Rabu 23 Mar 2022 15:58 WIB

Kementan: Peringatan FAO Soal Krisis Pangan Mulai Terlihat

Krisis pangan terjadi karena negara produsen pangan menahan ekspor.

Rep: Dedy Darmawan Nasution/ Red: Nidia Zuraya
Krisis Pangan (ilustrasi)
Foto: setkab.go.id
Krisis Pangan (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Badan Penyuluhan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pertanian (BPPSDMP) Kementan, Dedi Nursyamsi, mengatakan, peringatan Badan Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) tentang potensi krisis pangan akibat pandemi Covid-19 mulai terlihat dan dirasakan di Indonesia.

Dedi, mengatakan, krisis pangan dunia yang terjadi saat ini, terjadi karena kecenderungan negara-negara penghasil pangan menahan ekspor untuk memastikan kecukupan kebutuhan domestik masing-masing. Situasi itu, kata Dedi, pun belum diketahui hingga kapan akan berlangsung.

Baca Juga

"Apa yang diperingatkan FAO dua tahun yang lalu nampak sudah mulai kelihatan dan kita rasakan. Dampak akibat Covid-19 yang utamanya terhadap ketersediaan pangan," kata Dedi dalam webinar, Rabu (23/3/2022).

Hal itu terlihat dari harga pangan dunia, seperti gandum hingga kedelai yang mengalami kenaikan secara global. Kenaikan harga dua komoditas pun tentu akan terasa bagi masyarakat terutama untuk produk roti dan mie serta tahu dan tempe.

Di saat yang bersamaan, isu perubahan iklim semakin nyata dan bisa dirasakan dampaknya pada produksi pertanian."El Nino yang menyebabkan kemarau dan La Nina sehingga kebanjiran. Itu semua makin cepat dan intensitasnyamakin kuat. Perubahan iklim juga menyebabkan serangan hama yang tidak karuan," kata dia.

Akibat perubahan iklim yang terjadi secara global, negara-negara produsen pangan mengalami penurunan produksi. Dua situasi itu setidaknya menimbulkan panic buying masyarakat dunia demi mengamankan kebutuhan masing-masing.

"Seperti di China akhir tahun lalu memborong beras dan kedelai. Akhirnya ketersediaan pangan di pasar global turun signifikan. Sementara, permintaannya relatif tetap atau bahkan meningkat karena panic buying. Ini dipasikan harga akan meningkat," katanya.

Oleh sebab itu, Dedi, mengatakan, mau tidak mau Indonesia harus segera dapat mengurangi ketergantungan pada importasi pangan. Setidaknya ada dua komoditas yang diimpor namun masih bisa diproduksi dalam negeri. Di antaranya, kdelai, gula tebu, bawang putih, serta daging sapi.

"Saya berkali-kali menawarkan untuk menggenjot produktivitas, caranya dengan smart farming karena dengan itulah produktivitas dan efisiensi bisa ditingkatkan," katanya.

Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo, mengatakan, Kementan akan mengejar peningkatan mekanisasi menembus 3,5 house power (hp) per hektare (ha) pada tahun 2024 atau naik lebih dari 60 persen. Adapun saat ini, berdasarkan data akhir 2021, level mekanisiasi pertanian Indonesia baru mencapai 2,1 hp per ha.

Peningkatan mekanisiasi secara signifikan perlu dikebut lantaran Indonesia sudah tertinggal. "Negara-negara lain pada tahun 2015 telah memiliki level mekanisasi yang jauh lebih tinggi," kata Syahrul dalam sebuah webinar, Rabu (23/3/2022).

Negara yang pertaniannya maju seperti Jepang mencatat telah mencapai level mekanisasi 16 hp per ha pada 2015, begitu pula Amerika Serikat yang menembus 17 hp per ha. 

Di kawasan Asean, negara tetangga Malaysia sudah mencapai level 2,4 hp per ha, dan Thailan 2,5 hp per ha. Namun Indonsia sudah lebih tinggi dari Vietnam yang masih 1,5 hp per ha.

"Salah satu inovasi yang kita dorong untuk mendukung kemajuan mekanisasi pertanian adalah Taxi Alsintan," kata Syahrul.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement