Senin 07 Mar 2022 09:26 WIB

De-Sukarnoisasi Orde Baru, De-Suhartoisasi Orde Jaman Now?

Reduksi peran kepala negara terdahulu terulang kembali.

Rep: Fitriyan Zamzami/ Red: Partner
.
.

Penetapan 1 Maret sebagai Hari Kedaulatan Nasional oleh Presiden Joko Widodo beberapa waktu lalu ternyata menimbulkan pahit di lidah sebagian pihak. Naskah akademik yang jadi sandaran penetapan itu, belakangan dilansir oleh bagian humas Pemprov DI Yogyakarta, dituding menghilangkan peran Suharto dalam pertempuran pada 1 Maret 1949, sebuah pertempuran yang menegaskan keberadaan republik pada dunia.

Suharto yang kala itu berpangkat letnan kolonel adalah komandan Lingkar Perlawanan (Wehrkreise) III. Sejarah mencatat, ia setidaknya berperan sebagai pimpinan lapangan Serangan Umum 1 Maret tersebut. Meski Rezim Orde Baru kemudian mengangkat perannya sebagai pemrakarsa serangan yang sedianya merupakan peran Sri Sultan Hamengkobuwono IX dan Letkol dr Wiliater Hutagalung di pihak militer.

Aksi teaterikal oleh komunitas Djokjakarta 1945 saat memperingati Serangan Umum 1 Maret 1949 di Benteng Vredeburg, Yogyakarta, Selasa (3/3/2022). (Wihdan Hidayat/Republika)
Aksi teaterikal oleh komunitas Djokjakarta 1945 saat memperingati Serangan Umum 1 Maret 1949 di Benteng Vredeburg, Yogyakarta, Selasa (3/3/2022). (Wihdan Hidayat/Republika)

Namun yang namanya sejarah, pembaca yang budiman, kerap disebut sebagai serangkaian perulangan saja. Penghilangan peran Suharto dalam Serangan Umum 1 Maret yang ditudingkan pada pemerintahan Joko Widodo, sedianya semacam cermin berskala kecil dari yang dilakukan rezim Orde Baru terhadap Sukarno.

Indonesianis lulusan Cornell University di AS, Karen Brooks dalam artikelnya "The Rustle Ghosts: Bung Karno in the New Order" mencatat bahwa mulanya de-Sukarnoisasi ini dilakukan malu-malu oleh pemerintahan Suharto. Salah satu tindakan pertama yang menggambarkan kebijakan Orde Baru tersebut adalah penolakan pemakaman Sukaro di Batu Tulis, Bogor saat ia wafat pada 1970. Brooks berargumen, Orde Baru khawatir dengan keberadaan makam yang bakal dikultuskan oleh pemuja Sukarno itu terlalu dekat dengan pusat kekuasaan di Jakarta. Sukarno kemudian dimakamkan di Blitar, Jawa Timur.

Pada 1978, pemerintah kemudian melakukan pemugaran makam tersebut yang menimbulkan sukacita di kalangan simpatisannya yang kebanyakan kemudian bergabung dengan Partai Demokrasi Indonesia. Namun, pada tahun yang sama, justru salah satu tindakan de-Sukarnoisasi paling signifikan dilakukan pemerintah.

Presiden Joko Widodo berziarah ke makam Bung Karno di sela kunjungan kerja di Blitar, Jawa Timur, Kamis (3/1/2019). (Wihdan Hidayat/Republika)
Presiden Joko Widodo berziarah ke makam Bung Karno di sela kunjungan kerja di Blitar, Jawa Timur, Kamis (3/1/2019). (Wihdan Hidayat/Republika)

Tahun itu, Kepala Pusat Sejarah ABRI Nugroho Notosusanto, menerbitkan buku Naskah Proklamasi yang Otentik dan Rumusan Pancasila yang Otentik. Mantan pemimpin redaksi Republika, Nasihin Masa mencatat bahwa rencana revisi sejarah itu sudah dimulai sejak 1971 merujuk kata pengantar dalam buku tersebut.

salah satu catatan yang paling signifikan dalam buku itu, Nugroho Notosusanto menetapkan bahwa Pancasila lahir pada 18 Agustus 1945, "Bersamaan dengan Undang-Undang Dasar 1945 yang mengandungnya, yakni pada tanggal 18 Agustus 1945”.

Hal ini merombak sejarah versi terdahulu yang mengemuka di Orde Lama bahwa 1 Juni 1945, saat Sukarno menyampaikan pidatonya soal usulan dasar negara, adalah hari lahir Pancasila. Nugroho Notosusanto juga menyatakan bahwa perumus Pancasila pertama adalah Mohammad Yamin pada pidatonya tertanggal 29 Mei 1945.

Dalam buku itu, Nugroho Notosusanto menjelaskan dengan gamblang tujuannya untuk memisahkan ideologi Pancasila dari kultus individu. “Kiranya tidak perlu lahirnya Pancasila itu kita kaitkan kepada seorang tokoh secara mutlak,” katanya. Berpuluh tahun setelah buku itu terbit, Presiden Joko Widodo mengembalikan perayaan hari lahir Pancasila pada 1 Juni sekaligus menjadikannya hari libur nasional.

Selain dua contoh di atas, de-Sukarnoisasi juga dilakukan rezim Orde Baru dengan mengubah nama ibu kota provinsi Irian Jaya dari Soaekarnopura menjadi Jayapura. Stadion nasional Gelora Bung Karno diubah menjadi Stadion Utama Senayan. Puncak Soekarno di pegunungan tengah Papua menjadi Puncak Jaya.

Upaya-upaya merehabilitasi nama Sukarno bukannya tak ada pada masa Orde Baru. Selain pemugaran makam pada 1978 tersebut, pada 1985 bandara nasional di Tangerang juga diberi nama Soekarno-Hatta. Keduanya juga diresmikan sebagai proklamator pada masa-masa tersebut.

Uniknya, pasang surut de-Sukarnoisasi ini kerap kali berkelindan dengan kondisi politik. Karen Brooks mencatat, kala PDI terkesan bakal jadi ancaman bagi kekuasaan Golkar, kerap muncul kembali tudingan keterlibatan Bung Karno dengan G30S dan komunisme.

Pada akhirnya, seperti diingatkan mantan ketua ICMI sekaligus mantan ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie, de-Sukarnoisasi selama tiga dasawarsa pada masa Orde Baru tersebut tak perlulah diulangi kembali.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement