Memahami Konflik Ukraina dari Kacamata Geopolitik

Red: Fernan Rahadi

 Seorang prajurit Ukraina menembakkan senjata anti-tank NLAW selama latihan dalam Operasi Pasukan Gabungan, di wilayah Donetsk, Ukraina timur, Selasa, 15 Februari 2022.
Seorang prajurit Ukraina menembakkan senjata anti-tank NLAW selama latihan dalam Operasi Pasukan Gabungan, di wilayah Donetsk, Ukraina timur, Selasa, 15 Februari 2022. | Foto: AP/Vadim Ghirda

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ahmad Mulyadi (Mahasiswa PhD in Political Studies, Tomsk State University, Russia)

Sejak Februari lalu, hampir seluruh media nasional di tanah air aktif memberitakan berita internasional terkait konflik di Ukraina. Namun sayangnya, mayoritas pemberitaan-pemberitaan tersebut hanya mengutip dari media-media Barat, sehingga tingkat objektivitasnya relatif rendah.

Apa yang terjadi di Ukraina saat ini sebenarnya merupakan isu geopolitik. Isu utamanya tidak terletak pada konflik antara Rusia dan Ukraina, melainkan pada faktor lain yang jauh lebih berperan, yakni kompetisi antara Sea Power dan Continental Power.

Sea Power yang dimaksud adalah kekuatan aliansi militer Atlantik Utara yang disebut NATO/OTAN. Sementara Continental Power di sini yaitu Rusia. Jadi pertanyaannya sekarang, siapa sebenarnya yang menyulut kompetisi ini sehingga berkembang menjadi situasi seperti sekarang? Untuk menjawab ini, kita perlu menggunakan kacamata ilmu geopolitik dan bukan berdasarkan kepentingan kelompok tertentu.

Dalam pandangan geopolitik, ada konsep yang disebut Rimland. Konsep yang dikembangkan oleh Nicholas John Spykman ini menekankan pentingnya melakukan containment (pengurungan) terhadap wilayah strategis dunia yang bernama Eurasia, untuk memperkuat hegemoni politik internasional.

“Siapa yang dapat mengontrol Rimland, maka dapat mengontrol Eurasia. Siapa yang dapat mengontrol Eurasia, maka dapat mengontrol dunia,” begitu kurang lebih ucapan Spykman seperti dikutip Olivier Zajec (2016) dalam bukunya berjudul Introduction à l’Analyse Géoplitique.

Eurasia merupakan wilayah yang membentang dari ujung Eropa sebelah barat hingga ujung Asia sebelah timur. Sementara Rimland merupakan wilayah wilayah di sisi atau di sekitaran Eurasia. Jika dilihat di peta dunia, maka negara yang paling besar secara geografis di Eurasia adalah Rusia. Maka dari itu, sejumlah pakar geopolitik berpendapat posisi Rusia sangat strategis secara geopolitik, sehingga sangat wajar jika Rusia sejak zaman kekaisaran hingga sekarang selalu berusaha mempertahankan posisi independennya dalam politik internasional (misalnya, Rusia tidak pernah tertarik ataupun berniat untuk bergabung dengan Uni Eropa maupun NATO). 

Sementara itu, kekuatan Sea Power di bawah payung NATO berambisi untuk mendominasi politik internasional dengan terus melakukan containment. Saat awal berdirinya pada 1949, NATO hanya beranggotakan 12 negara yaitu Amerika Serikat dan 11 negara-negara Eropa Barat (barat dalam arti geografi dan/atau politik). Tidak lama setelah itu, tepatnya pada 1955, muncul aliansi lain sebagai pengimbang kekuatan NATO yaitu Pakta Warsawa. Namun sejak Pakta Warsawa bubar pada 1991, praktis hanya ada NATO sebagai aliansi militer raksasa skala dunia. 

Kemudian, NATO terus mengembangkan wilayahnya terutama di Benua Eropa. Jumlahnya kini mencapai 30 dan banyak di antara anggota-anggota baru itu berada tidak jauh dari Rusia, seperti negara-negara Eropa Tengah, Eropa Timur, negara-negara Baltik, dan negara-negara Balkan. Pergerakan blok Barat ini tidak lain merupakan penerjemahan dari Teori Rimland: containment terhadap Heartland.

Dalam tradisi geopolitik, adalah hal wajar jika salah satu kekuatan utama dunia berusaha mencegah terjadinya ancaman serius terhadap wilayahnya. Dalam hal ini, Rusia berusaha mencegah ekspansi NATO yang kian lama kian mendekati perbatasan Rusia. Seperti kita ketahui, Ukraina adalah negara yang berbatasan langsung dengan wilayah Rusia bagian Eropa, bahkan perbatasan ini berada tidak jauh dari kota-kota utama Rusia. Artinya, jika Ukraina bergabung NATO, maka secara geopolitik posisi Rusia begitu terancam.

Maka dari itu, berulang kali pihak Rusia mengingatkan agar pihak Barat untuk tidak mencoba memasukan Ukraina ke dalam keanggotaan NATO. Namun peringatan ini tidak dipedulikan Barat. Semakin lama, pergerakan Barat dan Ukraina yang dipimpin politisi pro-Barat semakin menunjukkan ke arah tersebut.

Sebelumnya, dukungan Barat telah berhasil meloloskan para politisi pro-Barat untuk memimpin Ukraina sebagai bagian dari upaya mereka memuluskan rencana mereka. Bisa dibayangkan, jika Ukraina bergabung NATO, maka dengan mudah Barat memasang pangkalan militer skala besar, bahkan perangkat militer berkekuatan nuklir di wilayah yang berbatasan dan berhadapan langsung dengan wilayah-wilayah utama Rusia. Dalam kacamata geopolitik, tentu ini merupakan ancaman serius.

Selain itu, jika Ukraina bergabung ke dalam organisasi NATO, itu dapat mengancam sisi sejarah dan historis Rusia. Dalam konsep ilmu geopilitik, faktor sejarah dan budaya juga merupakan salah satu komponen penting.

Seperti diketahui, sejarah Rusia berasal dari Kekaisaran Kievan Rus yang berada di wilayah Ukraina sekarang. Saat itu, ibu kota kekaisarannya berada di Kota Kiev dan wilayah kekuasaannya terus berkembang ke arah utara maupun timur, termasuk Moskow. Namun, karena invasi yang dilakukan Imperium Mongol (kemudian Imperium Golden Horde), Kekaisaran Kievan Rus ini terpecah belah menjadi wilayah-wilayah kerajaan kecil yang sebagian besar di bawah kontrol Golden Horde. Setelah cukup lama berkuasa, Golden Horde kemudian terpecah belah dan melemah kekuatannya. Lalu lahirlah sebuah kerajaan independen di wilayah Moskow yang kemudian berkembang menjadi Kekaisaran Rusia, lalu Imperium Rusia, kemudian Uni Soviet, dan sekarang menjadi Republik Federasi Rusia.

Berdasarkan fakta-fakta di atas, maka dapat dipahami jika sejumlah pakar geopolitik menyebut Rusia dan Ukraina sebenarnya merupakan satu bangsa. Hal ini pun sampai sekarang masih terlihat jelas di antaranya dari kemiripan bahasa mereka (para penutur Bahasa Rusia dan Ukraina pada umumnya saling memahami satu sama lainnya. Bahkan di sejumlah wilayah di Ukraina, bahasa Rusia merupakan bahasa ibu (native language) dari mayoritas penduduk setempat. Sehingga, jika Ukraina bergabung dengan blok Barat (melalui organisasi mereka seperti NATO atau bahkan Uni Eropa), ini bisa menjadi ancaman secara historis dan kultural bagi bangsa Rusia mengingat terdapat sejumlah perbedaan mendasar antara Barat dan Rusia (perbedaan-perbedaan itu tidak akan diuraikan di sini karena akan terlalu panjang).

Sebagai kesimpulan, dapat dikatakan bahwa konflik yang sedang berkembang di Ukraina saat ini merupakan sebuah gejala geopolitik yang disulut terutama oleh Barat di bawah payung NATO. Konflik ini sebenarnya dapat saja dihindari seandainya pihak Barat bersedia dan berjanji, untuk tidak akan pernah melakukan upaya-upaya yang dapat mendorong Ukraina ke arah blok Barat, terutama NATO (dan bahkan juga Uni Eropa). 

 

 

  

Terkait


Bank Sentral Global Fokus Inflasi, Perkirakan Pertumbuhan Berlanjut

Putin: Kenaikan Harga Energi Bukan Salah Rusia, tapi Barat

Akibat Perang Rusia-Ukraina, Pasokan Minyak Nabati Dunia Bisa Defisit

Twitter Batasi Sebaran Konten Media Belarusia

Pengusaha: Jangan Bawa Rusia Kembali ke 1917

Republika Digital Ecosystem

Kontak Info

Republika Perwakilan DIY, Jawa Tengah & Jawa Timur. Jalan Perahu nomor 4 Kotabaru, Yogyakarta

Phone: +6274566028 (redaksi), +6274544972 (iklan & sirkulasi) , +6274541582 (fax),+628133426333 (layanan pelanggan)

[email protected]

Ikuti

× Image
Light Dark