Rabu 02 Mar 2022 08:49 WIB

Berpikir Ulang untuk Melawan Rusia

Ada sejumlah alasan negara-negara di NATO berpikir ulang untuk melawan Rusia.

Red: Joko Sadewo
 Ukraiina masih berjuang sendiri melawan tentara Rusia. Tidak ada pasukan Amerika dan sekutunya yang membantu Ukraina. Foto tank Rusia (ilustrasi)
Foto: AP/Russian Defense Ministry Press S
Ukraiina masih berjuang sendiri melawan tentara Rusia. Tidak ada pasukan Amerika dan sekutunya yang membantu Ukraina. Foto tank Rusia (ilustrasi)

Oleh : Christianingsih, Jurnalis Republika.co.id

REPUBLIKA.CO.ID, Rusia melancarkan serangan militer terhadap Ukraina pada Kamis (24/2/2022). Lewat Luhansk dan Donetsk, yang kedaulatannya baru saja diakui Presiden Vladimir Putin, pasukan Rusia merangsek ke Ukraina.

Saat tulisan ini dibuat, sudah hampir sepekan serangan berlangsung. Namun pasukan Ukraina masih terlihat berjuang sendirian. Belum ada tanda-tanda negara NATO dan pentolannya, Amerika Serikat (AS), mengirimkan pasukannya di medan tempur Ukraina. Padahal jika dirunut ke belakang, merekalah 'kompor' yang telah memanas-manasi Ukraina hingga berani menantang Rusia.

Cengkeraman Rusia diperkuat dengan predikatnya sebagai negara terbesar di dunia Rusia. Total wilayahnya mencapai 11 persen daratan dunia alias 17.125.200 km persegi dan berbatasan langsung dengan 15 negara. Kalau Rusia ngambek dengan memblokir ruang udara dan lautnya, hal itu akan memengaruhi lalu lintas dan jalur perdagangan dunia. Ada sejumlah pertimbangan penting mengapa negara-negara di dunia harus berpikir ulang sebelum melawan Rusia.

Ketergantungan Gas Alam

Nord Stream Gas Pipeline (NSGP) adalah sistem jaringan pipa gas alam lepas pantai yang membentang di bawah Laut Baltik dari Rusia ke Jerman. Setiap tahunnya, Eropa membutuhkan 100 miliar meter kubik gas alam. Eropa bergantung pada Rusia untuk sekitar 40 persen gas alamnya.
 
Suplai gas alam untuk Eropa dialirkan lewat Nord Stream 1, yang langsung menuju Jerman dan melalui Ukraina. Pasar gas Eropa dihubungkan oleh jaringan pipa. Sebagian besar negara telah mengurangi ketergantungan pada gas Rusia selama bertahun-tahun dan ada juga lebih banyak rute pasokan yang melewati Ukraina. 
 
 
Reuters melaporkan tahun lalu Ukraina merupakan koridor transit sebagian besar untuk gas yang masuk ke Slovakia, yang kemudian dilanjutkan ke Austria dan Italia. Sekarang Rusia telah menginvasi Ukraina. Geger Rusia versus Ukraina ini dapat berdampak pada aliran melalui pipa seperti Yamal-Eropa, Nord Stream 1, dan TurkStream.
 
Kendati sanksi telah dijatuhkan terhadap Nord Stream 2, Komisi Eropa mengatakan pasokan gas Eropa saat ini tidak akan terpengaruh karena pipa ini belum beroperasi. Kemungkinan lain adalah Rusia menangguhkan penjualan gas ke Eropa sebagai pembalasan atas sanksi, atau konflik militer menyebabkan kerusakan pada salah satu pipa yang melintasi Ukraina membawa gas ke Eropa. Demikian diungkapkan analis di Institut Oxford untuk Studi Energi.
 
Beberapa negara memiliki pilihan lain. Misalnya, Jerman, konsumen terbesar gas Rusia, juga dapat mengimpor dari Norwegia, Belanda, Inggris, dan Denmark melalui jaringan pipa. Akan tetapi Norwegia, pemasok terbesar kedua di Eropa, mengirimkan gas alam dengan kapasitas maksimum.
 
Perdana Menteri Norwegia sudah menegaskan negaranya tidak dapat menggantikan pasokan yang hilang dari Rusia. Pendek kata, banyak negara di Eropa termasuk negara-negara anggota NATO berkepentingan terhadap gas alam dari Rusia.
 
Isu krisis energi di Eropa sempat mencuatkan nama Qatar sebagai alternatif pemasok gas alam. Qatar adalah salah satu produsen gas terbesar di dunia dan pengekspor LNG terbesar kedua setelah Australia.
 
Qatar adalah sekutu barat yang kuat di Timur Tengah dan telah memasok LNG ke Inggris dan negara-negara Eropa lainnya selama bertahun-tahun yang dikirim dengan sangat dingin melalui kapal tanker. Selain Qatar, negara Timur Tengah lain yang mungkin dapat membantu adalah Libya mengingat produksi gasnya yang kuat.
 
 
Pencapaian Hipersonik Rusia 
 
Pengeluaran militer Moskow jauh lebih rendah daripada Washington. Menurut data Bank Dunia, Rusia menyalurkan 62 miliar dolar AS untuk pengeluaran militer pada 2020 versus 778 miliar dolar AS yang dihabiskan oleh Amerika Serikat.
 
Walaupun demikian, militer Rusia dan industri senjatanya termasuk yang paling unggul di dunia. Teranyar pada akhir 2021 lalu, Putin mengklaim negaranya merupakan pemimpin global dalam pengembangan rudal hipersonik. Saat negara-negara lain mengembangkan senjata serupa, Moskow kemungkinan besar telah membangun teknologi untuk menangkal atau melawannya.
 
Putin mengungkapkan Rusia dan Amerika Serikat (AS) memiliki persamaan perkiraan dalam hal jumlah hulu ledak serta kapal induk. Namun dalam perkembangan rudal hipersonik, Rusia disebut melangkah lebih jauh ketimbang AS. Rudal hipersonik 3M22 Zircon menjadi salah satu senjata andalan Rusia saat ini.
 
Faktanya memang AS telah gagal dalam uji coba rudal hipersonik. Uji coba prototipe rudal hipersonik AGM-183A Air-Launched Rapid Response Weapon (ARRW) oleh Angkatan Udara AS mengalami kegagalan untuk ketiga kalinya. Prototipe senjata itu tak mau lepas dari sayap pesawat pengebom B-52H.
 
 
Untuk diketahui, senjata hipersonik bergerak di atmosfer atas dengan kecepatan lebih dari lima kali kecepatan suara atau sekitar 6.200 kilometer per jam. Memiliki kemampuan manuver yang bersama-sama dengan kecepatan ekstrem membuat senjata ini hampir tahan terhadap sebagian besar sistem pertahanan udara.
 
Senjata hipersonik pun dapat diluncurkan dari permukaan, dari kapal selam, atau dengan pesawat terbang. Sering kali senjata ini memiliki jangkauan yang sangat jauh. Kontraktor pertahanan seperti Lockheed Martin Corp, Northrop Grumman Corp, Raytheon Technologies Corp, dan lainnya juga telah menggembar-gemborkan program senjata hipersonik mereka kepada investor. Senjata hipersonik diprediksi menggeser tren perlombaan senjata di dunia.
 
Presiden Joe Biden sebelumnya juga pernah menegaskan tak akan mengirim pasukan AS ke Ukraina. Keputusan itu sejalan dengan komitmen Biden tatkala menarik pasukan AS dari Afghanistan pada Agustus tahun lalu. Presiden dari Partai Demokrat ini berjanji mengakhiri era operasi militer besar-besaran untuk menata ulang negara lain. Penarikan pasukan AS dari Afghanistan telah menandai era baru kebijakan luar negeri Negeri Paman Sam.
 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement