudal balistiknya yang semakin canggih. Mantan duta besar AS untuk PBB Nikki Haley mengatakan pada 2018 bahwa sanksi telah memotong semua ekspor Korea Utara dan 90 persen dari perdagangannya. Tindakan itu membubarkan kumpulan pekerja yang dikirim Korea Utara ke luar negeri untuk mendapatkan mata uang keras.

Pada November, sekutu terpenting Korea Utara, Cina dan Rusia menghidupkan kembali upaya pada 2019 dalam meringankan sanksi terhadap Korea Utara. Mereka mengedarkan rancangan resolusi kepada anggota DK yang akan mengakhiri sejumlah sanksi terhadap Korea Utara.

Beberapa poin yang diberikan termasuk larangan ekspor makanan laut dan tekstil, pembatasan impor produk minyak olahan, serta larangan warganya bekerja di luar negeri dan mengirim pulang penghasilan mereka. Resolusi ini menekankan kesulitan ekonomi di Utara dan meminta sanksi dan lainnya harus dicabut dengan maksud meningkatkan mata pencaharian penduduk sipil. Rancangan resolusi Rusia-China untuk mencabut beberapa sanksi utama tidak pernah dilakukan pemungutan suara karena tentangan dari banyak anggota dewan.

DK telah berulang kali menyatakan akan memodifikasi, menangguhkan, atau mencabut sanksi jika Korea Utara memenuhi tuntutannya. Hanya saja  Pyongyang telah mengabaikannya dan memajukan program nuklir dan rudal balistiknya. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement