Selasa 19 Apr 2022 21:26 WIB

Kemenkeu: Penerbitan Sukuk Hijau Kurangi Emisi 10,3 juta Ton Karbon

Pada 2020 pemerintah menerbitkan green sukuk global 750 juta dolar AS.

Rep: Novita Intan/ Red: Nidia Zuraya
Sukuk (ilustrasi)
Foto: The middle east magazine online
Sukuk (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-- Pemerintah mencatat penerbitan green sukuk atau sukuk hijau mulai 2018 sampai 2020 telah mengurangi emisi 10,3 juta ton setara karbon dioksida. Adapun proyek-proyek yang didanai oleh green sukuk antara lain proyek energi terbarukan, pengurangan risiko bencana alam, transportasi berkelanjutan, dan pengelolaan limbah dan air.

Analis Proyek Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) Kementerian Keuangan Wawan Sugiyanto mengatakan pada 2018 pemerintah menerbitkan sukuk pertama pada pasar global dengan volume 1,25 miliar dolar AS, tenor lima tahun, dan imbal hasil 3,75 persen

Baca Juga

"Dampak penerbitan green sukuk, dari report 2018, emisi turun setara 5,7 juta ton setara karbon dioksida," ujarnya saat webinar, Selasa (19/4/2022).

Wawan merinci pada 2019 pemerintah menerbitkan satu green sukuk di pasar global  dengan volume 750 juta dolar AS dan satu green sukuk dengan di pasar domestik bervolume Rp 1,4 triliun. Pada 2020 pemerintah menerbitkan green sukuk dengan volume 750 juta dolar AS bagi investor global dan Rp 5,4 triliun di pasar domestik.

Pada 2019 dan 2020 emisi karbon yang turun dengan penerbitan green sukuk digunakan proyek ramah lingkungan sebanyak 3,2 juta ton dan 1,4 juta ton setara karbon dioksida.

"Di pasar domestik pemerintah concern dengan aspirasi dari investor terutama investor ritel untuk menerbitkan instrumen ramah lingkungan, maka November 2019 pemerintah menerbitkan sukuk bagi investor ritel domestik dengan jumlah Rp 1,4 triliun," katanya.

Sementara itu Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Aviliani menambahkan pelaku usaha sektor riil masih mengalami kesulitan mengambil pendanaan berkelanjutan dari bank. Hal ini disebabkan pelaku usaha harus terlebih dahulu memenuhi standar internasional untuk mendapatkan pendanaan ramah lingkungan dari bank.

"Akhirnya untuk mencapai target pendanaan masing-masing bank sulit dilakukan karena demand-nya belum jalan. Apalagi dua tahun ini, kecenderungan permintaan (pendanaan) yang biasa saja rendah sekali," ucapnya.

Menurutnya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 51 Tahun 2017 tentang Penerapan Keuangan Berkelanjutan masih memerlukan waktu untuk dapat diimplementasikan sepenuhnya. “Saat ini pelaku usaha yang telah mendapatkan pendanaan tersebut biasanya pelaku usaha yang berorientasi pada ekspor atau pasar luar negeri, sementara pelaku usaha berorientasi pasar dalam negeri, termasuk UMKM, belum banyak memanfaatkan pendanaan berkelanjutan,” ucapnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement