Kamis 03 Mar 2022 11:09 WIB

Moody’s: Pengelolaan Kredit Jadi Tantangan Bank Digital

Sebagian besar bank digital belum kembangkan portofolio pinjaman secara memadai.

Rep: Novita Intan/ Red: Fuji Pratiwi
Bank digital (ilustrasi). Moody’s Investor Service mengungkapkan model bisnis dalam siklus kredit menjadi tantangan bagi bank-bank digital di Asia Tenggara.
Foto: Republika/Idealisa masyrafina
Bank digital (ilustrasi). Moody’s Investor Service mengungkapkan model bisnis dalam siklus kredit menjadi tantangan bagi bank-bank digital di Asia Tenggara.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-- Perusahaan jasa analisis keuangan dan analisisi atas lembaga usaha dan lembaga pemerintah, Moody’s Investor Service, mengungkapkan model bisnis dalam siklus kredit menjadi tantangan bagi bank-bank digital di Asia Tenggara. Dalam laporannya yang berjudul Dampak Bank Digital Pada Inovasi dan Inklusi, Moody’s menyebutkan, terlepas dari ekspansi kuat ke segmen waralaba, perkembangan bank digital di Asia Tenggara masih tahap awal. 

"Keuangan beberapa bank digital sejauh ini menunjukkan mereka lebih berhasil menarik simpanan daripada pinjaman penjaminan," tulis Moody’s dalam laporannya, Kamis (3/3/2022).

Baca Juga

Meski demikian, bank digital telah cukup berhasil dalam merangkul masyarakat yang belum terlayani. Adapun keberhasilan bank digital akan tergantung pada kemampuan mereka untuk menanggung orang-orang yang tidak memiliki rekening bank dan tidak terlayani sehingga lebih menguntungkan.

Moody’s menambahkan, meski telah meningkatkan simpanan dengan menawarkan manajemen akun yang mudah digunakan dan suku bunga simpanan yang kompetitif, sebagian besar bank digital belum mengembangkan portofolio pinjaman mereka secara memadai untuk menghasilkan keuntungan. Dalam laporannya, Moody’s memaparkan BCA Digital dan Sea Bank merupakan dua bank yang belum memiliki fitur pinjaman aplikasinya. 

Keduanya diluncurkan pada 2021. Sementara itu Bank Neo Commerce (BBYB) dan Bank Jago (ARTO) memilih bekerja sama dengan institusi dan platform pinjaman. Moody’s juga menyebut meski bank digital lebih efisien. Namun kelangsungan hidup masih belum pasti dan sangat bergantung pada kemampuan manajemen aset orang-orang yang tidak memiliki rekening bank dan kurang terlayani, segmen yang secara tradisional berisiko.

Adapun kekhawatiran lain merupakan potensi volatilitas dalam dukungan keuangan dari perusahaan teknologi. Perusahaan teknologi besar dapat memberikan kemampuan teknis yang kuat dapat afiliasi bank digital mereka. Sementara itu, kemampuan mereka untuk mempertahankan dukungan keuangan bagi bank digital tidak pasti.

"Penurunan harga saham Grab, Sea dan Bukalapak baru-baru ini menyoroti bagaimana sentimen investor dapat merusak prospek pendanaan perusahaan-perusahaan ini," tulis Moody’s.

Moody’s menyebut menjamurnya bank digital di Asia Tenggara mendorong pertumbuhan sistem perbankan kawasan dengan meningkatkan akses masyarakat terhadap layanan perbankan. Adapun potensi keuntungannya besar karena inklusi keuangan masih sederhana sebagian besar wilayah. 

"Sebagian besar penduduk wilayah tersebut tidak memiliki rekening bank dan lebih banyak lagi yang tidak memiliki kartu kredit," tulis Moody’s.

Kesenjangan pembiayaan bagi usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) juga masih cukup besar di kawasan ini, khususnya di Indonesia dan Filipina. Pada 2017, World Bank menyampaikan kesenjangan pembiayaan bagi UMKM di Indonesia 19 persen dari produk domestik bruto (PDB), di Filipina angkanya mencapai 75 persen dari PDB.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement