Sabtu 19 Mar 2022 11:13 WIB

Ombudsman Minta Pemerintah Respons 134 Ribu Ton Beras di Gudang Bulog 

Sekitar 134 ribu ton beras sisa impor tahun 2018 menumpuk di Gudang Bulog.

Rep: Rizky Suryarandika/ Red: Ratna Puspita
Ombudsman meminta pemerintah segera melaksanakan tindakan korektif terkait perbaikan tata kelola cadangan beras pemerintah (CBP) karena sekitar 134 ribu ton beras sisa impor tahun 2018 menumpuk di Gudang Perusahaan Umum (Perum) Badan Urusan Logistik (Bulog). Ilustrasi
Foto: Foto : MgRol111
Ombudsman meminta pemerintah segera melaksanakan tindakan korektif terkait perbaikan tata kelola cadangan beras pemerintah (CBP) karena sekitar 134 ribu ton beras sisa impor tahun 2018 menumpuk di Gudang Perusahaan Umum (Perum) Badan Urusan Logistik (Bulog). Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ombudsman meminta pemerintah segera melaksanakan tindakan korektif terkait perbaikan tata kelola cadangan beras pemerintah (CBP). Sebab, sekitar 134 ribu ton beras sisa impor tahun 2018 menumpuk di Gudang Perusahaan Umum (Perum) Badan Urusan Logistik (Bulog).

Anggota Ombudsman Yeka Hendra Fatika menyebutkan, tindakan korektif yang belum mendapatkan tindak lanjut, yakni agar pemerintah segera menerbitkan regulasi tentang penetapan jumlah CBP, menerbitkan peraturan teknis terkait indikator pengambilan keputusan impor beras, pelaksanaan evaluasi terhadap Harga Eceran Tertinggi (HET) beras, serta penyelesaian pembayaran tagihan pelepasan stok CBP Perum Bulog sebesar 20,36 ribu ton beras. “Ombudsman pada 2021 melakukan investigasi tentang Cadangan Beras Pemerintah dan saat ini ada sekitar 134 ribu ton beras sisa impor tahun 2018 masih menumpuk di Gudang Bulog,” kata Yeka dalam keterangan pers (19/3). 

Baca Juga

Yeka menjelaskan, penumpukan sisa impor beras di Gudang Bulog ini akibat dari Tata Kelola CBP yang buruk. Investigasi Ombudsman menemukan belum adanya regulasi penetapan jumlah CBP sehingga Perum Bulog mengalami kesulitan dalam hal strategi pengadaan dan pendistribusian beras. 

"Untuk itu, Ombudsman meminta Kementerian Pertanian untuk menerbitkan  surat penetapan besaran CBP, sebagaimana amanat Pasal 4 Perpres 48 Tahun 2016 tentang Penugasan Perum Bulog Dalam Rangka Ketahanan Pangan Nasional," ujar Yeka. 

Pada 2019, Perum Bulog telah mengajukan penyediaan anggaran kepada pemerintah untuk disposal stock atau pembuangan stok beras yang turun mutu sebanyak 20,36 ribu ton beras. Namun menurut Yeka, hingga kini masih belum terselesaikan lantaran belum ada penunjukan Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) untuk pelepasan stok beras turun mutu. 

"Ombudsman memberikan waktu hingga selambat-lambatnya 18 April 2022 agar Kementerian Pertanian segera menunjuk KPA tersebut," sebut Yeka. 

Di samping itu, Yeka menekankan selama ini belum ada peraturan teknis mengenai indikator pengambilan keputusan pemerintah dalam melakukan impor beras, mengacu pada ketentuan UU Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan. Ia menilai indikator yang digunakan dalam pengambilan keputusan importasi beras masih bias sehingga mengakibatkan waktu impor beras bersamaan saat musim panen raya. 

"Jumlah beras yang diimpor dalam strategi pengadaan tidak matching dengan strategi penyaluran  sehingga mengakibatkan beras turun mutu,” ucap Yeka. 

Untuk itu, Ombudsman meminta agar Kementerian Koordinator Perekonomian untuk menerbitkan peraturan teknis terkait indikator dan tata cara pengambilan keputusan impor beras. “Dengan adanya indikator yang jelas, maka kebijakan importasi akan jauh dari kepentingan politik, jauh dari ditunggangi niat-niat yang tidak baik. Sehingga keputusan importasi beras lahir berdasarkan kondisi sebenarnya,” tegas Yeka.

Kemudian terkait Permendag Nomor  57 tahun 2017 tentang Harga Eceran Tertinggi (HET) Beras, Ombudsman menyarankan penetapan harga yang baru di tahun 2022 ini dengan mempertimbangkan inflasi per tahun dan demi meningkatkan kesejahteraan petani. 

“Hasil monitoring hari ini, Ombudsman meminta Kementerian Perdagangan memberikan rekomendasi HET beras yang baru kepada Badan Pangan Nasional paling lambat 18 April 2022,” ujar Yeka.

Yeka berharap monitoring tindakan korektif ini dapat mendorong perbaikan Tata Kelola CBP semakin efisien dan tidak menimbulkan kerugian Negara dan masyarakat. “Tata Kelola CBP yang buruk bisa menimbulkan potensi kolapsnya Perum Bulog akibat kerugian usaha yang makin memburuk. Hal ini bisa saja terjadi apabila Badan Pangan Nasional ke depan tidak punya kemampuan untuk melakukan tindakan-tindakan menjaga stabilitas stok pangan,” kata Yeka.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement