Kamis 24 Mar 2022 15:44 WIB

Aksara Arab dan Islamisasi Asia Tenggara

Aksara Arab yang dikombinasikan dengan bahasa lokal pernah menjadi hal lazim.

Red: Ani Nursalikah
Warga mengunjungi Monumen Islam Samudera Pasai yang dibangun sejak 2012 hingga 2017 bersumber dana APBN senilai Rp49,1 miliar di Desa Beuringen, Kecamatan Samudera, Aceh Utara, Aceh, Selasa (11/8/2021). Aksara Arab dan Islamisasi Asia Tenggara
Foto: ANTARA/Rahmad
Warga mengunjungi Monumen Islam Samudera Pasai yang dibangun sejak 2012 hingga 2017 bersumber dana APBN senilai Rp49,1 miliar di Desa Beuringen, Kecamatan Samudera, Aceh Utara, Aceh, Selasa (11/8/2021). Aksara Arab dan Islamisasi Asia Tenggara

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Azhar Rasyid, Penilik sejarah Islam

Dewasa ini, masyarakat di setiap negara di Asia Tenggara menggunakan bahasa nasionalnya masing-masing dalam berkomunikasi. Sebagian di antaranya juga menggunakan aksara Latin, yang diperkenalkan oleh bangsa-bangsa Eropa yang menjajah negerinya di masa silam.

Baca Juga

Ada satu aksara yang dahulu pernah menjadi perantara penyebaran agama Islam di Asia Tenggara dan dipakai sebagai sarana mengekspresikan ide dan pemikiran oleh para ulama dan kaum intelektual Asia Tenggara, namun kini sudah jarang dipakai kecuali oleh kalangan pesantren atau untuk acara seremonial, yaitu aksara Arab.

Penggunaan aksara Arab yang dikombinasikan dengan bahasa lokal pernah menjadi hal yang lazim di beberapa bagian Asia Tenggara di masa silam. Di Sumatera dan Semenanjung Malaya kombinasinya itu dikenal sebagai Arab Melayu, sementara di Jawa ia disebut sebagai Arab Pegon, Abjad Pegon atau Arab Jawa. Istilah bahasa Inggrisnya adalah Jawi script.

Aksara Arab memainkan peranan signifikan dalam proses Islamisasi di Asia Tenggara. Guna memahami ini, sejarahnya mesti diletakkan dalam konteks masa yang lebih panjang. Pengaruh Hindu dari India sudah masuk ke Kepulauan Nusantara sejak sekitar awal tahun Masehi. Antara abad 4 hingga abad 16, pengaruh Hindu serta Buddha termanifestasi dalam bentuk lahirnya kerajaan-kerajaan bercorak Hindu-Buddha, seperti Tarumanegara di Jawa Barat (diperkirakan abad 4), Sriwijaya (abad 7-11) dan Majapahit (abad 13-16). Secara kultural, pengaruh Hindu, khususnya di kalangan istana dan di lapangan keagamaan, hadir dalam bentuk penggunaan bahasa Sanskerta, bahasa yang lazim dipakai oleh kalangan rohaniwan Hindu di India, serta penggunaan aksara Pallawa.

Penyebaran Islam di Nusantara sejak abad 13 membawa aksara dan bahasa baru kepada masyarakat di Asia Tenggara, khususnya di Kepulauan Nusantara. Teori tentang awal mula dan pembawa Islam ke Asia Tenggara beragam, dan sejarawan masih terus mengeksplorasi bukti-bukti sejarah baru untuk memastikannya.

Yang jelas, para sejarawan sepakat bahwa salah satu kelompok pembawa Islam ke Nusantara adalah para pedagang dan pelaut Muslim yang berasal dari negeri-negeri berbahasa Arab. Pengaruh Islam hadir secara perlahan di Nusantara, pertama-tama di ujung barat Pulau Sumatera, lalu di Semenanjung Malaya serta di Jawa dan bagian timur Indonesia.

Awalnya ialah dalam bentuk konversi ke Islamnya penduduk Perlak di Aceh pada akhir abad 13. Di fase berikutnya, pengaruh bahasa dan aksara Arab, yang menjadi medium penyebaran agama Islam, mulai muncul dalam sistem komunikasi tertulis di dunia Melayu.

Catatan tertulis pertama yang memberi kita informasi tentang penggunaan paling awal aksara Arab dalam mengekspresikan narasi dari bahasa Melayu adalah prasasti Terengganu, yang ditemukan di Terengganu, Semenanjung Malaya. Prasasti ini ditemukan pada akhir abad 19 dan di Malaysia dianggap sebagai salah satu batu bersejarah yang menandai permulaan peradaban Melayu Islam di sana.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement