Sabtu 12 Mar 2022 07:50 WIB

Cina Tuduh Negara Barat Bertanggungjawab atas Invasi Ukraina

Beijing menilai kegagalan NATO dan Amerika Serikat menanggalkan “mentalitas Perang Dingin,” menciptakan kegentingan baru yang mengarah pada perang di Ukraina. Benarkah demikian? Analisa Rodion Ebbighausen

Rep: deutsche welle/ Red: deutsche welle
Rusia Serang Ukraina
Rusia Serang Ukraina

Menteri Luar Negeri Cina, Wang Yi pada hari Senin (7/3) menegaskan, betapa persahabatan dengan Rusia tetap "kokoh serupa batu karang,” di tengah hujan sanksi negara barat akibat invasi terhadap Ukraina.

Menurutnya, kedua negara memadu "hubungan bilateral paling penting di dunia,” karena "membantu mengokohkan stabilitas, pertumbuhan dan perdamaian dunia”. Menlu Cina menegaskan hal itu, sepekan setelah menolak resolusi yang mengecam agresi Rusia dalam Sidang Umum PBB (2/3).

Wang Yi meyakini eskalasi antara Rusia dan Ukraina disebabkan oleh "mentalitas Perang Dingin” milik Amerika Serikat dan NATO, yang memaksa Cina dan kini Rusia untuk mempertahankan diri.

Istilah tersebut belakangan rajin digunakan pemerintah di Beijing, terutama ketika mengritik Amerika Serikat. Di Forum Ekonomi Dunia pada pertengahan Januari 2022 lalu, Presiden Xi Jinping mengimbau dunia untuk "menanggalkan mentalitas Perang Dingin dan mendahulukan pendekatan saling menguntungkan,” dalam tatanan politik global.

"Yang lebih berbahaya lagi adalah ambisi untuk mempertahankan hegemoni dan upaya menundukkan mereka yang berusaha melawan arus sejarah,” imbuhnya tanpa menyebut Amerika Serikat.

Perang Dingin antara 1947 hingga 1989, membelah dunia ke dalam dua blok, yakni blok barat di bawah pengaruh AS dan NATO, serta blok timur yang menyatukan negara Eropa Timur dan Asia Tengah ke dalam lingkup pengaruh Rusia, ditambah Cina dan Korea Utara.

AS sebagai agresor

Menurut Cina, "mentalitas Perang Dingin” menempatkan Rusia sebagai musuh abadi NATO. Sementara di kawasan Indo-Pasifik, kebijakan Amerika Serikat selama ini semakin menajamkan konflik dengan Beijing.

Hal ini ditegaskan Presiden Vladimir Putin dan Xi Jinping dalam pembukaan Olympiade Musim Dingin di Beijing, awal Februari silam. "Kedua pihak menolak ekspansi NATO dan menuntut pengakuan penuh tehadap kedaulatan, keamanan dan kepentingan negara lain.”

Politisi dan analis barat belakangan juga mulai menggunakan terminologi Perang Dingin untuk menggambarkan ketegangan antara Washington, atau Uni Eropa, dan Beijing. Pada Maret 2019 lalu Komisi Eropa secara resmi mendeklarasikan Cina sebagai "rival sistematik”.

Dari sudut pandang Cina, kebijakan tersebut mengandung aroma permusuhan. Beijing mengatakan ketika pihaknya menjalankan program Belt Road Initative (BRI) yang mendorong pertumbuhan dan kooperasi di kawasan, UE dan AS sebaliknya membidik permusuhan dengan menjalankan kebijakan Indo-Pasifik yang didominasi agenda keamanan untuk melawan Cina.

Rivalitas dua sistem

Pakar politik Universitas Krakow, Michal Lubina, membenarkan betapa "kita sedang mengarah ke Perang Dingin baru, kini dengan Cina sebagai musuh utama. Dan tentunya strategi Indo-Pasifik negara barat dibuat untuk meredam pengaruh Cina,” kata dia.

Tapi menurutnya Perang Dingin menyaratkan dua pihak yang bertikai. Baik Cina atau Rusia bukan merupakan juru selamat yang digerakkan oleh solidaritas demi perdamaian dunia. Bukan mentalitas Perang Dingin yang memicu invasi di Ukraina, kata dia, melainkan semata keputusan pemerintah Rusia.

"Tidak ada sedikitpun ancaman dari pihak Ukraina,” terhadap Rusia, kata Lubina lagi.

Sebab itu, dia menganggap pernyataan Cina soal mentalitas Perang Dingin sebagai omong kosong. Dia sebaliknya menilai Cina tidak hanya terjebak pola pikir perang dingin, tetapi juga bertindak selaras.

"Karena mereka (Cina dan Rusia) meyakini negara-negara menengah dan kecil tidak pantas punya agendanya sendiri. Saya bahkan berani berkata bahwa tidak akan ada perang seandainya Rusia menanggap serius Ukraina. Karena mereka pastinya juga akan menganggap serius militer Ukraina,” tukasnya.

Dalam sudut pandang tersebut, negara-negara seperti Ukraina atau Taiwan tidak memiliki hak untuk menentukan nasib, dan sebabnya harus tunduk pada kekuatan yang lebih besar.

Hal ini pernah diungkapkan bekas Menteri Luar Negeri Cina, Yang Jiechi pada 2010 silam di hadapan negara-negara Asia Tenggara, betapa "Cina adalah negara besar. Negara lain lebih kecil. Ini adalah fakta,” kata dia.

rzn/as

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement