Sabtu 02 Apr 2022 10:40 WIB

Menyambut Bulan Kesetaraan

Momentum Ramadan ini perlu menjadi pembelajaran sebagai bulan kesetaraan.

Red: Agung Sasongko
Bulan Ramadhan (ilustrasi)
Foto: Dok Republika
Bulan Ramadhan (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Teguh Imami, Amil zakat/Magiter Sosiologi Universitas Airlangga

Mulai besok umat Islam di Indonesia akan menyambut bulan suci Ramadan 1443 H. kedatangan bulan ini selalu dinanti, bukan sekadar oleh masyarakat dari berbagai macam profesi, melainkan juga momentum rindu yang selalu ditunggu: buka puasa bersama, ngabuburit, menikmati sajian khas, dan segala macam aktivitas ibadah.

Baca Juga

Bagi masyarakat Indonesia, puasa adalah momentum meluapkan kegembiraan. Saat Ramadan, segala aneka kue, makanan, minuman, pakaian, akan hadir. Jajanan pinggir jalan, rumah makan, kafe, pasar, mall, semuanya akan ramai sesak oleh aktivitas-aktivitas masyarakat yang memuaskan hasratnya.

Tidak heran, pada tahun 2021, Data Analyst Continuum Data Indonesia yakni Muhammad Azzam mencatat sejak awal Ramadan 2021 indeks konsumsi masyarakat mengalami kenaikan sebesar 17 persen. Meskipun pada saat itu, indeks pendapatan justru mengalami penurunan hingga 10 persen. Menurutnya peningkatan indeks konsumsi tersebut dipicu oleh berbagai komponen yang menunjukkan peningkatan di awal bulan Ramadan

Senada dengan data di atas, pada tahun sebelumnya, yakni 2020, iPrice secara konsisten melakukan riset perubahan perilaku berbelanja muslim di Indonesia pada saat Ramadan. Trafik berbelanja daring meningkat hingga 345%. Hal itu membuktikan semarak bulan Ramadan selalu diikuti dengan meningkatnya daya beli masyarakat.

Meningkatnya Gejala Konsumerisme

Menilik dari tradisi di Indonesia, sebenarnya sudah sejak dulu masyarakat antusias untuk membeli barang baru saat Ramadan. Dalam buku Sejarah Nasional Indonesia yang ditulis oleh Nugroho Notosusanto dan marwati Poesponegoro mengungkapkan, bahwa sejak tahun 1596 M Kesultanan Banten, yang merupakan kerajaan Islam, menjelang lebaran mayoritas penduduknya sibuk mempersiapkan baju baru. Masyarakat yang membeli hanya sedikit, mayoritas masyarakat menjahit baju untuk dipakai di hari raya, karena hanya kalangan kerajaan yang dapat membeli baju baru.

Tradisi serupa juga terdapat di kerajaan Mataram Baru, Yogyakarta. Saat itu warga yang mayoritas muslim melakukan tradisi yang membeli barang baru. Terutama saat hari-hari terakhir bulan Ramadan, semua orang bersiap menyambut datangnya lebaran dengan baju baru. Biasanya mereka berbondong-bondong untuk mencari baju baru baik beli maupun menjahit sendiri baju barunya.

Hingga hari ini tradisi membeli barang baru masih menjadi ritual rutin umat muslim menjelang lebaran, hal ini dikarenakan sudah lamanya tradisi tersebut berjalan, seakan sudah menjadi kegiatan yang lumrah.

Namun beberapa tahun belakangan, gejala konsumerisme masyarakat semakin tinggi. Hal itu bertambah dengan menjamurnya iklan di media massa. Iklan-iklan tersebut menawarkan sejuta ketertarikan untuk menarik pelanggan. Bukan sekadar baju yang dibeli untuk kebutuhan secukupnya, melainkan makanan, minuman, tambahan pakaian,dan pernak-pernik pemuas diri.

Dalam pandangan Jean Baudrillard (1989) kultur modern kini telah memasuki suatu era konsumerisme dan konsumsi yang dihasilkan dan bersumber dari Dunia Barat. Perilaku konsumtif dewasa ini tidak terlepas dari perkembangan budaya kapitalisme, yang menempatkan konsumsi sebagai titik pusat kehidupan dalam tatanan sosial masyarakat Indonesia.

Fenomena konsumerisme saat ini sudah terlanjur menjadi gaya hidup bagi masyarakat Indonesia. Apalagi ditambah dengan munculnya iklan–iklan di media massa yang menawarkan produknya dan menjamurnya pusat–pusat perbelanjaan yang menawarkan diskon secara besar–besaran menjelang Idul Fitri. Pernikahan antara iklan dan ketertarikan menghasilkan perilaku konsumtif masyarakat semakin menjadi.

Alih-alih puasa sebagai penyucian diri menjadi suci, justru puasa menjadi ajang berlomba untuk hidup berhambur-hamburan. Membeli barang dan makanan bukan sekadar cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, melainkan juga sebagai ajang pamer status sosial.

Ramadan Bulan kesetaraan

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jika penduduk miskin tercatat sebesar 26,5 juta orang per September 2021, turun 1,05 juta orang dibandingkan dengan posisi Maret 2021. Namun, BPS mencatat kesenjangan masyarakat miskin justru meningkat, dari 0,57 pada Maret 2021 menjadi 0,59 pada September 2021. Data itu menunjukkan kesenjangan masyarakat yang berada di bawah garis kemiskinan semakin melebar.

Momentum Ramadan ini perlu menjadi pembelajaran sebagai bulan kesetaraan. Ramadan yang identik untuk gaya hidup konsumtif, perlu menjadi perhatian khusus. Kemiskinan dan kesenjangan yang kian nampak menjadi alasan mengapa semarak tersebut perlu dipelajari kembali. 

Ali Syariati mengungkapkan jika iman bukan sekadar mempercayai akan kebesaran dan ke-Esaan tuhan, melainkan juga bermakna membebaskan kaum yang tertindas. Menurutnya, belum dikatakan salat, puasa, haji dan berzakat jika belum mampu melahirkan spirit membantu antar sesama.

Agama hadir bukan sekadar terilhami untuk memperbaiki spritiual, agama juga hadir sebagai dimensi sosial. Pun dengan rukun Islam, ia banyak bersinggungan dengan dimensi ibadah sosial, termasuk ibadah puasa.

Jika dengan datangnya bulan mulianya ini belum mampu berbagi peduli terhadap sesama, dengan cara apa lagi Tuhan menciptakan momentum agar hidup saling memberi?

Sebagaimana yang diungkapan Budayawan Emha Ainun Najib (Cak Nun) dalam Tuhan Pun Berpuasa mengungkapkan, puasa adalah metode yang paling praktis, tapi mendasar bagi proses pembebasan dan penyelamatan manusia atas diri. Puasa adalah kegiatan mengendalikan dan menahan diri dari segala sesuatu. Menghindari perilaku konsumtif dan peduli menjadi salah satu solusi.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement